SUNGAI HIJAU
Sajak Najwa Jamila
angin dingin mengalir
di sela daun-daun suplir
kecemasan yang bergetah
sekalian seteru bertemu
memburu dan menyaru
sungai hijau sungai hijau
ah! perjalanan
di sela-sela kaki
tawar menawar
antara angan dan ingin
Agustus, 2009
SUNGAI JINGGA
Sajak Najwa Jamila
sampai surut air
sajakku tetap mengalir
di antara batu
menuju muara
hingga cakrawala
garis jidatku
September, 2009
DUA sajak di atas adalah sajak yang baik, yang ditulis oleh penyair (atau calon penyair) berbakat hebat. Padanya ada kesadaran memain-mainkan bunyi, mengatur rima dan upaya itu dilakukan dengan amat wajar, amat bersahaja.
"Angin" itu misalnya, pada "Sungai Hijau" tidak disebutkan "berhembus" atau "bertiup", tetapi "mengalir". Diksi yang sederhana saja, tetapi dengan begitu ia berhasil menambah nilai dan rasa kalimat itu. Lagi pula, bunyi akhir "mengalir" kemudian terdengar selaras dengan "suplir" di larik berikutnya.
Perhatikan juga bagaimana empat kata berujung bunyi sama diparadekan: "seteru", "bertemu", "memburu", "menyaru".
Pesan sajak tidak menjadi beban, dia tidak membebani bentuk. Keduanya tampak selaras. Kalau itu terjadi eh tercapai, maka tak penting lagi apa pesan sebenarnya yang hendak disampaikan oleh penyair, sebab pembaca nyaman di hadapan sajak yang demikian, pembaca akan memetik makna sendiri.
Saya hanya agak terganggu dengan kata "bergetah". Seandainya ada kata lain, mungkin bisa membantu mengutuhkan sajak ini. Sebab "suplir" itu tidak bergetah. Bukan, ini bukan perkara yang amat sangat.
Pada "Sungai Jingga" lima baris pertama adalah baris yang biasa saja, mengalir lancar, dan kemudian dengan cerdik ditutup oleh larik penutup yang hebat "garis jidatku". Maka, terselamatkanlah seluruh larik-larik yang biasa-biasa saja itu menjadi sebuah bait yang utuh. Saya bayangkan jika penyair yang menulis sajak ini kelak membukukan sajak-sajaknya, maka sajak "Sungai Jingga" ini menjadi sajak pembuka. Sajak ini adalah penegasan untuk terus-menerus menulis sajak, hingga muara, hingga cakrawala, hingga garis dahi, atau hingga bergaris-garis dahi.***
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Tuesday, September 29, 2009
18. Kita Berpeluk di Gerbang Gua
Mana yang tepat, curah ataukah cucur hari
Ini bukan semata diksi, bukan perkara kata
Mana yang kau kuat, patah atau hancur hati
Ini bukan soal pedih-perih, ini melampaui rasa!
Penyair itu bilang sedih adalah gua gelap,
dan marah adalah api, mendidihkan airmata
Aku terbayang: kita adalah musafir terlelap,
abu tak berapi, kita berpeluk di gerbang gua
Ini bukan semata diksi, bukan perkara kata
Mana yang kau kuat, patah atau hancur hati
Ini bukan soal pedih-perih, ini melampaui rasa!
Penyair itu bilang sedih adalah gua gelap,
dan marah adalah api, mendidihkan airmata
Aku terbayang: kita adalah musafir terlelap,
abu tak berapi, kita berpeluk di gerbang gua
Labels:
pantun
17. Aku Akan Menyebutmu di Sampiran
begini saja: hujan akan menyambutmu di pendakian,
maukah kau basah, biarkan saja kuntum payungmu?
begini saja: aku akan menyebutmu di sampiran,
maukah kau mengenangku di larik isi pantunmu?
begitulah, jalan pasti akan basah menggelincirkan,
dan kau terus berjalan, tak ke aku yang kau hendak
begitulah, pantun pasti akan resah menggelisahkan
arah isi dan sampiran, oh kenapa semakin menjarak
maukah kau basah, biarkan saja kuntum payungmu?
begini saja: aku akan menyebutmu di sampiran,
maukah kau mengenangku di larik isi pantunmu?
begitulah, jalan pasti akan basah menggelincirkan,
dan kau terus berjalan, tak ke aku yang kau hendak
begitulah, pantun pasti akan resah menggelisahkan
arah isi dan sampiran, oh kenapa semakin menjarak
Labels:
pantun
16. Di Larik Pesan Itu Tak Pernah Bertemu
pelita terus menyala, kecuali sumbu tak lagi panjang
baiknya, sisa pakaian kita carikkan, kita sambungkan
kita terlalu lama dan bimbang menulis pembayang
terlupa bahwa ada isi pesan harus kita pantunkan
nyala pelita yang terang, tubuh sumbu yang terbakar
udara dan arang: di padam malam itu tak pernah bersatu
pembayang yang bimbang, sampiran yang cuma samar
kau dan aku: di larik pesan itu tak pernah bertemu
baiknya, sisa pakaian kita carikkan, kita sambungkan
kita terlalu lama dan bimbang menulis pembayang
terlupa bahwa ada isi pesan harus kita pantunkan
nyala pelita yang terang, tubuh sumbu yang terbakar
udara dan arang: di padam malam itu tak pernah bersatu
pembayang yang bimbang, sampiran yang cuma samar
kau dan aku: di larik pesan itu tak pernah bertemu
Labels:
pantun
15. Bertahan pada Ingin yang Angan
mengapakah terjatuh anak-anak tekukur
mungkin karena angin dan rapuh dahan
berapa jauhkah jauh yang tak terukur
mungkin sejauh inginku dan kenyataan
bila terdekap lengan dingin pada badan
kenapa menyelimutkan lembaran hujan
bila tak tertangkap angin pada tangan
kenapa bertahan pada ingin yang angan
mungkin karena angin dan rapuh dahan
berapa jauhkah jauh yang tak terukur
mungkin sejauh inginku dan kenyataan
bila terdekap lengan dingin pada badan
kenapa menyelimutkan lembaran hujan
bila tak tertangkap angin pada tangan
kenapa bertahan pada ingin yang angan
Labels:
pantun
Monday, September 28, 2009
Penyadap Kata*
: Noval Jubbek
TINGGI sekali, tak berujung, tiang langit ini,
aku pemanjat dengan kaki dan tangan ragu
Berulang kali jatuh oleh gamang pegang
atau licin peluh sendiri dan pekat airmata ini
Aku telah belajar dan mahir menoreh leher sendiri
Sebelum batang tiang itu kulukai
Aku penyadap dengan lidah dan mata rawan
Menampung segala yang menetes: darah dan kata
tak peduli sepedih apa sakitnya,
dari tiang langit itu, atau luka leher ini
"Inilah waktu yang terkupas?" aku dengar kau bertanya.
Ah, aku suka sekali, ada kata waktu dalam pertanyaanmu itu.
* Judul dari sajak Noval Jubbek.
TINGGI sekali, tak berujung, tiang langit ini,
aku pemanjat dengan kaki dan tangan ragu
Berulang kali jatuh oleh gamang pegang
atau licin peluh sendiri dan pekat airmata ini
Aku telah belajar dan mahir menoreh leher sendiri
Sebelum batang tiang itu kulukai
Aku penyadap dengan lidah dan mata rawan
Menampung segala yang menetes: darah dan kata
tak peduli sepedih apa sakitnya,
dari tiang langit itu, atau luka leher ini
"Inilah waktu yang terkupas?" aku dengar kau bertanya.
Ah, aku suka sekali, ada kata waktu dalam pertanyaanmu itu.
* Judul dari sajak Noval Jubbek.
Sunday, September 27, 2009
[FIKSIMINI] Hujan Entah Bulan Apa
HUJANNYA itu tak peduli padanya lagi, tak peduli pada bulan-bulan di kalendernya, bahkan juga tak peduli pada musimnya. Hujannya itu malah bertanya padanya, "aku ini masih hujanmu?". Hujannya itu juga bertanya pada dirinya sendiri, "hujankah aku ini?".
Dia ingat dulu pernah membuat sebuah sajak tentang hujannya itu. Dia temukan sajak tentang hujannya itu di folder komputernya: sajakhujan.txt nama file-nya. Dia baca sajak itu, dan dia merasa memang ada yang salah dengan hujannya yang saat itu sedang hujan di luar jendelanya.
"Sajakmu itu yang salah," kata hujan yang sedang turun itu, dan tiba-tiba saja hujan itu berhenti. Dia masih saja membaca sajak tentang hujannya yang dulu dia tulis saat hujan, persis seperti saat dia membaca sajak yang ia tulis itu. "Atau sebenarnya aku yang salah?" katanya, dan dia berpikir hendak men-delete saja file sajakhujan.txt itu.
Dia ingat dulu pernah membuat sebuah sajak tentang hujannya itu. Dia temukan sajak tentang hujannya itu di folder komputernya: sajakhujan.txt nama file-nya. Dia baca sajak itu, dan dia merasa memang ada yang salah dengan hujannya yang saat itu sedang hujan di luar jendelanya.
"Sajakmu itu yang salah," kata hujan yang sedang turun itu, dan tiba-tiba saja hujan itu berhenti. Dia masih saja membaca sajak tentang hujannya yang dulu dia tulis saat hujan, persis seperti saat dia membaca sajak yang ia tulis itu. "Atau sebenarnya aku yang salah?" katanya, dan dia berpikir hendak men-delete saja file sajakhujan.txt itu.
[FIKSIMINI] Dan Kehidupan Makin Asing
DIA penasaran dengan file bernama sajakterakhir.txt yang tengah malam itu dia temukan di komputernya. Dia mengingat-ingat kapan dia menulis itu dan bertanya-tanya apakah benar itu berisi teks puisinya, puisi yang dia tulis.
Sajak terakhir? Dia jadi agak takut untuk membuka file itu. Dia tahu, seringkali sajak terakhir seorang penyair itu berisi semacam ramalan tentang hal-hal yang menakutkan. Misalnya tentang kematian.
"Tapi apakah aku takut pada kematianku sendiri?" dia bertanya pada diri sendiri. Lagipula belum tentu file itu berisi ramalan tentang kematiannya. Belum tentu juga file itu berisi sajak.
Akhirnya dengan satu klik file itu terbuka juga. Tadi sepertinya dia memejamkan mata sebelum akhirnya dia membaca apa yang tertulis di sana: (semacam judul sebuah sajak) "Dan Kehidupan Makin Asing". Dia tiba-tiba merasa tahu hendak menulis sajak apa di bawah judul sajak itu, dan nanti dia akan mengganti nama file itu menjadi sajakyangtakpernahberakhir.txt.***
Sajak terakhir? Dia jadi agak takut untuk membuka file itu. Dia tahu, seringkali sajak terakhir seorang penyair itu berisi semacam ramalan tentang hal-hal yang menakutkan. Misalnya tentang kematian.
"Tapi apakah aku takut pada kematianku sendiri?" dia bertanya pada diri sendiri. Lagipula belum tentu file itu berisi ramalan tentang kematiannya. Belum tentu juga file itu berisi sajak.
