Tuesday, September 9, 2008

Seorang Janin: dari Pantai Telanjang ke Rahim Lautan

Catatan: Sajak berikut ini diolah dengan kata-kata kunci PERINGATAN, PEMERINTAH, MEROKOK, DAPAT, MENYEBABKAN, SERANGAN, JANTUNG, IMPOTENSI, DAN, GANGGUAN, KEHAMILAN, DAN, JANIN. Itu kata-kata kalimat yang mungkin paling banyak dicetak di Indonesia. Di setiap bungkus rokok kita menemukannya.



DI pantai itu ada PERINGATAN:
Dilarang Bersenang!
Dia kira itu larangan berenang.
Laut sedang surut, dan
kalau pun air sedang pasang
ia bertanya buat apa pantai?
Buat apa peringatan?
Buat apa dia datang ke sana?
Tak ada pelabuhan di situ.
Tak ada perahu.
Tak ada kedai.
Tak ada gadis yang menunggu kekasihnya pulang.
Tak ada angin.
Tak ada pohon cemara dan pohon kelapa.
Tak ada bocah menatap bintang-bintang.
Dia pun ingin sekali percaya
bahwa sebenarnya dia pun tak ada di sana.

DIA merogoh saku jaket
dan tangannya menyentuh dompet.
Ah, dia ingat, di situ pasti ada Kartu Tanda Penduduk.
Dia bisa baca nama dan alamatnya. Dia bisa
lihat tanggal lahirnya.
Dia bisa tahu statusnya.
Dia bisa bertatapan dengan foto dirinya.
Dia bisa ketemu tanda tangan camat
atas nama walikota atas nama PEMERINTAH
atas nama negara yang membuat dia
seakan-akan ada.
Meskipun dia ingin sekali percaya bahwa
sebenarnya dia tak pernah ada, negara itu tak pernah
ada dan pemerintah itu tak pernah ada.

Hei siapa yang MEROKOK di pantai ini?
Ada ia temukan filter dan tembakau.
Abu.
Dan bau kretek.
Tapi tak ada jejak di pasir itu.
Siapa ya yang merokok tadi?
Ia tidak kenal aroma rokok itu.
Rokok apa ya itu?
Seperti bau kemenyan? Bukan.
Kelembak? Bukan.
Ia dekati rokok itu.
Tak ada bekas basah di ujung filter itu.
Tak ada bekas gigitan.
Rokok itu seperti terbakar sendiri,
Bara di ujungnya merambati rajangan tembakau dan
cengkeh satu per satu sendiri.
Seperti tak ada yang menghisapnya.
Ah, dia ingin sekali merokok, dia ingin
pungut batang rokok itu.
Dia pikir: Apakah ada yang
ingin aku temani merokok?
Apakah dia mengajak aku
merokok bersamanya?

Dia tiba-tiba ingat dengan kata DAPAT.
Kenapa tiba-tiba?
Kenapa kata itu?
Karena dia ingin mengucapkan beberapa
kalimat dengan kata itu.
Misalnya: Saya dapat menemukan diri saya sendiri.
Atau: Saya dapat mendapatkan diri saya sendiri.
Atau: Saya terdapat dalam diri saya sendiri.
Atau: Dapat tak dapat, saya harus dapat.
Atau: Hore saya dapat hadiah berupa diri saya sendiri. Berulang-ulang ia ucapkan kata itu.
Tapi ia belum juga
merasa menyatu dengan kata itu
ia belum dapatkan dapat.
Dia belum dapatkan dirinya dalam dirinya
dan dalam kata dapat itu.
Dia ingin sekali percaya bahwa tidak
ada dirinya dan tidak ada dapat, dan
tidak yang dapat mendapatkan dirinya.

Lalu apa yang MENYEBABKAN dia ada di sini?
Di pantai ini?
Di pantai dengan larangan bersenang
yang dia kira larangan berenang ini?
Dia lalu berjalan. Dia toleh ada bekas kakinya.
Dia bilang, kakiku telah menyebabkan
ada jejak tertinggal di pasir itu.
Kakinya bilang, tidak bukan aku,
tapi karena engkau berjalanlah
maka ada jejakku di pasir itu.
Pasir itu bilang, aku tidak kenal bekas
jejak itu, jejakmu atau jejak kakimu,
terlalu banyak jejak yang
harus kuingat kalau aku harus
mengenali jejak-jejak itu.
Dia terus saja berjalan
tanpa peduli apa yang menyebabkan
ia berjalan.
Ia ingin sekali meyakini bahwa tak ada yang
menyebabkan ia ada dan kelak tak ada.

