Thursday, September 11, 2008

Sutardji (3): Peringatan Dini Sutardji

TAMAN
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

Lewat pupuk-pupuk hutang gedung mekar di mana-mana.
Mereka bilang kami berada di taman pembangunan. Dan
aku diundang ke gedung gagah dengan sound system yang
lantang. Tapi yang kuteriakkan cuma lengang.

Meski listrik sampai desa di pedalaman hati tak ada cahaya.
mereka yang masih disentuh cahaya hanya bisa diam.
Bahkan penyair tak sanggup mengucap.

Kalimat pucat, darah tak mampu melafazkan sengsara. Kita
agaknya memang betah derita. Sementara kata-kata lari
pada issue pada isyarat sekarat dan pada sandi usang.
Bagaimanapun aku warganegara kata. Tanahairku bahasa.
Tapi kata-kata sudah mengungsi. Dan aku kehilangan negara.


1990-1994



Tahun penulisan sajak bisa membantu banyak untuk memetik makna sajak. Sajak ini misalnya. Sutardji mencatat rentang waktu 1990-1994. Empat tahun untuk sebuah sajak. Ini bukan rentang waktu yang paling panjang bagi penyair yang kini berumur 67 tahun. Ada sajak lain yang tahun penulisannya lebih panjang, yakni sajak Malam di Batam yang bertahun 2000-2008. Saya ingat itu sebenarnya adalah sajak yang diterbitkan di halaman Bentara Kompas, sajak yang mengantar beberapa sajak yang ia editori di lembaran itu.

Dalam rentang waktu penulisan itu, bukan berarti dia dipelototi setiap hari sepanjang hari selama empat atau delapan tahun. Pencantuman tahun, bisa dianggap sebagai sebuah pertanggungjawaban atau pemberitahuan atau penanda bahwa sajak itu pada tahun terakhir diubah lagi, ditambahi, disempurnakan, dan perubahan itu menurut penyair penting. Pembaca yang jeli atau penelaah yang cermat yang punya arsip yang baik tentu bisa melacak, apa saja perubahan yang dibuat oleh penyair pada sajaknya.

Kita kembali ke sajak "Taman". Perhatian saya tersita pada tahun penulisan sajak ini, setelah saya selesai membaca sajaknya. Ini sebuah sajak berisi kritik sosial yang keras. Lihat, ada kata 'pembangunan', ada frasa yang menyaran pada 'listik masuk desa'. Itulah dua kata yang menjadi mantera sakti rejim orde baru. Kata yang bahkan bagi sebagian orang di negeri ini sampai hari ini menjadi penanda keabsahan sang penguasa. Sutardji mengritiknya bahkan sejak larik pertama: Lewat pupuk-pupuk hutang gedung mekar di mana-mana! Pesannya sederhana: pembangunan dengan fonfdasi yang rapuh membuat kira kehilangan kedaulatan negara. Betapa benarnya kritik itu, dan sekian tahun kemudian hal itu terbukti. Ekonomi Indonesia ambruk!

Rasanya, pada tahun-tahun itu jika sajak ini dibacakan oleh penyairnya di sebuah pertunjukan di mana pun, cukup alasan bagi intel untuk bikin laporan darurat dan kemudian aparat datang menjemput dan menginterogasi seharian semalaman, lalu pulang dengan wajah babak belur dan tubuh remuk redam. Nyatanya, selama Orde Baru Sutardji sebagai penyait tidak pernah dicekal. "Cuma pernah penyelenggara baca puisi diimbau sajak yang ini yang itu sebaiknya jangan dibacakan," kata Sutardji pada saya.

Tahun penulisan sajak ini menjadi penanda yang amat penting. Sajak itu agak berkurang kedalaman maknanya, jika ditulis pada tahun 1998 atau sesudahnya atau pada tahun-tahun ini. Sutardji Calzoum Bachri menulis sajak ini, seakan ia menulis sebuah ramalan. Semacam peringatan dini. Ia mengamati dengan cermat kondisi Indonesia pada tahun-tahun itu, dia geram, dia marah, dan karena dia penyair dia lantas merumuskan pengamatan, kegeraman, dan kemarahannya dalam sebuah sajak. Disini pula hebatnya Sutardji - ah, apa masih perlu pujian seperti ini. Dia tidak terseret oleh kegeraman dan kemarahan itu, dia lantas menyusun sebuah pengucapan khas dia tanpa harus menjadi penulis sajak pamflet.

Kecenderungan Sutardji pada tema-tema sosial, dengan muatan kritik yang lugas, dalam buku "Atau Ngit Cari Agar" sudah dimulai pada sajak "David Copperfield" (1990), "Jembatan" (1993), lalu dilanjutkan pada sajak Kami Tahu Asal Jadi Kau" (1998), berpuncak pada "Tanah Air Mata" (di buku ini tanpa tahun), dan akhirnya sajak "Cari" (1998). (bersambung)