Akhirnya dengan satu klik file itu terbuka juga. Tadi sepertinya dia memejamkan mata sebelum akhirnya dia membaca apa yang tertulis di sana: (semacam judul sebuah sajak) "Dan Kehidupan Makin Asing". Dia tiba-tiba merasa tahu hendak menulis sajak apa di bawah judul sajak itu, dan nanti dia akan mengganti nama file itu menjadi sajakyangtakpernahberakhir.txt.***
[FIKSIMINI] Dia yang Mencintai Sajak Cinta
DIA ingin menulis sebuah sajak cinta untuk Sajak Cinta yang dia cintai. Dia ingin menulis sajak cinta yang tak pernah ditulis oleh siapapun. Sajak cinta yang ingin dia tulis itu bukan sajak tentang cinta yang sederhana, bukan sajak cinta yang dipamfletkan, bukan sajak cinta yang sentimentil.
Sudah lama dia membuat file sajakcinta.txt di komputernya. File itu kosong, karena memang dia belum menuliskan apa-apa di sana. Sajak Cinta-nya bilang, "jangan buru-buru menulis sajak cinta untukku!"
Tiap malam dia pasti membuka file itu, lalu mencoba beberapa bait tapi selalu ia hapus lagi karena dia rasa bait-bait percobaan itu belum pas untuk Sajak Cinta yang ia cintai itu.
"Tulis saja dulu sajak yang lain, sajak untuk hal-hal lain," kata Sajak Cintanya. Maka, demikianlah, sementara dia selalu membayangkan dan terus mencari bagaimana cara menulis sajak terbaik untuk Sajak Cinta-nya itu, dia menulis bermacam-macam sajak.***
Sudah lama dia membuat file sajakcinta.txt di komputernya. File itu kosong, karena memang dia belum menuliskan apa-apa di sana. Sajak Cinta-nya bilang, "jangan buru-buru menulis sajak cinta untukku!"
Tiap malam dia pasti membuka file itu, lalu mencoba beberapa bait tapi selalu ia hapus lagi karena dia rasa bait-bait percobaan itu belum pas untuk Sajak Cinta yang ia cintai itu.
"Tulis saja dulu sajak yang lain, sajak untuk hal-hal lain," kata Sajak Cintanya. Maka, demikianlah, sementara dia selalu membayangkan dan terus mencari bagaimana cara menulis sajak terbaik untuk Sajak Cinta-nya itu, dia menulis bermacam-macam sajak.***
Saturday, September 26, 2009
Marsya Timothy di Kentucky Fried Chicken
AKU kira bukan hanya ujung hidung dan pelipismu yang berpeluh,
ketika kau kunyah renyah dada berbubuk merica, semulut penuh.
"Ini menu baru," seperti begitu, sabda Kolonel Sanders dalam teks
promosi itu, "Kami tambahkan sesuatu, pada 13 rahasia bumbu!"
Dan kami antre di depan kasirmu, seperti barisan umat minta berkat,
atau para duafa berbaris di balai kota, minta sedekah dari penguasa.
Di kerumunan itu, tentu saja tak ada engkau, Marsya, tentu saja tak ada.
Lalu di layar besar itu kau berlalu, setelah mengibaskan palma tanganmu,
menyeret gaun saos tomatmu, dan aku tak mau menebak arti ajakan itu.
ketika kau kunyah renyah dada berbubuk merica, semulut penuh.
"Ini menu baru," seperti begitu, sabda Kolonel Sanders dalam teks
promosi itu, "Kami tambahkan sesuatu, pada 13 rahasia bumbu!"
Dan kami antre di depan kasirmu, seperti barisan umat minta berkat,
atau para duafa berbaris di balai kota, minta sedekah dari penguasa.
Di kerumunan itu, tentu saja tak ada engkau, Marsya, tentu saja tak ada.
Lalu di layar besar itu kau berlalu, setelah mengibaskan palma tanganmu,
menyeret gaun saos tomatmu, dan aku tak mau menebak arti ajakan itu.
Friday, September 25, 2009
Di Masjid Al-Hikmah Tanjungpinang
KARENA menara itu, aku kira mesti ada seruang sembahyang di bawah tanah,
tempat bagi jamaah yang ingin yakin bahwa maut memang esok hari datang.
Karena tempat air wudhu itu, aku kira mesti ada juga ruang dengan nyala api,
agar tak hanya sungai mengaliri surga yang terbayang, tapi juga panas siksa itu.
tempat bagi jamaah yang ingin yakin bahwa maut memang esok hari datang.
Karena tempat air wudhu itu, aku kira mesti ada juga ruang dengan nyala api,
agar tak hanya sungai mengaliri surga yang terbayang, tapi juga panas siksa itu.
Thursday, September 24, 2009
Di Feri Baruna dari Tanjungpinang ke Batam
: Shiela dan Ikra
KAMI - tidak sedang mengantarkan kalian: anak-anak yang
akan dijemput juru hidup sendiri, yang memulai, membuka
sampul kitab, kisah perjalanan (dan kesenyapan) sendiri-sendiri.
Ombak di laut itu, tak pernah terluka oleh badai yang baru
saja ada, yang tadi di pelabuhan kita saksikan dengan cemas.
Angin di langit itu, tak pernah patah oleh halilintar yang tadi
dicambukkan cuaca buruk, yang bikin kita diam-diam berdoa.
Kami - tidak sedang mengantar kalian: sesungguhnya kalianlah
yang sedang mengantarkan kami, ke rumah yang mulai kalian
tinggalkan, ke rumah yang semoga kelak juga kalian rindukan.
KAMI - tidak sedang mengantarkan kalian: anak-anak yang
akan dijemput juru hidup sendiri, yang memulai, membuka
sampul kitab, kisah perjalanan (dan kesenyapan) sendiri-sendiri.
Ombak di laut itu, tak pernah terluka oleh badai yang baru
saja ada, yang tadi di pelabuhan kita saksikan dengan cemas.
Angin di langit itu, tak pernah patah oleh halilintar yang tadi
dicambukkan cuaca buruk, yang bikin kita diam-diam berdoa.
Kami - tidak sedang mengantar kalian: sesungguhnya kalianlah
yang sedang mengantarkan kami, ke rumah yang mulai kalian
tinggalkan, ke rumah yang semoga kelak juga kalian rindukan.
Dari Kamar 617 Hotel Laguna
INI bagai lukisan yang belum
dipindahkan ke kanvas (tapi
sudah terbingkai): pohon yang
menyerasahkan daun di atap
toko, lelaki tua dan sepedanya,
spanduk, menara, bendera dan
antena. Juga angin, hujan dan
kaca jendela.
Kamu? Kamu adalah pertanyaan
yang laten dalam lukisan itu.
*
INI seperti badai penghabisan
pada lembar terakhir yang tak
sempat dibaca dari sejarah
pulau itu: Penyengat, yang
seperti semakin mengecil,
memanggul beban masa lalu.
Ada perahu tak jadi berkayuh
ke Tanjungpinang, pesuruh yang
hendak menjemput mangkuk dawat,
atau senapan angin, dan upah
sejumput, untuk kerja menyusun
kamus yang tak kunjung rampung.
Dan kamu? Kamu adalah sejarah
yang bahkan dalam rahasia pun
mungkin tak pernah tercatat.
dipindahkan ke kanvas (tapi
sudah terbingkai): pohon yang
menyerasahkan daun di atap
toko, lelaki tua dan sepedanya,
spanduk, menara, bendera dan
antena. Juga angin, hujan dan
kaca jendela.
Kamu? Kamu adalah pertanyaan
yang laten dalam lukisan itu.
*
INI seperti badai penghabisan
pada lembar terakhir yang tak
sempat dibaca dari sejarah
pulau itu: Penyengat, yang
seperti semakin mengecil,
memanggul beban masa lalu.
Ada perahu tak jadi berkayuh
ke Tanjungpinang, pesuruh yang
hendak menjemput mangkuk dawat,
atau senapan angin, dan upah
sejumput, untuk kerja menyusun
kamus yang tak kunjung rampung.
Dan kamu? Kamu adalah sejarah
yang bahkan dalam rahasia pun
mungkin tak pernah tercatat.
Di Rumah Husnizar Hood
AKU kira aku akan datang di rumah yang berbeda. Ternyata, tidak.
Dia tuan rumah yang sama, yang baru saja menerima seribu tamu.
"Sudah delapan belas tahun aku tak kerja di kantor," katanya. Aku
tebak, selama ini dia kemana saja. Aku tahu alamat kantor lamanya.
Aku kira kami akan bicara lama, tentang harga satu krat air kaleng,
dan Mahmud sahabatnya yang Temberang, dan Tetap Temberang,
tentang setoples kue lidah kucing, atau kursi baru di gedung dewan.
"Di sana," katanya, "satu perkara, bisa ditanggapi dua puluh minda,
ada yang asal saja bicara, ada juga yang entah hendak bicara apa."
Ah, aku kira nanti kami akan sama-sama siaran di radio itu, bergantian
membaca puisi, membahas satu bait saja, dengan seribu tafsir makna.
Dia tuan rumah yang sama, yang baru saja menerima seribu tamu.
"Sudah delapan belas tahun aku tak kerja di kantor," katanya. Aku
tebak, selama ini dia kemana saja. Aku tahu alamat kantor lamanya.
Aku kira kami akan bicara lama, tentang harga satu krat air kaleng,
dan Mahmud sahabatnya yang Temberang, dan Tetap Temberang,
tentang setoples kue lidah kucing, atau kursi baru di gedung dewan.
"Di sana," katanya, "satu perkara, bisa ditanggapi dua puluh minda,
ada yang asal saja bicara, ada juga yang entah hendak bicara apa."
Ah, aku kira nanti kami akan sama-sama siaran di radio itu, bergantian
membaca puisi, membahas satu bait saja, dengan seribu tafsir makna.
Di Kedai Barang Antik
AKU seperti disambut hymne, lengang, jerit
terompet kuningan yang ditiup prajurit di
halaman maskapai dagang, di Tanjungpinang.
"Apakah barang-barang ini dijual?" tanyaku,
pada sepasang perantau dari Jawa. Istrinya,
berjualan nasi goreng - dengan taburan daun
seledri yang malam itu tercium aneh; berebut
menusuk hidung dengan bawang dan cabai.
Suaminya mengelola kedai barang antik itu.
Waktu lepas Isya, tak ada yang berbelanja.
Siapa juga yang mau beli, wayang semar,
cincin akik, kentongan bambu, tasbih kayu
cendana, atau hiasan dinding kayu diukir
di Jepara bergambar Winnie The Pooh, Mickey
Mouse, dan kawanan Teletubbies, di malam
yang mulai beranjak larut ini?
Aku seperti ditodong pistol tua, terbiar
di sudut lemari kaca. "Kau dari mana? Mau
cari apa?" Seperti opas tua yang bertanya,
di pintu waktu yang sia-sia hendak kubuka.
terompet kuningan yang ditiup prajurit di
halaman maskapai dagang, di Tanjungpinang.
