Wednesday, August 1, 2007

[Surat untuk Sajak # 007] Personifikasi Utak-atik

Sajak yang baik,
     Pagi ini saya menulismu lagi. Tema sajak yang saya tulis adalah kefanaan waktu dan manusia. Ini tema sajak liris yang abadi bukan? Saya kira tema ini akan terus saya tulis dan masih memikat penyair mana pun di dunia. Tak terkecuali saya.
     Saya sekarang sadar betapa gemarnya saya pada gaya bahasa personifikasi. Saya gemar sekali mengorangkan benda-benda. Jurus itu banyak saya temukan pada sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan terutama Joko Pinurbo. Dua penyair yang amat saya gemari.
     Anak bungsu lelaki saya sakit cacar air. Saya berusaha memperbanyak waktu untuk menemaninya bermain. Ia tidak boleh sekolah dulu, padahal dia baru saja masuk sekolah taman kanak-kanak, dan sedang senang-senangnya menikmati lingkungan barunya itu.
     Saya jadi teringat ketika ia masih bayi dulu. Lantas imajinasi saya pun bermain. Saya bayangkan jam dan waktu bercakap-cakap sambil menjaga seorang bayi yang sedang tertidur. Jadilah bait-bait versi pertama sajak itu:
  "AKU hanya perlu tiga jarum, dan angka hingga dua belas,
untuk mengingatkan bahwa kita sungguh tidak tak terbatas,"
kata jam kecil kepada waktu yang menemaninya menjaga
bayi itu. Ibu dan ayahnya sedang pergi melayat ke tetangga.

Sajak yang baik,
     Lalu di sela-sela kesibukan saya sajak itu pun minta diutak-atik. Inilah asyiknya menuliskan engkau, Sajak. Mematut-matut kata, memilih-milih kata yang ada, dan membayangkan seberapa banyak makna yang muncul dari pilihan-pilihan itu. Amat mengasyikkan.
     Jadilah versi kedua sajak itu:
"AKU hanya punya tiga jarum, dan angka hingga dua belas,
untuk mengingatkan bahwa kita sungguh tidak tak terbatas,"
kata jam kecil kepada waktu yang menemaninya menjaga
bayi itu. Ibu dan ayahnya telah pergi, melayat ke tetangga.

     Saya mengganti kata "perlu" menjadi "punya" di baris pertama. Kesan sombong di versi pertama serta merta berganti menjadi "rendah hati". Kesan itu saya kira cocok untuk menguatkan amanat bait itu, yaitu sang waktu yang menyadari bahwa dirinya terbatas.
    Saya juga mengganti kata "sedang" dengan "telah". Sehingga di baris keempat itu frasa "sedang pergi" menjadi "telah pergi". Saya kira penggantian itu tidak sia-sia. Sebab tiba-tiba saja ada yang ambigu di bait itu. Telah pergi, bisa diartikan "meninggal" atau bisa saja tetap diartikan tetap pada wilayah denotatifnya. Ini juga sebuah utak-atik yang mengasyikkan bukan?