AKU berjalan di belakang
lelaki yang berjalan di
belakang lelaki lain yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan. Aku tahu kami
akhirnya akan sampai di mana.
Di sana, kami tak lagi harus
sembunyi, di sana tak ada
sudut untuk bersembunyi,
dan di sana tak ada yang
bisa disembunyikan.
JAUH sekali jarak antara
aku dengan lelaki yang
kuikuti yang berjalan
mengikuti lelaki lain yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan. Tapi masih hangat
jejak-jejak mereka terasa
di telapak kakiku yang
berjalan telanjang, dan
aku tahu ini perjalanan
tak akan lama, tak selama
nanti waktu yang kami habiskan
di tempat sampai, dan
kami saling bertemu.
Aku berjalan di belakang
lelaki yang berjalan di
belakang lelaki lain yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan. Dari jalan ini, aku
kenal siapa lelaki yang
ia sebut sebagai penunjuk
jalan oleh lelaki yang
di belakangnya kini aku
berjalan. Dari siapa yang
aku tahu tentang si penunjuk
jalan, aku tahu kemana
sebenarnya aku sedang berjalan.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Wednesday, August 29, 2012
Tuesday, August 28, 2012
Tanda Bahwa Waktu Itu Ada
...dan waktupun berlalu tanpa sepengetahuanku - Edgar Allan Poe
WAKTU itu tidak ada. Tapi ada. Pada garis-garis lipatan di sekeliling leherku, misalnya. Itu berbaris seperti tangga. Aku berjalan di situ, tak tahu sedang menaiki, atau menuruni tangga itu.
Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada buli-buli lemak yang menggantung di luar kantung lambungku, misalnya. Pelan-pelan ia menggunduk. Menjadi begitu penuh di tempat yang tak seharusnya kubiar-biarkan.
Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada kusutnya kerutan di punggung lenganku, misalnya. Juga bayangan bekas luka-luka, yang rasa sakitnya sudah lama, teramat akrab. Kuterima.
Juga pada rambut yang sehelai-sehelai menjadi bening, sewarna benang pancing, dan aku ikan yang cemas, merenangi usia sendiri - tanda bahwa waktu itu ada - yang mendangkal, menyurut, dan menyusut.
WAKTU itu tidak ada. Tapi ada. Pada garis-garis lipatan di sekeliling leherku, misalnya. Itu berbaris seperti tangga. Aku berjalan di situ, tak tahu sedang menaiki, atau menuruni tangga itu.
Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada buli-buli lemak yang menggantung di luar kantung lambungku, misalnya. Pelan-pelan ia menggunduk. Menjadi begitu penuh di tempat yang tak seharusnya kubiar-biarkan.
Waktu itu tidak ada. Tapi ada. Pada kusutnya kerutan di punggung lenganku, misalnya. Juga bayangan bekas luka-luka, yang rasa sakitnya sudah lama, teramat akrab. Kuterima.
Juga pada rambut yang sehelai-sehelai menjadi bening, sewarna benang pancing, dan aku ikan yang cemas, merenangi usia sendiri - tanda bahwa waktu itu ada - yang mendangkal, menyurut, dan menyusut.
Monday, August 27, 2012
Itulah Sebabnya Padamu Aku Kembali
SEPERTI jemari hujan memainkan bunyi di dedaunanmu,
mendentingkan kesunyian yang terlalu kental kukenali.
Aku pernah punya keberanian yang ternyata menakutkan.
Tanpamu, aku pengecut, sesat sudah pada langkah pertama.
Aku ingin menuliskan kalimat apa saja, dengan kata
seru "Oh.." pada awalnya. Dan "Ah..", pada akhirnya.
Aku bayangkan itu ada dalam lirih lirik, yang dilagukan
penyanyi - yang seperti aku - tak pernah pandai menari.
Adapun lagu itu - setelah takzim kau simak - berarti:
meninggalkan engkau, itu artinya aku meninggalkan
diriku sendiri. Itulah sebabnya hanya padamu aku kembali.
mendentingkan kesunyian yang terlalu kental kukenali.
Aku pernah punya keberanian yang ternyata menakutkan.
Tanpamu, aku pengecut, sesat sudah pada langkah pertama.
Aku ingin menuliskan kalimat apa saja, dengan kata
seru "Oh.." pada awalnya. Dan "Ah..", pada akhirnya.
Aku bayangkan itu ada dalam lirih lirik, yang dilagukan
penyanyi - yang seperti aku - tak pernah pandai menari.
Adapun lagu itu - setelah takzim kau simak - berarti:
meninggalkan engkau, itu artinya aku meninggalkan
diriku sendiri. Itulah sebabnya hanya padamu aku kembali.
Subscribe to:
Posts (Atom)