"Apakah barang-barang ini dijual?" tanyaku,
pada sepasang perantau dari Jawa. Istrinya,
berjualan nasi goreng - dengan taburan daun
seledri yang malam itu tercium aneh; berebut
menusuk hidung dengan bawang dan cabai.
Suaminya mengelola kedai barang antik itu.
Waktu lepas Isya, tak ada yang berbelanja.
Siapa juga yang mau beli, wayang semar,
cincin akik, kentongan bambu, tasbih kayu
cendana, atau hiasan dinding kayu diukir
di Jepara bergambar Winnie The Pooh, Mickey
Mouse, dan kawanan Teletubbies, di malam
yang mulai beranjak larut ini?
Aku seperti ditodong pistol tua, terbiar
di sudut lemari kaca. "Kau dari mana? Mau
cari apa?" Seperti opas tua yang bertanya,
di pintu waktu yang sia-sia hendak kubuka.
Wednesday, September 23, 2009
[Ruang Renung # 241] Apa yang Mau Disajakkan?
APA saja bisa. Semua hal berhak disajakkan. Semua peristiwa bisa dipuisikan. Semua lintasan pemikiran bisa hadir dalam sajak. Semua permenungan boleh ada dalam puisi. Semua yang ada di dunia, bahkan yang tidak ada pun, adalah tema sajak-sajak kita.
Bagaimana menyajakkannya? Apakah semuanya bisa disajakkan dengan cara yang sama? Ah, tentu saja tiap sajak punya bagaimananya sendiri, tiap sajak menempuh jalan yang berbeda untuk sampai pada sajak. pada dirinya sendiri.
Apakah semua sampai pada sajak? Tiap sajak adalah hasil sebuah percobaan. Tiap sajak adalah sebuah percobaan itu sendiri. Dia bisa berhasil, dia bisa gagal. Dia bisa sampai, bisa juga terbengkalai.
Tetapi, bukankah perangkat-perangkat sajak itu sama saja? Ya, kita harus menguasai perangkat-perangkat itu. Mengenalinya, dan mahir memakainya saat kita menukangi sajak kita. Dan kemudian, setelah kita kuasai dan kenali perangkat itu, kitalah yang menentukan hendak memakai perangkat yang mana, atau tidak memakai, atau menciptakan perangkat baru yang belum pernah dipakai oleh penyair sebelumnya. []
Bagaimana menyajakkannya? Apakah semuanya bisa disajakkan dengan cara yang sama? Ah, tentu saja tiap sajak punya bagaimananya sendiri, tiap sajak menempuh jalan yang berbeda untuk sampai pada sajak. pada dirinya sendiri.
Apakah semua sampai pada sajak? Tiap sajak adalah hasil sebuah percobaan. Tiap sajak adalah sebuah percobaan itu sendiri. Dia bisa berhasil, dia bisa gagal. Dia bisa sampai, bisa juga terbengkalai.
Tetapi, bukankah perangkat-perangkat sajak itu sama saja? Ya, kita harus menguasai perangkat-perangkat itu. Mengenalinya, dan mahir memakainya saat kita menukangi sajak kita. Dan kemudian, setelah kita kuasai dan kenali perangkat itu, kitalah yang menentukan hendak memakai perangkat yang mana, atau tidak memakai, atau menciptakan perangkat baru yang belum pernah dipakai oleh penyair sebelumnya. []
Labels:
Ruang Renung
Tuesday, September 22, 2009
Ibu Ramadan
/1/
USIA kandungan ini
bukan tiga puluh hari
O, Ramadan yang Ibu,
kau lahirkan kami lagi
kau bayikan kami lagi
Bersama Syawal kini
bulan sang pengawal
bulan sang pengasuh
O, semoga kami
tak lagi menjadi
anak-anak yang nakal dan lupa
anak-anak yang bengal dan alpa.
/2/
Kami anak-anak yang ragu,
Kau ibu ragi menabur bubuk
ranggi pada lekat kami.
Kami cuma nasi, Kau ibu
mengarakkan jiwa kami.
Kami hanya akan busuk basi,
Kau mengekalkan singkat mulakat
kami, anak-anak hakikat.
USIA kandungan ini
bukan tiga puluh hari
O, Ramadan yang Ibu,
kau lahirkan kami lagi
kau bayikan kami lagi
Bersama Syawal kini
bulan sang pengawal
bulan sang pengasuh
O, semoga kami
tak lagi menjadi
anak-anak yang nakal dan lupa
anak-anak yang bengal dan alpa.
/2/
Kami anak-anak yang ragu,
Kau ibu ragi menabur bubuk
ranggi pada lekat kami.
Kami cuma nasi, Kau ibu
mengarakkan jiwa kami.
Kami hanya akan busuk basi,
Kau mengekalkan singkat mulakat
kami, anak-anak hakikat.
[Ruang Renung # 240] Tak Semua Jadi Puisi
INILAH contoh dari apa yang selalu kita yakini, bahwa puisi adalah perihal mau bilang apa dan bagaimana bilangnya.
Tiba-tiba kita ingin mau bilang "selamat hari raya Idulfitri". Kita lalu menyusun kata-kata sendiri, menjadi kalimat yang berbeda satu sama lain. Berbeda? Ah, ada juga yang sekadar mengucap, asal ucap saja, tak peduli apakah ucapannya khas atau cuma mengulang-ulang apa yang sudah pernah dipakai orang lain.
Memang tak semuanya berniat menulis puisi, jadi tak semua ucapan itu jadi puisi. Sebagian besar memang hanya ingin mengucapkan sembarang ucap, karena butuh mengucap.
Penyair tak menunggu hari raya. Setiap saat bisa jadi hari rayanya. Penyair selalu tergerak untuk mengucapkan banyak hal yang tak dipedulikan oleh orang lain. Penyair asyik mencari cara-cara mengucap, sehingga apa yang ia ucapkan menjadi menarik, menggugah, menyentuh, mengesankan dan menyadarkan atau bahkan mencerahkan orang lain yang membaca.***
Tiba-tiba kita ingin mau bilang "selamat hari raya Idulfitri". Kita lalu menyusun kata-kata sendiri, menjadi kalimat yang berbeda satu sama lain. Berbeda? Ah, ada juga yang sekadar mengucap, asal ucap saja, tak peduli apakah ucapannya khas atau cuma mengulang-ulang apa yang sudah pernah dipakai orang lain.
Memang tak semuanya berniat menulis puisi, jadi tak semua ucapan itu jadi puisi. Sebagian besar memang hanya ingin mengucapkan sembarang ucap, karena butuh mengucap.
Penyair tak menunggu hari raya. Setiap saat bisa jadi hari rayanya. Penyair selalu tergerak untuk mengucapkan banyak hal yang tak dipedulikan oleh orang lain. Penyair asyik mencari cara-cara mengucap, sehingga apa yang ia ucapkan menjadi menarik, menggugah, menyentuh, mengesankan dan menyadarkan atau bahkan mencerahkan orang lain yang membaca.***
Monday, September 14, 2009
Ayat-ayat Ketupat
[1] DEMI wadah bagi segenggam beras
harus kau panjat ke pucuk kelapa
Merampas menebas kuncup tunas,
yang bahkan masih teramat pucat
Yang tinggi, memang harus dijemput?
Agar turun lekas, tanpa menunggu saat
jatuh, saat telah lapuk dan rapuh.
[2] Demi bentuk bagi segenggam beras
harus kau jalin lembar-lembar pita janur
Agar beras yang segenggam itu tahu batas
[3] Demi panas bagi segenggam beras,
harus kau jaga nyala di bawah tungku
Demikian, panas api itu tuli dan buta
dia ada dengan meniadakan kayu-kayumu,
Dia ada menembus, merebus, mengukus,
yang segenggam itu pun tunak dan tanak.
[4] Demi amsal bagi segenggam beras!
Maka, metafora seperti apa yang masih
saja malas kau maknai, Saudara?
harus kau panjat ke pucuk kelapa
Merampas menebas kuncup tunas,
yang bahkan masih teramat pucat
Yang tinggi, memang harus dijemput?
Agar turun lekas, tanpa menunggu saat
jatuh, saat telah lapuk dan rapuh.
[2] Demi bentuk bagi segenggam beras
harus kau jalin lembar-lembar pita janur
Agar beras yang segenggam itu tahu batas
[3] Demi panas bagi segenggam beras,
harus kau jaga nyala di bawah tungku
Demikian, panas api itu tuli dan buta
dia ada dengan meniadakan kayu-kayumu,
Dia ada menembus, merebus, mengukus,
yang segenggam itu pun tunak dan tanak.
[4] Demi amsal bagi segenggam beras!
Maka, metafora seperti apa yang masih
saja malas kau maknai, Saudara?
Sunday, September 13, 2009
Kuberi Tahu Engkau Bagaimana Cara Kami Menapaikan Ketan
: untuk mamaku Siti Mariyam, juru tapai paling hebat sedunia.
ENGKAU harus yakin telah memilih beras ketan baru, yang seputih santan, yang berbulir lencir, lalu kau tampi lagi, agar terbang segala dedak debu. Telah selesai tugas kulit padi. Menjaga bulir yang setetes demi setetes terisi, membernas di runduk malai, di petak-petak sawahmu.
Sementara itu engkau siapkan tungku, dandang pengukusan, dan kayu secukupnya kayu. Api harus tetap menjaga nyala, menembuskan panas ke dinding dandang, sementara di dalam dandang itu nanti gelegak air menguji seberapa lekat ketan yang telah kau pilih, kau bersihkan, dan kelak hendak kau tapaikan.
Engkau mestinya sudah menyiapkan perasan daun pandan yang kau petik di sumur tempat engkau mandi hari raya, sebelum salat Idulfitri, pandan yang berumpun subur, hijau dan wangi yang kelak menyeimbangi aroma fermentasi.
Di nyiru, yang tadi kau pakai menampi, kini seharusnya sudah engkau lapisi helai daun pisang, jangan terbalik membentang, sisi atas yang hijaunya sedap dipandang, di situlah engkau hamparkan nasi ketan yang mengepulkan uap yang baru engkau kaut dari dandang, lalu biarkan hingga suhu kamar, sambil engkau percikkan padanya harum dan hijau perasan air pandan.
Aku beri tahu rahasia satu: agar tak lekat tanganmu, celupkan keduanya dalam air remasan pucuk katu, kami percaya ini akan banyak membantu, ragi yang kelak ditugaskan berfermentasi, dia bekeja tidak sendiri.
Rahasia yang paling rahasia sebenarnya adalah saat kau menaburkan ragi (dan menebarkan ragu, "maniskah kelak tapaiku? Maniskah?"), pastikanlah bahwa saat itu suhu ketan yang tentu telah menghijau itu tak lebih panas dari suhu udara di dapurmu. Jika segumpal saja ada yang masih menyimpan lebih suhu, oh, kau sudah menggagalkan seluruh ritual penapaianmu. Yang segumpal itu akan memerah dan memasamkan seluruh manis tapaimu!
Saatnya, engkau menunggu, setelah menyimpan bakal tapaimu dalam wadah tertutup, sebab ragimu, ragi tapaimu, adalah dia yang bekerja dalam ruang tak berpintu. Kelak, akan terkabarkan padamu, wangi manis tapaimu, di pagi hari rayamu.
