Tuesday, February 20, 2007

[Surat untuk Sajak # 004] Yang Pop dan Yang Sastra

Sajak yang baik,

Saya dan ada seorang kawan saya selalu bilang bahwa menempuh jalanmu, menempuh jalan puisi, adalah menempuh jalan kesepian. Sementara, kini adalah zaman riuh, zaman hiruk-pikuk proyek. Kami pun berseloroh puisi itu proyek kesepian. Seloroh itu barangkali memang ada benarnya. Kau tahu kan ada kutipan lain yang menyebutkan di dalam puisi tak ada uang, karena di dalam uang juga tak ada puisi. Saya tak tahu apa maksud dan bagaimana menjelaskan kutipan itu. Tapi, saya kemudian berpikir kenapa segalanya harus dihubungkan dengan uang? Adakah bagian dari kegiatan manusia yang bisa tak usah saja dikaitkan dengan uang?

Orang kini juga bicara soal bagaimana cara mempopularkan puisi. Apa yang popular itu sering disebut dengan sebutan mudah "pop" saja. Orang lantas menginginkan puisi juga menempuh atau diarahkan ke jalan itu. Seperti musik yang sudah lama mengenal pengutupan: yang serius (adakah kata lain yang lebih tepat?) dan yang pop. Yang pop mendekat pada selera orang banyak, selera pasar. Yang pop identik dengan kemudahan untuk dinikmati, kemudahan untuk dicerna, dan tak menyarankan orang untuk berpikir. Yang pop itu berarti punya alasan untuk menjamakkan produk lewat industri, sebanyak-banyaknya. Jika tidak bisa melakukan itu, maka yang terjadi adalah kegagalan. Gagal menerjemahkan selera pasar, gagal menjadi pop.

Sajak yang baik,

Bisakah kamu masuk ke dunia popular itu? Saya pikir begini saja. Karena engkau bermanfaat untuk manusia, untuk kehidupan yang lebih baik, maka kau harus didakwahkan agar semakin banyak orang mengenal engkau dengan baik. Bukan kenal yang asal kenal. Tetapi ini dakwah, jangan dipaksakan. Dakwah puisi harus disampaikan dengan ikhlas, agar diterima juga dengan ikhlas. Sementara itu, engkau tetaplah engkau. Puisi tetaplah puisi. Dengan alasan agar semakin banyak orang yang "beriman" pada puisi, jangan sampai si pendakwah mengubah "akidah" puisi itu, atau mengurangi "rukun iman" puisi. Jika itu yang dilakukan, maka puisi sudah menjadi ajaran sesat.

Saya lebih ingin melihat ada sekelompok kecil orang yang melakoni ibadah puisi dengan benar, khusyuk, dan istikamah, dan dengan cara itu mereka menebarkan kabar baik tentang puisi, peduli pada apa yang terjadi di luar puisi, daripada sekelompok orang banyak yang mengaku telah memeluk "agama" puisi, memuja puisi dengan berlebihan, lantas berpuisi dengan serampangan, tapi yang ia lakukan sebenarnya adalah "murtad" puisi.

Sajak yang baik,

Penyair yang bolehlah juga kita sebut dai-nya puisi, harus membuat puisi peduli pada banyak orang, agar orang banyak juga peduli pada puisi. Saya sebut itu, sebab saya setuju dengan Adrian Mithcel, penyair dan penulis naskah drama. Dia berkata: banyak orang tak peduli pada puisi, sebabnya banyak puisi tak peduli dengan orang banyak.

Subagio Sastrowardoyo, penyair kita itu pun pernah mengingatkan bahwa penyair yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas.

Dunia luar itu, kata Subagio, membebaskan penyair dari kesempitan cintanya kepada diri sendiri dan melibatkan kepentingan dirinya dengan peri kehidupan yang lebih luas dengan menyangkut pengalaman manusia yang beragam-ragam. Dalam upaya saya mempertebal "keimanan" puisi saya, dan kecintaan saya padamu, saya suka membaca ulang apa yang ditulis oleh Subagio ini.

Salam ibadah,
HAH

NB: Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Ananda Sukarlan, pemusik dari negeri ini yang kini melanglang buana atas nama musik klasik yang bukan pop itu, menyebut musik yang ia mainkan sebagai musik sastra. Kata klasik, ujarnya menyaran pada kelampauan, pada ketuaan. Sementara sastra menyaran pada kualitas, pada harkat. Aneh juga ya? Untuk bersisian dengan yang pop, musik klasik berpegang pada sastra, sementara puisi yang sastra itu malah ingin mencoba-coba menempuh jalan menjadi pop.