PARA PENYAIR
Sajak Sutardji Calzoum Bachri
para penyair
jangan biarkan dirimu
berlamalama
di lembahlembah
jangan lama terperangah
pada keanekaragaman tanah
lembah dan lereng
memang disiapkan
agar kalian
mengingat puncak
menantang
meraih
atas
para penyair
jangan biarkan
batinmu
tercengang pulas
tenggelam
di kelembahan badan
ayo
mendaki
taklukkan kelembahanmu
walau pedih tebing-tebing
harus kau atasi kepedihan
meski luka di lembahlembah
atas kedukaan
jangan tenggelam
ingat!
Ibrahim tak suka barang tenggelam
ayo
mengatas
meninggi
sampai tanah menyatu
mengatasi keanekaragaman tanah
sampai langit
tanah
menyatu
mengucap
hakikat
ayo
para mawar
tanggalkan kelopak pongahmu
mendakilah
di puncak
tanah menyibak langit
langit menyibak tanah
tanah mendekap langit
langit memeluk tanah
saling membuka
saling menutup berpelukan
di puncak
segalanya terbuka
dan tersimpan
1987
SETELAH "O, Amuk, Kapak" (1981), penyair Sutardji Calzoum Bachri menerbitkan buku kumpulan sajaknya, tahun ini. Ada jarak waktu 27 tahun, dari buku puisi yang menggabungkan tiga kumpulan puisi, tiga puncak kepenyairannya itu, dengan buku terbarunya "Atau Ngit Cari Agar" (2008).
Banyak yang menunggu sajak-sajak Sutardji setelah bukunya yang pertama itu. Banyak yang bertanya seperti apa Sutardji setelah bukunya yang pertama itu. Bahkan ada yang memvonis, "Tardji sudah habis! Dia tidak bisa berkarya lagi!"
Maka, buku barunya itu adalah jawaban dari semua tanya, semua sangsi dan pembelaan atas semua vonis tanpa pengadilan itu. Buku ini membungkam para mulut besar yang sebenarnya hanya tak sabar menunggu untuk ditenggelamkan lagi oleh kedalaman sajak-sajak penyair yang tahun ini meraih penghargaan Bintang Mahaputera dari Pemerintah RI, sekaligus tahun ini juga ia diberi Penghargaan Achmad Bakrie oleh Freedom Institute.
Mari kita bicarakan sajak-sajak dalam bukunya itu. Saya mulai pembicaraan ini dengan sajak "Para Penyair". Tak banyak, atau bahkan tak ada penyair yang kukuh memposisikan diri seperti Sutardji. Di sajak ini dia mengajak, "ayo (para penyair, mendakilah, taklukkan kelembahanmu..." Orang yang mengajak orang lain untuk menaklukkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, maka bila tidak ingin ditertawakan maka orang itu harus sudah melakukan dan menaklukkan apa yang dia ajakkan itu. Sutardji saya kira sudah sangat menyadari bahwa dia sudah menjalani pendakian-pendakian sendiri, dia sudah taklukkan kelembahannya sendiri. Dia mengajak, karena dia sudah tahu bahwa, "di puncak segalanya terbuka dan tersimpan".
Sutardji juga menyindir - dengan cara halus - para penyair yang berwangi-wangi dengan sajak wangi, "ayo para mawar, tanggalkan kelopak pongahmu, mendakilah!"
Sajak ini masih sanggup memperlihatkan kepiawaian Sutardji menyusun pengucapan yang khas, dan tak terlawankan itu. Ia tawarkan frasa "keanekaragaman tanah", "di kelembahan badan", "tanah menyibak langit", "tangah mendekap langit", "langit memeluk tanah". Frasa-frasa ajaib tapi tidak sekedar kegenitan fesyen bahasa itu saya kira hanya bisa muncul dari penyair yang pernah punya kredo membebaskan kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya. Sutardji memetik apa yang dimungkinkan oleh pembebasannya itu: KREATIVITAS!
Terhadap Sutardji tentu kita bebas pula bersikap. Dia tidak hendak menyumpal telinga kita dengan teriakan-teriakannya. Dia pasti juga tidak hendak mendoktrin kita untuk patuh pada seruan-seruannya. Tapi, ah bagi saya, betapa benarnya ia. Siapapun kita, tak hanya bila kita penyair, kita memang tak harus membiarkan batin kita tercengang pulas tenggelam di kelembahan badan. (bersambung)
Berikutnya: Sutardji bisa nakal, dan genit. Ia membuat sajak yang bagi saya adalah parodi dan antitesis yang cerdas dari sajak "Aku Ingin" Sapardi Djoko Damono. Sajak populer itu memang banyak dimain-mainkan oleh penyair lain.