Saturday, September 12, 2009
Malam Ini Tadinya Aku Ingin Menulis Sebuah Sajak Cinta
TAPI aku hanya punya kata: "takut",
"pedih", "kabur", dan "sia-sia". Sajak
apa yang bisa ditulis dari kata-kata itu?
Bait apa yang bisa dibuat dalam sebuah
sajak cinta, yang memuat kata "takut"?
Mungkin begini: aku takut membaca
kata yang kutahu itu adalah namamu,
karena semakin lama aku melihat
huruf-hurufnya, aku seperti melihat
huruf-huruf itu berubah menjadi
bentuk-bentuk aneh, musykil, ganjil,
seperti huruf dari aksara asing,
yang aku tak tahu bagaimana harus
membacanya. Masihkah itu namamu? Atau
itu kata-kata peringatan? Atau ancaman?
Aku tak tahu, dan itu sebabnya aku
merasa takut...
*
Lalu bagaimana dengan kata "pedih"?
Aku ingin menelepon M Aan Mansyur.
Aku kira dia sangat tahu arti kata
itu, dan dia paling lihai memakai
kata itu dalam sajak-sajaknya. Tapi,
pukul 11.28 malam, dan wilayah waktu
kami berselisih dua jam, sudah sangat
larut waktu hanya untuk mempercakapkan
bagaimana memakai sebuah kata "pedih"
untuk sebuah sajak cinta.
Lagi pula aku teringat satu bait
sajaknya: Cinta adalah jatuhnya reranting
kering, untuk setumbuh tunas yang
mungkin... Bait yang saya petik dari
sajaknya "Cinta Adalah" dalam buku
"Hujan Rintih-Rintih".
Tak ada kata "pedih" dalam petikan itu.
Tapi, terasa ada pedih yang cukup pedih
di larik itu. Betapa jatuh daun adalah
sebuah pasti, sementara tumbuh tunas
yang diuntukkannya, adalah sebuah mungkin
yang hanya.
Jadi, aku kira, kata "pedih" yang kupunya
juga tak cukup bagiku untuk menulis sebuah
sajak cinta malam ini.
*
"Kabur" sesungguhnya adalah kata yang
baik. Ia bisa berarti samar, bisa pula
berarti pergi tanpa izin. Ini kutulis
begitu saja tanpa melihat kamus. Tapi,
karena tadinya malam ini aku ingin
menuliskan sebuah sajak cinta, dan aku
sangat tidak siap untuk itu, aku lalu
terbawa pada sebuah bait sajak W.S. Rendra
penyair yang saat kutulis sajak ini,
belum lagi 40 hari wafatnya.
Aku pergi dan kakiku adalah hatiku.Sekali
pergi menolak rindu. Ada duka, pedih dan
air mata biru, tapi aku menolak rindu.
Aku tak bisa lepas dari bait yang amat
kuat, dari sajak "Lagu Angin", dalam buku
"Empat Kumpulan Sajak" itu. Ini bait
tentang kepergian? tentang keinginan untuk
berpisah? Tentang rindu yang dipastikan
akan ada? Tapi si "aku" dalam sajak itu
(ah betapa bodohnya) merasa bisa menolaknya?
Kata-kata dalam petikan larik itu, begitu
sederhana, tapi ia digubah dengan sempurna,
sehingga menciptakan lapisan metafora,
jalinan makna, yang tak habis-habisnya kutafsirkan
sendiri, malam ini, di sini.
Dahsyatnya! Dahsyatnya! Aku berdaya,
sekaligus begitu tak berdaya dibuatnya.
Serasa aku jadi akan bisa membuat bait
yang sebertenaga itu, tetapi tidak malam
ini, malam aku matikata!
*
Aku percaya tak ada yang sia-sia, itu
sebabnya, kata "sia-sia" juga tak mampu
kusajakkan malam ini, untuk sebuah sajak
cinta yang ingin kutulis.
Aku ingat, aku pernah membaca membaca
sajak Gus tf (begitulah memang namanya
ditulis, dengan tf kecil). Sajak yang
judulnya "Kita Pernah". Ini bukan
tentang kesia-siaan, ini tentang bagaimana
sebuah pernah dimakna, walau hanya sebagai
sebuah, ah... aku petikkan saja dulu bait
sajak dari buku "Sangkar Daging" itu:
tapi kita pernah berkenalan. berulangkali
kaukunjungi aku, sebagai aduh dari kepedihan.
Lihat, perkenalan, kunjungan, yang
berulang kali, mungkin bisa jadi sia-sia
karena beban yang ada dalam pertemuan itu,
justru menjadikan sebuah sakit, sebuah
perih. Tapi, itulah yang membuatnya tak
jadi sia-sia: ada sesuatu yang bisa
disebagaikan, meskipun itu adalah sebuah
"aduh dari kepedihan"! Tak sia-sia bukan?
Ya, malam ini tadinya aku ingin
menulis sebuah sajak cinta. Ya....
"pedih", "kabur", dan "sia-sia". Sajak
apa yang bisa ditulis dari kata-kata itu?
Bait apa yang bisa dibuat dalam sebuah
sajak cinta, yang memuat kata "takut"?
Mungkin begini: aku takut membaca
kata yang kutahu itu adalah namamu,
karena semakin lama aku melihat
huruf-hurufnya, aku seperti melihat
huruf-huruf itu berubah menjadi
bentuk-bentuk aneh, musykil, ganjil,
seperti huruf dari aksara asing,
yang aku tak tahu bagaimana harus
membacanya. Masihkah itu namamu? Atau
itu kata-kata peringatan? Atau ancaman?
Aku tak tahu, dan itu sebabnya aku
merasa takut...
*
Lalu bagaimana dengan kata "pedih"?
Aku ingin menelepon M Aan Mansyur.
Aku kira dia sangat tahu arti kata
itu, dan dia paling lihai memakai
kata itu dalam sajak-sajaknya. Tapi,
pukul 11.28 malam, dan wilayah waktu
kami berselisih dua jam, sudah sangat
larut waktu hanya untuk mempercakapkan
bagaimana memakai sebuah kata "pedih"
untuk sebuah sajak cinta.
Lagi pula aku teringat satu bait
sajaknya: Cinta adalah jatuhnya reranting
kering, untuk setumbuh tunas yang
mungkin... Bait yang saya petik dari
sajaknya "Cinta Adalah" dalam buku
"Hujan Rintih-Rintih".
Tak ada kata "pedih" dalam petikan itu.
Tapi, terasa ada pedih yang cukup pedih
di larik itu. Betapa jatuh daun adalah
sebuah pasti, sementara tumbuh tunas
yang diuntukkannya, adalah sebuah mungkin
yang hanya.
Jadi, aku kira, kata "pedih" yang kupunya
juga tak cukup bagiku untuk menulis sebuah
sajak cinta malam ini.
*
"Kabur" sesungguhnya adalah kata yang
baik. Ia bisa berarti samar, bisa pula
berarti pergi tanpa izin. Ini kutulis
begitu saja tanpa melihat kamus. Tapi,
karena tadinya malam ini aku ingin
menuliskan sebuah sajak cinta, dan aku
sangat tidak siap untuk itu, aku lalu
terbawa pada sebuah bait sajak W.S. Rendra
penyair yang saat kutulis sajak ini,
belum lagi 40 hari wafatnya.
Aku pergi dan kakiku adalah hatiku.Sekali
pergi menolak rindu. Ada duka, pedih dan
air mata biru, tapi aku menolak rindu.
Aku tak bisa lepas dari bait yang amat
kuat, dari sajak "Lagu Angin", dalam buku
"Empat Kumpulan Sajak" itu. Ini bait
tentang kepergian? tentang keinginan untuk
berpisah? Tentang rindu yang dipastikan
akan ada? Tapi si "aku" dalam sajak itu
(ah betapa bodohnya) merasa bisa menolaknya?
Kata-kata dalam petikan larik itu, begitu
sederhana, tapi ia digubah dengan sempurna,
sehingga menciptakan lapisan metafora,
jalinan makna, yang tak habis-habisnya kutafsirkan
sendiri, malam ini, di sini.
Dahsyatnya! Dahsyatnya! Aku berdaya,
sekaligus begitu tak berdaya dibuatnya.
Serasa aku jadi akan bisa membuat bait
yang sebertenaga itu, tetapi tidak malam
ini, malam aku matikata!
*
Aku percaya tak ada yang sia-sia, itu
sebabnya, kata "sia-sia" juga tak mampu
kusajakkan malam ini, untuk sebuah sajak
cinta yang ingin kutulis.
Aku ingat, aku pernah membaca membaca
sajak Gus tf (begitulah memang namanya
ditulis, dengan tf kecil). Sajak yang
judulnya "Kita Pernah". Ini bukan
tentang kesia-siaan, ini tentang bagaimana
sebuah pernah dimakna, walau hanya sebagai
sebuah, ah... aku petikkan saja dulu bait
sajak dari buku "Sangkar Daging" itu:
tapi kita pernah berkenalan. berulangkali
kaukunjungi aku, sebagai aduh dari kepedihan.
Lihat, perkenalan, kunjungan, yang
berulang kali, mungkin bisa jadi sia-sia
karena beban yang ada dalam pertemuan itu,
justru menjadikan sebuah sakit, sebuah
perih. Tapi, itulah yang membuatnya tak
jadi sia-sia: ada sesuatu yang bisa
disebagaikan, meskipun itu adalah sebuah
"aduh dari kepedihan"! Tak sia-sia bukan?
Ya, malam ini tadinya aku ingin
menulis sebuah sajak cinta. Ya....
Friday, September 11, 2009
Sajak Sakit: Pilek
LUAS napas ternyata hanya selapang sepasang lubang,
mudah sekali mengingatkan aku pada mati yang pasti.
Nyawa itu, mungkin seringan bersin tiga kali, terbang,
dan lalu jadi asing pada tubuh yang selama ini ia huni.
mudah sekali mengingatkan aku pada mati yang pasti.
Nyawa itu, mungkin seringan bersin tiga kali, terbang,
dan lalu jadi asing pada tubuh yang selama ini ia huni.
Sajak Sakit: Batuk
"AKU sudah cukup tajam untuk menyembelihmu?"
begitu selalu bertanya waktu, parang panjang itu .
Leherku, tiba-tiba dari dalam bagai ada yang mencekik,
sepasang tangan, seperti ingin memeras darah di situ.
begitu selalu bertanya waktu, parang panjang itu .
Leherku, tiba-tiba dari dalam bagai ada yang mencekik,
sepasang tangan, seperti ingin memeras darah di situ.
Thursday, September 10, 2009
Sajak Sakit: Pusing
MUNGKIN ada sajak di kepalaku yang aku tak
tahu bagaimana mengeluarkannya dari situ.
Sajak yang mengeras, membatu, memanas, yang
tak menemukan Kata yang bisa mengucapkannya.
Mungkin aku harus menyimpan lebih banyak lagi
Kata di situ, Kata yang menjaga pintu-pintu.
tahu bagaimana mengeluarkannya dari situ.
