Monday, February 19, 2007

[Surat untuk Sajak # 003] Pesta Puisi bukan Pesta Penyair

Sajak yang baik,

Panitia "Pesta Penyair Indonesia" di Medan mengundang saya menjadi peserta. Mereka menggelar acara itu Mei 2007 nanti. Mereka mengundang saya pasti karena aku menuliskanmu. Mungkin ada diantara mereka yang pernah melihat saya meresitalkanmu. Mereka mungkin telah menganggap saya sebagai penyair. Maka, saya pun dianggap boleh ikut berpesta di sana. Di sana akan ada acara membacakan puisi, membaca kamu. Tepatnya memanggungkan kamu.

Saya sebenarnya lebih suka kalau acara itu disebut "Pesta Puisi Indonesia". Yang harus dipestakan adalah Puisi, kamu. Bukan penyair. Saya - kalau memang saya berhak juga disebut penyair - merasa tidak pantas untuk berpesta. Lihat, bahkan untuk menyebut diri sebagai penyair pun saya ragu. Padahal, menurut kamus, penyair adalah sesiapa saja yang mencurahkan sebagian waktunya untuk memberi perhatian kepada dan menuliskan puisi. Saya, ah kamu tentu lebih tahu, seberapa besarkan perhatian telah saya curahkan untuk kamu.

Sajak yang baik,

Kata "penyair" di Indonesia memang rawan disebut, apalagi disandang. Seperti belum kering pena Chairil Anwar ketika ia menulis bait angkuh ini: "Yang bukan-penyair tidak ambil bagian." Penyair masih lekat dengan citra jalang, hidup tak beraturan, kesulitan uang, kotor, dan mati lekas akibat penyakit kelamin. Citra itu dikuatkan atau dilanjutkan oleh Sutardji Calzoum Bachri yang berangasan, tipis tata krama, suka mencemooh, menenggak bir di atas panggung, dan meneriakkan sajak hingga serak. Chairil sudah lama meninggal, Tardji telah menua. Tapi imaji sang mata kanan dan mata kiri puisi Indonesia itu tak mudah melamur. Orang pun diam-diam merindukan sosok kehadiran penyair yang demikian, walaupun hadir juga dengan kuat penyair-penyair hebat lain.

Lepas dari sosoknya yang tak umum itu, kedua penyair tadi memang telah mengantarkan kamu, mengantarkan sajak ke taraf yang tak terjangkau penyair yang datang belakangan. Maka, ramuan antara sikap liar dan sajak yang bermutu seperti mengurung mereka di puncak gunung tinggi. Malangnya, puisi kadang terkurung juga di sana. Puisi jadi berjarak dengan orang yang bukan-penyair. Puisi oleh sebagian orang semakin dianggap nonsens.

Sajak yang baik,

Pesta Puisi, yang boleh dihadiri oleh siapa saja yang mencintai puisi, saya kira bisa mendekatkan kamu pada banyak orang. Saya kira memang kamulah yang harus dipestakan. Kamulah yang harus dirayakan agar lebih banyak orang bisa bersentuhan lebih akrab denganmu. Saya tidak terlalu setuju pada teriakan angkuh Chairil, tapi saya juga tak ingin orang menganggap puisi itu gampangan. Semua orang bebas dan boleh mencintai kamu. Tapi jangan atas nama cinta, kamu jadi direndahkan, dituliskan asal-asalan. Sebelum menuliskanmu, saya kira sebaiknya orang lebih dahulu harus mengakrabi kamu, mengenali kamu.

Surat-suratku ini, juga segala kamu yang telah dan akan saya tuliskan, segala renungan-renungan yang saya tulis atasmu, adalah ikhtiarku untuk lebih mengenali kamu, juga tolok pengukur seberapa kuat aku bisa mempertahankan cintaku padamu.

Salam Cinta,
HAH