Dia sudah jauh berjalan.
Dia tak lagi peduli pada jejaknya
di pasir sepanjang pantai itu.
Tapi, kenapa dia tiba-tiba
ingat pada peringatan.
Benarkah tadi dia membaca
peringatan itu? Dilarang berenang,
betulkah begitu kalimat peringatan itu?
Apakah dia tidak salah baca?
Kenapa seperti ada semacam KANKER ingatan ganas
yang tak bisa ia kendalikan dalam otaknya,
kanker yang menumpang dalam ingatannya
tentang banyak hal?
Ia mengalami banyak hal,
ia mengingat banyak hal,
ia melupakan banyak hal.
Kenapa sesuatu tetap dalam
ingatan dan yang lain terlupakan?
Dia ingin berenang,
tapi kenapa ada peringatan itu?
Ia senang berenang, tapi,
kenapa orang dilarang bersenang di pantai ini?

Dia sekarang berdiri menatap laut.
Seperti benteng menghadang SERANGAN
dari sepasukan kapal.
Dia melihat ada ombak.
Apakah ombak?
Itukan cuma permukaan laut yang bergerak.
Dia ingin bilang, bahwa dia
itu seperti ombak.
Pikirannya itu seperti ombak.
Dia dan pikirannya ada kalau ia
dan pikirannya bergerak.
Ombak ada karena angin ada.
Angin yang menyebabkan permukaan laut bergerak.
Lalu apakah angin yang menyebabkan
dirinya dan pikirannya bergerak?
Dia bilang dia tak perlu angin.
Dia hanya perlu membayangkan sebuah
serangan datang padanya
dan pada otaknya.
Nah, sekarang dia bertanya kenapa
tadi dia ingin sekali meyakini bahwa
dirinya tidak ada?

Dia sekarang merasakan detak JANTUNG
di dalam tubuhnya.
Dia tidak pernah memperhatikan detak itu
seperti perhataiannya saat ini.
Dia tiba-tiba ingin tahu
bagaimana dulu jantungnya mulai berdetak.
Bagaimana jantungnya mempertahankan detak itu.
Kenapa detak itu ada pada dalam tubuhnya?
Pada jantungnya?
Kalau detak itu berhenti,
kenapa dia harus ikut berhenti ada?
Ia tahu jantungnya bisa tiba-tiba
berhenti karena serangan berbagai hal.
Ia tak tahu bagaimana menahan atau
mengelak dari serangan itu.
Ia ingat rokok menyala yang tadi di bait ketiga.
Dia ingat keinginannya untuk
meyakini bahwa dia sebenarnya
tidak ada di bait-bait sebelum bait ini.
Tapi, kini dia sangat memperhatikan
detak jantungnya.

Sekarang dia meraba pada kelaminnya.
Ada sesuatu di otaknya yang bisa memuat
kelaminnya ada.
Dia kadang lupa pada kelaminnya,
seperti dia lupa pada bagian-bagian
tubuhnya yang lain. Misalnya, pada
jantung dan paru-paru.
Dia tahu kadang terjadi sesuatu pada
kelaminnya dan itu membuat jantungnya
berdetak lebih cepat.
Dia tiba-tiba saja telanjang dan
dia tidak merasakan apa-apa.
Dia merasa sejak lama dia telanjang.
Dia merasa tak pernah punya pakaian.
Pakaian kan cuma pakaian.
Cuma sesuatu yang dipakai.
Dengan pakaian sebaik apapun
dia toh tetap saja telanjang.
Di balik pakaian seindah apapun yang
ada hanya ketelanjangan.
Dia ingin berenang.
Dia melangkah ke laut yang telanjang.
Pantai yang telanjang.
Langit yang telanjang.
Udara yang telanjang.
Dia ingin bersetubuhan
dengan semuanya yang telanjang itu.
Semua yang tak peduli
dia mengidap IMPOTENSI atau tidak.
Sekarang dia merasa tak sia-sia ada.
Seperti ada yang menunggunya dengan asbak,
sekotak rokok, DAN korek api.

Tapi angin datang.
Kini ombak ada. Laut menggeliat-
geliatkan permukaannya. Angin menyentuhkan
dingin dan tiba-tiba dia
merasakan ketelanjangan tubuhnya.
Ini semacam GANGGUAN pada ketiadaan.
Hanya dingin anginkah yang meyakinkan bahwa dia ada?

Ia berjalan ke laut. Laut yang telanjang.
Ia melihat seperti ada rahim yang mengembang,
membuka, meminta dia datang. Ia ingat itu
seperti saat-saat ia dalam KEHAMILAN dalam
sebuah rahim yang tidak amat kenal.
Ia berjalan ke laut seperti perjalanan pulang
setelah singkat sebuah masa berpetualang.
Kakinya dipegangi gelombang.
Ia mencium bau laut. Seperti bau rahim
di mana di sana dulu ia belajar menendang,
menunggu tumbuh jantung, mata, paru-paru
DAN jari untuk ia jilati sendiri.

Lihat, ia lihat dirinya berenang senang
di rahim lautan. Tak ada larangan apa-apa.
Ia seperti JANIN yang tak akan pernah dilahirkan.
Ia berenang bersama tembuni lautan.
Ia berenang dalam ketuban lautan.
Ia berenang pada hangat gelombang.