Sajak yang mengeras, membatu, memanas, yang
tak menemukan Kata yang bisa mengucapkannya.
Mungkin aku harus menyimpan lebih banyak lagi
Kata di situ, Kata yang menjaga pintu-pintu.
Sajak Sakit: Radang
AKU tak juga kenal ini lorong tenggorokan,
pun saat radang mendemamkan badan sebadan.
Di situkah nanti batas akhir Ruh bertahan?
Waktu sakit, aku mengawasi tepian ranjang,
jaga ubun-ubun, di situ nanti malaikat turun?
Lembut mencabut, tak tersibak sehelai pun rambut.
Bagai kecup ibu. Aku tertidur, peluh mengembun.
pun saat radang mendemamkan badan sebadan.
Di situkah nanti batas akhir Ruh bertahan?
Waktu sakit, aku mengawasi tepian ranjang,
jaga ubun-ubun, di situ nanti malaikat turun?
Lembut mencabut, tak tersibak sehelai pun rambut.
Bagai kecup ibu. Aku tertidur, peluh mengembun.
Tuesday, September 8, 2009
Sajak yang Jauh Terasing
SAJAK yang terasing jauh, sajak yang bicara tentang daun jatuh,
dia yang miskin tak pernah membacanya, meski sering juga takjub
oleh jatuh daun, seperti jatuh daun yang membuat sajak itu ada.
Sajak yang tak berharga, sajak yang bait-baitnya dihujani hujan, dia
yang miskin tak pernah membacanya, walaupun sering kehujanan, dan
dalam hujan itu ia merasakan sesuatu seperti yang ada dalam sajak itu.
Sajak yang sia-sia, sajak yang dalam larik-lariknya bentang padang ilalang,
dia yang miskin tak pernah membacanya, meski ada luka di kakinya ditikam
tunas keras ilalang, dan dia ingin mengatakan sesuatu yang ada dalam sajak itu.
dia yang miskin tak pernah membacanya, meski sering juga takjub
oleh jatuh daun, seperti jatuh daun yang membuat sajak itu ada.
Sajak yang tak berharga, sajak yang bait-baitnya dihujani hujan, dia
yang miskin tak pernah membacanya, walaupun sering kehujanan, dan
dalam hujan itu ia merasakan sesuatu seperti yang ada dalam sajak itu.
Sajak yang sia-sia, sajak yang dalam larik-lariknya bentang padang ilalang,
dia yang miskin tak pernah membacanya, meski ada luka di kakinya ditikam
tunas keras ilalang, dan dia ingin mengatakan sesuatu yang ada dalam sajak itu.
Sajak yang Tak Peduli
KALAU kau lapar, lalu kau cari kenyang di bait-bait sajak ini,
kau akan dibunuh oleh mati, tak ada makanan di sajak ini!
Kalau kau tertindas, lalu mencari perlindungan di larik sajak ini,
kau akan dibunuh keji, tak ada yang membelamu di sajak ini!
Kalau kau marah, lalu ingin melampiaskan di kata-kata sajak ini,
kau akan terbunuh kesal sendiri, sajak tak mendengar keluhmu!
Kalau kau lemah, lalu kau harap kalimat sajak ini membelamu,
kau salah, sajak ini jauh lebih tak kuat daripada kelemahanmu!
Kalau kau miskin, lalu lewat sajak ini kau menuntut keadilan bagimu,
aduh, kau terlalu mengada-ada, tak ada sajak yang seberdaya itu!
kau akan dibunuh oleh mati, tak ada makanan di sajak ini!
Kalau kau tertindas, lalu mencari perlindungan di larik sajak ini,
kau akan dibunuh keji, tak ada yang membelamu di sajak ini!
Kalau kau marah, lalu ingin melampiaskan di kata-kata sajak ini,
kau akan terbunuh kesal sendiri, sajak tak mendengar keluhmu!
Kalau kau lemah, lalu kau harap kalimat sajak ini membelamu,
kau salah, sajak ini jauh lebih tak kuat daripada kelemahanmu!
Kalau kau miskin, lalu lewat sajak ini kau menuntut keadilan bagimu,
aduh, kau terlalu mengada-ada, tak ada sajak yang seberdaya itu!
Monday, September 7, 2009
Lirisme Orang Miskin
JANGAN bilang kau mengerti, kemiskinan
ini bahkan terlalu asing buat kami pahami.
Jangan tanya kami makan apa hari-hari ini.
Hanya lapar yang ada tersedia setiap kali.
Jangan beri perahu, kalau laut kau kuasai
dan ikan menjauh karena kau takut-takuti.
Jangan beri kami beras, kalau itu hanya
untuk menunjukkan kau masih berhati.
Kemiskinan mengasingkan kau dari kami,
Kemiskinan menjauhkan kau dari kami.
O, jangan menulis puisi tentang kami!
ini bahkan terlalu asing buat kami pahami.
Jangan tanya kami makan apa hari-hari ini.
Hanya lapar yang ada tersedia setiap kali.
Jangan beri perahu, kalau laut kau kuasai
dan ikan menjauh karena kau takut-takuti.
Jangan beri kami beras, kalau itu hanya
untuk menunjukkan kau masih berhati.
Kemiskinan mengasingkan kau dari kami,
Kemiskinan menjauhkan kau dari kami.
O, jangan menulis puisi tentang kami!
Sunday, September 6, 2009
Sajak yang Gelap
LIDAHKU ikan pari. Berlari jauh sekali,
di dasar sumbu samudera: terumbu kata.
Telingaku ubur-ubur, selembut ubi bubur,
melekat tiap suara, menyerap segala senyap.
Hidungku hiu kepala martil, rindu aroma
darah, bagi gelepar lapar yang mentah!
Mataku piranha, memangsa segala cahaya,
menelan sesat warna, tanpa mengunyahnya!
Gigiku kepiting karang, capit menganga,
menghancur semua, apa yang lapar minta.
di dasar sumbu samudera: terumbu kata.
Telingaku ubur-ubur, selembut ubi bubur,
melekat tiap suara, menyerap segala senyap.
Hidungku hiu kepala martil, rindu aroma
darah, bagi gelepar lapar yang mentah!
Mataku piranha, memangsa segala cahaya,
menelan sesat warna, tanpa mengunyahnya!
Gigiku kepiting karang, capit menganga,
menghancur semua, apa yang lapar minta.
Sajak Apa Ini!
TIDUR di kamar - akuarium sangkar malam,
lapar sekali ikan-ikan mimpi, mematuki
mata-kosongku, memasuki masa-kosongku
dari perut-perut ikan itu, mata-mataku
melihat sendiri pada gelisah tubuhku dan
gelak kisah waktu: selimut koyak itu.
Apa yang tetap aku pada lelaki lelap itu?
*
Siapa yang menjaga di jendela? Sepasang
burung hantu, yang lama puasa memangsa,
ikan-ikan tak menggiurkan lapar cakarnya.
Lagi lupa, apa enaknya sepotong mimpi?
Mereka pun tak mau mata-kosongku yang tak
pernah memejam di lambung ikan itu, akan
bisa melihat aku dari perutnya: nanti
gelisah tubuhku tentu akan sangat berbeda.
Aku tadi ingin mimpi apa sebenarnya?
*
Aku terbangun dengan lapar yang asing.
Mataku masih menyimpan ikan-ikan. Berenang
dalam airmata yang tak pernah kutangiskan.
Jendela kosong. Aku tahu tadi ada sepasang
burung hantu di situ, matanya mengincar
ikan di genangan mataku. Harusnya, di jendela
itu tidak ada bulan, agar sempurna kekosongan.
Harusnya di luar itu juga tidak ada hujan.
*
Apa yang bisa kumakan? Mimpi sendiri?
Di kulkas, botol-botol berisi jerit cairan,
dingin sekali, dan luka-luka dalam kaleng
awetan. Beku? Tidak, mana mau darah itu
mengental, darah yang rindu tertetes, tercecer,
seperti pada mekar luka segar yang aku petik
dulu di tamanmu, untuk kesematkan di tubuhku.
*
Aku kini menduga, sepasang burung hantu itu
adalah ayah dan ibuku. Dulu mereka menakut-nakuti
aku agar aku lekas tidur, sebelum mereka pergi
berburu. Ayah, Ibu, kalau benar aku anakmu,
di mana dulu sarang tempat kalian erami aku?
Aku hanya ingin tahu pesan apa yang tertulis
di cangkang yang tak sempat kubaca itu. Mungkin
ada semacam manual takdir yang harus kujalani?
*
Kalau aku menangis, ikan di dalam mataku pasti
ada yang terperangkap ke luar. Di kulkas ada
garam. Dengan sedikit luka di pangkal sisiknya,
kukira cukup nikmat rasa pedih itu untuk kusantap,
sekedar penahan laparku. Lagi pula dari perutku
sendiri, mungkin aku bisa lain melihat diriku.
lapar sekali ikan-ikan mimpi, mematuki
mata-kosongku, memasuki masa-kosongku
dari perut-perut ikan itu, mata-mataku
melihat sendiri pada gelisah tubuhku dan
gelak kisah waktu: selimut koyak itu.
Apa yang tetap aku pada lelaki lelap itu?
*
Siapa yang menjaga di jendela? Sepasang
burung hantu, yang lama puasa memangsa,
ikan-ikan tak menggiurkan lapar cakarnya.
Lagi lupa, apa enaknya sepotong mimpi?
Mereka pun tak mau mata-kosongku yang tak
pernah memejam di lambung ikan itu, akan
bisa melihat aku dari perutnya: nanti
gelisah tubuhku tentu akan sangat berbeda.
Aku tadi ingin mimpi apa sebenarnya?
*
Aku terbangun dengan lapar yang asing.
Mataku masih menyimpan ikan-ikan. Berenang
dalam airmata yang tak pernah kutangiskan.
Jendela kosong. Aku tahu tadi ada sepasang
burung hantu di situ, matanya mengincar
ikan di genangan mataku. Harusnya, di jendela
itu tidak ada bulan, agar sempurna kekosongan.
Harusnya di luar itu juga tidak ada hujan.
*
Apa yang bisa kumakan? Mimpi sendiri?
Di kulkas, botol-botol berisi jerit cairan,
dingin sekali, dan luka-luka dalam kaleng
awetan. Beku? Tidak, mana mau darah itu
mengental, darah yang rindu tertetes, tercecer,
seperti pada mekar luka segar yang aku petik
dulu di tamanmu, untuk kesematkan di tubuhku.
*
Aku kini menduga, sepasang burung hantu itu
adalah ayah dan ibuku. Dulu mereka menakut-nakuti
aku agar aku lekas tidur, sebelum mereka pergi
berburu. Ayah, Ibu, kalau benar aku anakmu,
di mana dulu sarang tempat kalian erami aku?
Aku hanya ingin tahu pesan apa yang tertulis
di cangkang yang tak sempat kubaca itu. Mungkin
ada semacam manual takdir yang harus kujalani?
