Wednesday, September 10, 2008

Sutardji (1): "Taklukkan Kelembahanmu!"

PARA PENYAIR
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

para penyair
     jangan biarkan dirimu
         berlamalama
             di lembahlembah

jangan lama terperangah
     pada keanekaragaman tanah

lembah dan lereng
     memang disiapkan
         agar kalian
             mengingat puncak
                 menantang
                     meraih
                         atas

para penyair
     jangan biarkan
         batinmu
             tercengang pulas
                 tenggelam
                     di kelembahan badan

ayo
     mendaki
         taklukkan kelembahanmu
             walau pedih tebing-tebing
                 harus kau atasi kepedihan
                     meski luka di lembahlembah
                         atas kedukaan
                             jangan tenggelam
                                 ingat!
                     Ibrahim tak suka barang tenggelam

ayo
    mengatas
        meninggi
            sampai tanah menyatu
                 mengatasi keanekaragaman tanah
                     sampai langit
                         tanah
                             menyatu
                                 mengucap
                                     hakikat

ayo
     para mawar
         tanggalkan kelopak pongahmu
             mendakilah

di puncak
     tanah menyibak langit
         langit menyibak tanah
             tanah mendekap langit
                 langit memeluk tanah
                     saling membuka
                         saling menutup berpelukan

di puncak
     segalanya terbuka
         dan tersimpan

1987



SETELAH "O, Amuk, Kapak" (1981), penyair Sutardji Calzoum Bachri menerbitkan buku kumpulan sajaknya, tahun ini. Ada jarak waktu 27 tahun, dari buku puisi yang menggabungkan tiga kumpulan puisi, tiga puncak kepenyairannya itu, dengan buku terbarunya "Atau Ngit Cari Agar" (2008).

Banyak yang menunggu sajak-sajak Sutardji setelah bukunya yang pertama itu. Banyak yang bertanya seperti apa Sutardji setelah bukunya yang pertama itu. Bahkan ada yang memvonis, "Tardji sudah habis! Dia tidak bisa berkarya lagi!"

Maka, buku barunya itu adalah jawaban dari semua tanya, semua sangsi dan pembelaan atas semua vonis tanpa pengadilan itu. Buku ini membungkam para mulut besar yang sebenarnya hanya tak sabar menunggu untuk ditenggelamkan lagi oleh kedalaman sajak-sajak penyair yang tahun ini meraih penghargaan Bintang Mahaputera dari Pemerintah RI, sekaligus tahun ini juga ia diberi Penghargaan Achmad Bakrie oleh Freedom Institute.

Mari kita bicarakan sajak-sajak dalam bukunya itu. Saya mulai pembicaraan ini dengan sajak "Para Penyair". Tak banyak, atau bahkan tak ada penyair yang kukuh memposisikan diri seperti Sutardji. Di sajak ini dia mengajak, "ayo (para penyair, mendakilah, taklukkan kelembahanmu..." Orang yang mengajak orang lain untuk menaklukkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, maka bila tidak ingin ditertawakan maka orang itu harus sudah melakukan dan menaklukkan apa yang dia ajakkan itu. Sutardji saya kira sudah sangat menyadari bahwa dia sudah menjalani pendakian-pendakian sendiri, dia sudah taklukkan kelembahannya sendiri. Dia mengajak, karena dia sudah tahu bahwa, "di puncak segalanya terbuka dan tersimpan".

Sutardji juga menyindir - dengan cara halus - para penyair yang berwangi-wangi dengan sajak wangi, "ayo para mawar, tanggalkan kelopak pongahmu, mendakilah!"

Sajak ini masih sanggup memperlihatkan kepiawaian Sutardji menyusun pengucapan yang khas, dan tak terlawankan itu. Ia tawarkan frasa "keanekaragaman tanah", "di kelembahan badan", "tanah menyibak langit", "tangah mendekap langit", "langit memeluk tanah". Frasa-frasa ajaib tapi tidak sekedar kegenitan fesyen bahasa itu saya kira hanya bisa muncul dari penyair yang pernah punya kredo membebaskan kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya. Sutardji memetik apa yang dimungkinkan oleh pembebasannya itu: KREATIVITAS!

Terhadap Sutardji tentu kita bebas pula bersikap. Dia tidak hendak menyumpal telinga kita dengan teriakan-teriakannya. Dia pasti juga tidak hendak mendoktrin kita untuk patuh pada seruan-seruannya. Tapi, ah bagi saya, betapa benarnya ia. Siapapun kita, tak hanya bila kita penyair, kita memang tak harus membiarkan batin kita tercengang pulas tenggelam di kelembahan badan. (bersambung)

Berikutnya: Sutardji bisa nakal, dan genit. Ia membuat sajak yang bagi saya adalah parodi dan antitesis yang cerdas dari sajak "Aku Ingin" Sapardi Djoko Damono. Sajak populer itu memang banyak dimain-mainkan oleh penyair lain.