*
Kalau aku menangis, ikan di dalam mataku pasti
ada yang terperangkap ke luar. Di kulkas ada
garam. Dengan sedikit luka di pangkal sisiknya,
kukira cukup nikmat rasa pedih itu untuk kusantap,
sekedar penahan laparku. Lagi pula dari perutku
sendiri, mungkin aku bisa lain melihat diriku.
Apakah Puisi Terasing dari Kita?
INI tanggapan saya untuk artikel Aguk Irawan MN "Ketika Puisi Mengalienasi Kita", Kompas, Sabtu (5/9/2009). Aguk Irawan bilang saat ini kita (saya jadi ingat kalimat pembawa acara Ruben Onsu: Kita? Lo aja kali, gue nggak!") menyaksikan puisi ini dalam nasib yang paling getir. Gejalanya? Buku puisi tak laku, penerbit menolak menerbitkan puisi, rubrik puisi di beberapa surat kabar ditutup.
Kenapa "kegetiran" itu terjadi? Ini jawaban Aguk: (karena) "...puisi-puisi mutakhir kita justru jadi semakin elite dan eksklusif. Bahasa dan diksinya semakin njelimet, sukar dipahami."
Juga karena: "...Mereka (penyair Indonesia, maksudnya) sepertinya terjebak dalam romantisisme atau labirin lirisisme klasik yang terpaku pada keindahan dan tema-tema ”abadi” yang kehilangan konteks kekiniannya.
Akibatnya? Mereka (masih penyair itu, maksudnya) terasing dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi tak jauh kakinya berpijak. Peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka.
Aguk merindukan puisi-puisi ini bernasib seperti puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini.
Ia juga membayangkan puisi Indonesia seperti puisi-puisi karya Chairil Anwar, yang katanya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Ia juga ingin melihat lagi sajak-sajak seperti sajak Rendra yang katanya tak bisa dinafikan ikut mendorong perubahan politik di negeri ini.
Pokoknya Aguk ingin meyakinkan kita bahwa puisi Indonesia itu memprihatinkan nasibnya. Siapa yang harus bertanggung jawab? Yang pertama, kata Aguk, adalah para penyair sendiri.
"Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi?" tanya Aguk, "Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar."
Demikianlah, sebuah kecemasan sudah dipaparkan. Siapa yang bertanggung jawab sudah ditunjuk hidungnya. Dan sebuah jalan keluar pun sudah ditawarkan. Sekarang, mari kita menjawab Aguk. Sebagaimana dia ajak di akhir artikelnya itu.
***
Karena Chairil juga dijadikan contoh oleh Aguk, untuk menunjukkan bahwa lewat dia, puisi pernah tidak terasing dari pembaca, maka saya juga ingin menunjukkan kenyataan lain soal Chairil.
Sampai meninggal, (ini perlu dicek lagi, tapi rasanya memang) Chairil tidak pernah menerbitkan bukunya sendiri. Maka, jalan puisi Chairil untuk sampai ke pembaca yang paling sering adalah lewat majalah-majalah dan surat kabar yang terbit pada saat itu. Kalau kesulitan menerbitkan buku puisi ini dianggap sebuah kegetiran, maka sebenarnya nasib puisi sejak dulu ya memang getir.
Di buku Nasjah Djamin "Hari-hari Terakhir Sang Penyair" disebutkan ada guru di Medan yang mengecam Chairil Anwar karena sajak-sajaknya dianggap merusak bahasa. Sajak Chairil saat itu tidak dimengerti. Sajak Chairil memakai istilah Aguk: elite, njlimet dan susah dimengerti!
Lima tahun setelah Chairil meninggal, Asrul Sani menulis: ... Sajak-sajaknya yang dulu hanya dikenal oleh segolongan kecil, sekarang dikenal oleh golongan yang lebih luas. Tetapi, Asrul mencatat kecemasan, sebab para pengagum Chairil - lima tahun setelah ia meninggal - hanya menjadi epigon yang tidak tahu di mana letaknya prestasi penyair ini yang terbesar. Sekali lagi, sajak Chairil, bahkan sesudah disukai orang banyak pun, tetap saja tidak dimengerti.
Sepanjang tahun 1945, Chairil hanya menulis tiga sajak, yaitu 'Kepada Penyair Bohang', 'Lagu Siul', dan 'Malam'. Tiga sajak itu bukan sajak perjuangan. 'Lagu Siul' adalah sajak yang ditulis ulang dari sajak 'Tak Sepadan' (1943). Kenapa Chairil tidak menulis sajak tentang proklamasi kemerdekaan peristiwa besar itu? Kalau ini dianggap sebagai keterasingan penyair dari 'masalah aktual' maka betapa terasingnya Chairil, bukan?
Chairil menulis banyak pada tahun 1946. Setahun itu dia menulis 15 sajak. Ini periode proktif kedua setelah tahun 1943 di mana pada tahun itu dia menulis 33 sajak. Tetapi, sajak-sajaknya yang ia tulis di tahun 1946 itu juga bukan sajak-sajak perjuangan. Pada tahun itu ia menulis banyak sajak lirik. Ia menulis dalam bentuk tetap soneta, kwatrin terbaiknya pada masa itu.
Sepanjang waktu menyairnya, sajak-sajak Chairil yang kalau mau dianggapi bisa meniup-niup api perjuangan hanya ada empat: 'Diponegoro' (1943), 'Siap Sedia' (1944), 'Persetujuan dengan Bung Karno' (1948), dan sebuah sajak saduran yang hebat 'Krawang Bekasi' (1948).
Chairil tidak jago dan tidak betah menulis sajak yang harus dibaca dengan mengacungkan kepalan tangan. Sajak-sajak terbaiknya adalah sajak lirik, dengan 'tema abadi' itu. Maka, kalau kini Aguk bilang bahwa sajak lirik dan tema-tema romantis itu menjebak penyair, dan mengasingkan dari tema 'kekinian' maka sebenarnya Chairil sendiri sudah terjebak juga. Ia terasing dari tema kekiniannya saat itu yaitu Penyataan Kemerdekaan yang kita tak perlu berdebat betapa bernilai peristiwa itu. Aneh juga ya, kenapa Chairil tidak tergoda untuk menyajakkannya?
***
Saya hanya ingin bilang, bahwa lirisisme yang buruk memang bisa menjebak. Tapi, jangan salahkan lirisisme kalau penyair terasing dari kekinian. Yang dicemaskan Aguk adalah pilihan tema sajak. Aguk ingin mengajak penyair menulis tema-tema aktual, mungkin tragedi lumpur Lapindo itu, mungkin teror bom bunuh diri itu, mungkin soal pemilu. Mungkin Aguk membayangkan harusnya lebih banyak sajak-sajak pamflet yang ditulis, seperti pamfletnya Rendra yang ramai muatan kritik yang menghantam penguasa yang tak beres itu, dan "mendorong perubahan politik" itu.
Aguk mungkin memang mengharapkan lebih banyak penyair yang menyajakkan "..peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka".
Saya ingin lagi mengajak kita belajar pada sajak-sajak Chairil. Berapa banyakkah karyanya yang menyajakkan peristiwa memilukan? Yang menyaringkan suara terbungkam? Yang menjadi mikrofon bagi kesengsaraan? Sedikit sekali. Chairil sibuk dengan sajak-sajak yang mengurusi kemalangan perkasihannya, kerisauan jiwanya berhadap-hadapan dengan Tuhan. Chairil terutama adalah seorang penulis sajak lirik yang hebat.
Jasa terbesar Chairil saya kira adalah semangatnya mencari dan menemukan cara ucap yang khas, yang baru dan terus-menerus membaru. Sajak Chairil kini terasa tak pernah lampau. Ia seperti ditulis pada zaman kita ini. Bandingkan dengan bahasa sajak-sajak Balai Pustaka yang terasa amat kuno itu. Artinya, bukan pencarian dan keunikan atau kekinian tema yang terutama kita teladani dari Chairil. Chairil melakukan perombakan bahasa, dan inilah yang justru dirisaukan Aguk sebagai kerja "seni untuk seni" itu.
Jadi, jangan salahkah lirisisme itu. Itu adalah jiwa sajak. Ia tidak bertentangan dengan tema apapun. Sajak-sajak Wiji Thukul yang banyak menggarap tema yang disebutkan Aguk, sesungguhnya banyak yang ditulis dalam bait-bait yang amat liris. Wiji menguasai lirisme dan memakainya untuk menggarap tema-tema yang disebutkan oleh Aguk itu. Sekali lagi, lirisme bukanlah si tertuduh! Lirisisme tidak serta-merta mengasingkan penyair dari tema-tema terkini.
Kalau Aguk menandai bahwa kini bahasa dan diksi puisi kita semakin njelimet, dan sukar dipahami, maka yang harus disalahkan adalah si penyairnya sendiri, yang kalau memakai istilah Sutardji Calzoum Bachri memang hanya bermodal bakat yang dangkal. Lalu, mereka pun menempuh jalan sajak yang semu: menulis sajak rumit dan sukar dipahami bahkan oleh mereka sendiri. Ditambah lagi kemalasan untuk mendalami betapa luas kemungkinan yang bisa digali dari dunia puisi itu. Itu saya kira yang tengah terjadi, itulah jebakan itu! Dan ada beberapa penyair terbaik kita saya kira sudah menyadari dan berhasil berkelit dari jebakan itu.
***
Lalu kenapa buku puisi tidak laku? Apakah kita harus risau karena itu dan menganggap ini sebagai kegetiran nasib puisi? Saya kira tidak perlu. Sebab saya pikir ini adalah ranah industri perbukuan. Sampai kapanpun saya kira, buku puisi tidak akan pernah terjual laku selaris buku resep masakan Ibu Sisca Suwitomo atau buku serial penggugah jiwa suntingan Mark Victor Hansen dan kawan-kawan. Tidak akan pernah!
Kondisi ini kalau mau dicari perbandingannya adalah seperti musik klasik atau musik sastra (pakai istilah Ananda Sukarlan) dan musik dangdut atau musik rock. Pertunjukan musik sastra itu tak akan pernah ditonton puluhan ribu orang di sebuah stadion, seperti konser dangdut atau rock. Apakah kita lantas bilang bahwa musik sastra itu nasibnya getir dan terasing dari masyarakat? Lantas tidak harus dimainkan karena tidak menyuarakan kemalangan orang banyak?
Puisi mungkin seperti kue tar. Ia bukan makanan pokok. Jadi jangan dibandingkan dia dengan nasi uduk. Apakah kue tar itu harus dianggap sebagai makanan yang terasing dari masyarakat banyak, dan karena itu tidak perlu dibuat dan para juru masak harus memasak nasi uduk saja sebanyak-banyaknya?
***
Tidak ada apresiasi puisi kalau tidak ada puisi. Tidak ada kritik puisi kalau tidak ada puisi. Apresiasi puisi adalah perayaan atas puisi-puisi yang baik. Kritik puisi adalah peta yang meletakkan dengan jelas di mana tempat untuk sajak yang baik, mana sajak yang buruk.
Saya bukan kritikus. Saya adalah penikmat puisi. Saya kira, banyak sekali puisi Indonesia saat ini yang pantas dirayakan. Saya kira puisi-puisi Indonesia saat ini menunggu juru peta yang baik, yang tekun, bukan juru peta gadungan. Puisi-puisi Indonesia saya kira tidak terlalu memerlukan seorang sekadar komentator, seperti yang diperankan Aguk lewat artikelnya itu.
"Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi?" tanya Aguk, "Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar."
Lihatlah itu komentar Aguk. Ia menuntut sajak yang berkualitas. Apa yang menentukan kualitas sebuah sajak? Banyak hal - seperti bagaimana perangkat puitika diberdayakan, dan bagaimana struktur batin dan fisik puisi ditata oleh penyair - dan tentu saja tidak hanya tema (tema hanya salah satu dari penentu kekuatan puisi) "yang tak terasing dari kekinian" seperti yang Aguk paparkan.
Ketika hati masyarakat terebut oleh sebuah sajak yang membela mereka, apakah itu sebuah apresiasi, dan nasib puisi lalu terselamatkan? Saya kira tidak! Sutardji pernah mengkritik Rendra dengan keras. Katanya, ketika Rendra menulis pamflet (yang tema-temanya menyuarakan jerit hati nurani rakyat), maka di kala itu, berhentilah dia sebagai penyair! Dengan kata lain Sutardji mau bilang bahwa yang ditulis Rendra adalah sajak yang kualitasnya buruk!
Seperti para penikmat sajak di Indonesia, saya membaca dan menulis sajak. Saya banyak menulis sajak. Saya menulis tentang bermacam-macam tema. Saya tak membatasi diri. Sajak-sajak saya, saya tampilkan di blog saya, belakangan juga di facebook. Ada yang serta-merta memantik komentar pembaca dan artinya sajak saya itu dibaca. Ada yang saya kirim ke surat kabar. Ada yang dimuat ada yang tidak. Ketika ada kesempatan sajak saya saya bukukan. Laku? Buku pertama habis, cetaknya cuma seribu eksemplar, saya sedang berusaha untuk mencetaknya lagi. Buku kedua? Sedang terpajang di toko-toko. Lakukah? Saya tahu beberapa orang mencari, membeli dan menyukai buku itu.
Apakah sajak saya terasing dari masyarakat? Saya kira tidak, tapi memang tak banyak yang membaca sajak di dunia ini, bukan? Dan memang tidak perlu semua orang di dunia ini membaca dan menyukai sajak, bukan?
Saya tak bisa memaksa orang banyak untuk menykai sajak-sajak saya, sebagai mana saya juga tak dipaksa untuk menulis sajak, dan memilih tema apa saja yang ingin saya sajakkan. Saya yakin mereka yang tertindas nasibnya, yang termiskinkan oleh sistem tidak adil di negeri ini, mereka yang diamnya disuarakan oleh sajak-sajak Wiji Thukul, mereka itu tidak membaca sajak Thukul. Salahkah Thukul menulis sajak itu? Tentu tidak.
Ah, mungkin bukan jawaban seperti ini yang diinginkan Aguk.***
Kenapa "kegetiran" itu terjadi? Ini jawaban Aguk: (karena) "...puisi-puisi mutakhir kita justru jadi semakin elite dan eksklusif. Bahasa dan diksinya semakin njelimet, sukar dipahami."
Juga karena: "...Mereka (penyair Indonesia, maksudnya) sepertinya terjebak dalam romantisisme atau labirin lirisisme klasik yang terpaku pada keindahan dan tema-tema ”abadi” yang kehilangan konteks kekiniannya.
Akibatnya? Mereka (masih penyair itu, maksudnya) terasing dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi tak jauh kakinya berpijak. Peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka.
Aguk merindukan puisi-puisi ini bernasib seperti puisi Hamzah Fansuri yang berasal dari Aceh abad ke-16 dan ke-17 masih berpengaruh pada puisi transendental masa kini.
Ia juga membayangkan puisi Indonesia seperti puisi-puisi karya Chairil Anwar, yang katanya, turut membakar semangat kebangsaan dan kemerdekaan. Ia juga ingin melihat lagi sajak-sajak seperti sajak Rendra yang katanya tak bisa dinafikan ikut mendorong perubahan politik di negeri ini.
Pokoknya Aguk ingin meyakinkan kita bahwa puisi Indonesia itu memprihatinkan nasibnya. Siapa yang harus bertanggung jawab? Yang pertama, kata Aguk, adalah para penyair sendiri.
"Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi?" tanya Aguk, "Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar."
Demikianlah, sebuah kecemasan sudah dipaparkan. Siapa yang bertanggung jawab sudah ditunjuk hidungnya. Dan sebuah jalan keluar pun sudah ditawarkan. Sekarang, mari kita menjawab Aguk. Sebagaimana dia ajak di akhir artikelnya itu.
***
Karena Chairil juga dijadikan contoh oleh Aguk, untuk menunjukkan bahwa lewat dia, puisi pernah tidak terasing dari pembaca, maka saya juga ingin menunjukkan kenyataan lain soal Chairil.
Sampai meninggal, (ini perlu dicek lagi, tapi rasanya memang) Chairil tidak pernah menerbitkan bukunya sendiri. Maka, jalan puisi Chairil untuk sampai ke pembaca yang paling sering adalah lewat majalah-majalah dan surat kabar yang terbit pada saat itu. Kalau kesulitan menerbitkan buku puisi ini dianggap sebuah kegetiran, maka sebenarnya nasib puisi sejak dulu ya memang getir.
Di buku Nasjah Djamin "Hari-hari Terakhir Sang Penyair" disebutkan ada guru di Medan yang mengecam Chairil Anwar karena sajak-sajaknya dianggap merusak bahasa. Sajak Chairil saat itu tidak dimengerti. Sajak Chairil memakai istilah Aguk: elite, njlimet dan susah dimengerti!
Lima tahun setelah Chairil meninggal, Asrul Sani menulis: ... Sajak-sajaknya yang dulu hanya dikenal oleh segolongan kecil, sekarang dikenal oleh golongan yang lebih luas. Tetapi, Asrul mencatat kecemasan, sebab para pengagum Chairil - lima tahun setelah ia meninggal - hanya menjadi epigon yang tidak tahu di mana letaknya prestasi penyair ini yang terbesar. Sekali lagi, sajak Chairil, bahkan sesudah disukai orang banyak pun, tetap saja tidak dimengerti.
Sepanjang tahun 1945, Chairil hanya menulis tiga sajak, yaitu 'Kepada Penyair Bohang', 'Lagu Siul', dan 'Malam'. Tiga sajak itu bukan sajak perjuangan. 'Lagu Siul' adalah sajak yang ditulis ulang dari sajak 'Tak Sepadan' (1943). Kenapa Chairil tidak menulis sajak tentang proklamasi kemerdekaan peristiwa besar itu? Kalau ini dianggap sebagai keterasingan penyair dari 'masalah aktual' maka betapa terasingnya Chairil, bukan?
Chairil menulis banyak pada tahun 1946. Setahun itu dia menulis 15 sajak. Ini periode proktif kedua setelah tahun 1943 di mana pada tahun itu dia menulis 33 sajak. Tetapi, sajak-sajaknya yang ia tulis di tahun 1946 itu juga bukan sajak-sajak perjuangan. Pada tahun itu ia menulis banyak sajak lirik. Ia menulis dalam bentuk tetap soneta, kwatrin terbaiknya pada masa itu.
Sepanjang waktu menyairnya, sajak-sajak Chairil yang kalau mau dianggapi bisa meniup-niup api perjuangan hanya ada empat: 'Diponegoro' (1943), 'Siap Sedia' (1944), 'Persetujuan dengan Bung Karno' (1948), dan sebuah sajak saduran yang hebat 'Krawang Bekasi' (1948).
Chairil tidak jago dan tidak betah menulis sajak yang harus dibaca dengan mengacungkan kepalan tangan. Sajak-sajak terbaiknya adalah sajak lirik, dengan 'tema abadi' itu. Maka, kalau kini Aguk bilang bahwa sajak lirik dan tema-tema romantis itu menjebak penyair, dan mengasingkan dari tema 'kekinian' maka sebenarnya Chairil sendiri sudah terjebak juga. Ia terasing dari tema kekiniannya saat itu yaitu Penyataan Kemerdekaan yang kita tak perlu berdebat betapa bernilai peristiwa itu. Aneh juga ya, kenapa Chairil tidak tergoda untuk menyajakkannya?
***
Saya hanya ingin bilang, bahwa lirisisme yang buruk memang bisa menjebak. Tapi, jangan salahkan lirisisme kalau penyair terasing dari kekinian. Yang dicemaskan Aguk adalah pilihan tema sajak. Aguk ingin mengajak penyair menulis tema-tema aktual, mungkin tragedi lumpur Lapindo itu, mungkin teror bom bunuh diri itu, mungkin soal pemilu. Mungkin Aguk membayangkan harusnya lebih banyak sajak-sajak pamflet yang ditulis, seperti pamfletnya Rendra yang ramai muatan kritik yang menghantam penguasa yang tak beres itu, dan "mendorong perubahan politik" itu.
Aguk mungkin memang mengharapkan lebih banyak penyair yang menyajakkan "..peristiwa memilukan, suara terbungkam dan kesengsaraan yang membutuhkan puisi sebagai mikrofon dari suara hati mereka".
Saya ingin lagi mengajak kita belajar pada sajak-sajak Chairil. Berapa banyakkah karyanya yang menyajakkan peristiwa memilukan? Yang menyaringkan suara terbungkam? Yang menjadi mikrofon bagi kesengsaraan? Sedikit sekali. Chairil sibuk dengan sajak-sajak yang mengurusi kemalangan perkasihannya, kerisauan jiwanya berhadap-hadapan dengan Tuhan. Chairil terutama adalah seorang penulis sajak lirik yang hebat.
Jasa terbesar Chairil saya kira adalah semangatnya mencari dan menemukan cara ucap yang khas, yang baru dan terus-menerus membaru. Sajak Chairil kini terasa tak pernah lampau. Ia seperti ditulis pada zaman kita ini. Bandingkan dengan bahasa sajak-sajak Balai Pustaka yang terasa amat kuno itu. Artinya, bukan pencarian dan keunikan atau kekinian tema yang terutama kita teladani dari Chairil. Chairil melakukan perombakan bahasa, dan inilah yang justru dirisaukan Aguk sebagai kerja "seni untuk seni" itu.
Jadi, jangan salahkah lirisisme itu. Itu adalah jiwa sajak. Ia tidak bertentangan dengan tema apapun. Sajak-sajak Wiji Thukul yang banyak menggarap tema yang disebutkan Aguk, sesungguhnya banyak yang ditulis dalam bait-bait yang amat liris. Wiji menguasai lirisme dan memakainya untuk menggarap tema-tema yang disebutkan oleh Aguk itu. Sekali lagi, lirisme bukanlah si tertuduh! Lirisisme tidak serta-merta mengasingkan penyair dari tema-tema terkini.
Kalau Aguk menandai bahwa kini bahasa dan diksi puisi kita semakin njelimet, dan sukar dipahami, maka yang harus disalahkan adalah si penyairnya sendiri, yang kalau memakai istilah Sutardji Calzoum Bachri memang hanya bermodal bakat yang dangkal. Lalu, mereka pun menempuh jalan sajak yang semu: menulis sajak rumit dan sukar dipahami bahkan oleh mereka sendiri. Ditambah lagi kemalasan untuk mendalami betapa luas kemungkinan yang bisa digali dari dunia puisi itu. Itu saya kira yang tengah terjadi, itulah jebakan itu! Dan ada beberapa penyair terbaik kita saya kira sudah menyadari dan berhasil berkelit dari jebakan itu.
***
Lalu kenapa buku puisi tidak laku? Apakah kita harus risau karena itu dan menganggap ini sebagai kegetiran nasib puisi? Saya kira tidak perlu. Sebab saya pikir ini adalah ranah industri perbukuan. Sampai kapanpun saya kira, buku puisi tidak akan pernah terjual laku selaris buku resep masakan Ibu Sisca Suwitomo atau buku serial penggugah jiwa suntingan Mark Victor Hansen dan kawan-kawan. Tidak akan pernah!
Kondisi ini kalau mau dicari perbandingannya adalah seperti musik klasik atau musik sastra (pakai istilah Ananda Sukarlan) dan musik dangdut atau musik rock. Pertunjukan musik sastra itu tak akan pernah ditonton puluhan ribu orang di sebuah stadion, seperti konser dangdut atau rock. Apakah kita lantas bilang bahwa musik sastra itu nasibnya getir dan terasing dari masyarakat? Lantas tidak harus dimainkan karena tidak menyuarakan kemalangan orang banyak?
Puisi mungkin seperti kue tar. Ia bukan makanan pokok. Jadi jangan dibandingkan dia dengan nasi uduk. Apakah kue tar itu harus dianggap sebagai makanan yang terasing dari masyarakat banyak, dan karena itu tidak perlu dibuat dan para juru masak harus memasak nasi uduk saja sebanyak-banyaknya?
***
Tidak ada apresiasi puisi kalau tidak ada puisi. Tidak ada kritik puisi kalau tidak ada puisi. Apresiasi puisi adalah perayaan atas puisi-puisi yang baik. Kritik puisi adalah peta yang meletakkan dengan jelas di mana tempat untuk sajak yang baik, mana sajak yang buruk.
Saya bukan kritikus. Saya adalah penikmat puisi. Saya kira, banyak sekali puisi Indonesia saat ini yang pantas dirayakan. Saya kira puisi-puisi Indonesia saat ini menunggu juru peta yang baik, yang tekun, bukan juru peta gadungan. Puisi-puisi Indonesia saya kira tidak terlalu memerlukan seorang sekadar komentator, seperti yang diperankan Aguk lewat artikelnya itu.
"Bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap puisi itu ditentukan kualitas sebuah puisi?" tanya Aguk, "Jika puisi bisa merebut hati masyarakat, rasanya nasib puisi tak akan telantar."
Lihatlah itu komentar Aguk. Ia menuntut sajak yang berkualitas. Apa yang menentukan kualitas sebuah sajak? Banyak hal - seperti bagaimana perangkat puitika diberdayakan, dan bagaimana struktur batin dan fisik puisi ditata oleh penyair - dan tentu saja tidak hanya tema (tema hanya salah satu dari penentu kekuatan puisi) "yang tak terasing dari kekinian" seperti yang Aguk paparkan.
Ketika hati masyarakat terebut oleh sebuah sajak yang membela mereka, apakah itu sebuah apresiasi, dan nasib puisi lalu terselamatkan? Saya kira tidak! Sutardji pernah mengkritik Rendra dengan keras. Katanya, ketika Rendra menulis pamflet (yang tema-temanya menyuarakan jerit hati nurani rakyat), maka di kala itu, berhentilah dia sebagai penyair! Dengan kata lain Sutardji mau bilang bahwa yang ditulis Rendra adalah sajak yang kualitasnya buruk!
Seperti para penikmat sajak di Indonesia, saya membaca dan menulis sajak. Saya banyak menulis sajak. Saya menulis tentang bermacam-macam tema. Saya tak membatasi diri. Sajak-sajak saya, saya tampilkan di blog saya, belakangan juga di facebook. Ada yang serta-merta memantik komentar pembaca dan artinya sajak saya itu dibaca. Ada yang saya kirim ke surat kabar. Ada yang dimuat ada yang tidak. Ketika ada kesempatan sajak saya saya bukukan. Laku? Buku pertama habis, cetaknya cuma seribu eksemplar, saya sedang berusaha untuk mencetaknya lagi. Buku kedua? Sedang terpajang di toko-toko. Lakukah? Saya tahu beberapa orang mencari, membeli dan menyukai buku itu.
Apakah sajak saya terasing dari masyarakat? Saya kira tidak, tapi memang tak banyak yang membaca sajak di dunia ini, bukan? Dan memang tidak perlu semua orang di dunia ini membaca dan menyukai sajak, bukan?
Saya tak bisa memaksa orang banyak untuk menykai sajak-sajak saya, sebagai mana saya juga tak dipaksa untuk menulis sajak, dan memilih tema apa saja yang ingin saya sajakkan. Saya yakin mereka yang tertindas nasibnya, yang termiskinkan oleh sistem tidak adil di negeri ini, mereka yang diamnya disuarakan oleh sajak-sajak Wiji Thukul, mereka itu tidak membaca sajak Thukul. Salahkah Thukul menulis sajak itu? Tentu tidak.
Ah, mungkin bukan jawaban seperti ini yang diinginkan Aguk.***
Friday, September 4, 2009
Tangis yang Lain
TANGISMU lirih-rendah dan panjang, tapi
tak akan sampai padaku, itu sebabnya
aku pun menangis, agar di suatu sumur, dua
alir duka itu bertemu: berbaku-sedu,
beradu-sedan! Kita, akan datang ke sana,
mengenali hangatnya, dan singgah sekadar
sebentar, engkau sebagai mufasir, aku
adalah musafir, mengulang wudhu yang batal.
"Ini sumur Usmankah?" tanyaku pada lelaki
tua, penjaga musala kecil di situ. Ia hanya
tersenyum, lalu azan asar, memanggil kita
sembahyang, dan dia menghilang. Tinggal kau dan
aku, bermakmum rembang bayang-bayang petang.
Kita mungkin tak ingin berangkat lagi, ini
seperti rumah yang baginya kita hendak baca
doa dari dua nabi: Ibrahim dan Ismail,sambil
belajar menangis lagi: tangis yang lain.
tak akan sampai padaku, itu sebabnya
aku pun menangis, agar di suatu sumur, dua
alir duka itu bertemu: berbaku-sedu,
beradu-sedan! Kita, akan datang ke sana,
mengenali hangatnya, dan singgah sekadar
sebentar, engkau sebagai mufasir, aku
adalah musafir, mengulang wudhu yang batal.
"Ini sumur Usmankah?" tanyaku pada lelaki
tua, penjaga musala kecil di situ. Ia hanya
tersenyum, lalu azan asar, memanggil kita
sembahyang, dan dia menghilang. Tinggal kau dan
aku, bermakmum rembang bayang-bayang petang.
Kita mungkin tak ingin berangkat lagi, ini
seperti rumah yang baginya kita hendak baca
doa dari dua nabi: Ibrahim dan Ismail,sambil
belajar menangis lagi: tangis yang lain.
Tuesday, September 1, 2009
Romansa Siapa Saja
HIDUP ini, hidup kita ini, bukan lagi bukit bukau,
menjulang seratus depa kelapa, telah lama terjatuh
buah bungar. Kini menjaga putik, bungsil & mumbang.
*
KITA hanya bisa ingin saling sabar bertukar:
Kau dengan kesepian yang tak mampu kumengerti
aku punya kepedihan yang tak pernah kau miliki
Seperti di kedai kafe yang aku tak peduli namanya,
kita para penyinggah resah, yang juga tak tahu
pasti, kenapa bisa sampai dan lama di meja ini.
Mencari. Sesuatu, entah di gelas-gelas kopi, atau
mesin pencari. Sampai pergi. Sendiri. Sendiri.
Hingga bular pandang. Entah mana yang bukat-likat
udara yang menyenja, atau asin airmata. O, entah
kenapa, kafe ini sejak tadi mengulang lagu Kahitna.
Aku menyimpan saja, selingkar bumban bunga melati
yang kubayangkan kelak kumahkotakan pada rambutmu.
Kau mungkin menunggu jam putar, sinema yang akan
kau tonton sendiri di layar yang hanya membawamu
kembali ke sepi yang lama kau pelihara sendiri.
*
O, hidup ini, kata-kata yang tak kita mengerti,
dan kamus itu, sudah lama kita tak menyentuhnya.
menjulang seratus depa kelapa, telah lama terjatuh
buah bungar. Kini menjaga putik, bungsil & mumbang.
*
KITA hanya bisa ingin saling sabar bertukar:
Kau dengan kesepian yang tak mampu kumengerti
aku punya kepedihan yang tak pernah kau miliki
Seperti di kedai kafe yang aku tak peduli namanya,
kita para penyinggah resah, yang juga tak tahu
pasti, kenapa bisa sampai dan lama di meja ini.
Mencari. Sesuatu, entah di gelas-gelas kopi, atau
mesin pencari. Sampai pergi. Sendiri. Sendiri.
Hingga bular pandang. Entah mana yang bukat-likat
udara yang menyenja, atau asin airmata. O, entah
kenapa, kafe ini sejak tadi mengulang lagu Kahitna.
Aku menyimpan saja, selingkar bumban bunga melati
yang kubayangkan kelak kumahkotakan pada rambutmu.
Kau mungkin menunggu jam putar, sinema yang akan
kau tonton sendiri di layar yang hanya membawamu
kembali ke sepi yang lama kau pelihara sendiri.
*
O, hidup ini, kata-kata yang tak kita mengerti,
dan kamus itu, sudah lama kita tak menyentuhnya.
Rebak Rilke
MAUTKAH kekasih itu --- dia yang berpeluk padamu?
Cinta mungkin memang bukan perjalanan. Ia bisa
tak berjarak, tapi, padamu, ia tak jua bisa sampai.
Tangiskah kekasih itu -- dia yang merebak di matamu?
Cinta mungkin memang seperti perempuan itu berlagu
- antara sengguk dan sendu - Dan kau tepermangu
Sajakkah kekasih itu --- dia yang jaga hangat hatimu?
Kau tak lagi ingin mengandaikan Cinta sebagai apa, sebab
siapa Penyair yang ingin tanggung menanggung bebannya?
Cinta mungkin memang bukan perjalanan. Ia bisa
tak berjarak, tapi, padamu, ia tak jua bisa sampai.
Tangiskah kekasih itu -- dia yang merebak di matamu?
Cinta mungkin memang seperti perempuan itu berlagu
- antara sengguk dan sendu - Dan kau tepermangu
Sajakkah kekasih itu --- dia yang jaga hangat hatimu?
Kau tak lagi ingin mengandaikan Cinta sebagai apa, sebab
siapa Penyair yang ingin tanggung menanggung bebannya?
Subscribe to:
Posts (Atom)