Friday, September 19, 2008

Tardji (5): Menukar Gelisah, Menukar Badan

BUAT saya, ketika berada di depan sebuah sajak, selalu menarik menebak apa yang ingin disampaikan penyair lewat sajak itu. Kenapa ia menyampaikannya dengan cara yang ada pada sajak itu. Tak ada cara lain kecuali menafsir. Saya percaya bahwa apa yang datang dari luar sajak itu sah dan boleh saja didatangkan untuk mendukung tafsiran.



Buat saya, sebagai penyair, memang kedua hal itulah pertanyaan pokok ketika menyajak. Mau menyampaikan apa. Lalu bagaimana cara menyampaikannya. Mau mengucapkan apa dan bagaimana cara mengucapkannya. Ada risau di sana sisi dan nikmat sini sisi dalam kedua hal itu. Dan nikmat dan risau itulah nafkah dan sekaligus upah yang diberikan dan diambil oleh sajak kepada dan dari penyair yang menjadikannya ada.

Lalu apa ya kira-kira yang ingin disampaikan Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dalam sajak 32 baris “Lampu Antik” berikut ini? Kenapa pula dia menyampaikan dengan cara begini?


LAMPU ANTIK
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

lampu tua menunggu
di toko barang antik
lampu tua setia
menunggu nunggu orang
membelinya
lampu tua tembaga
yang berkilap di tangan tahun tahun
ah berapa lama kau pernah menyala
beberapa lama kau pernah menatap
senyum nyonya nyonya dan tuan tuan
lampu tua yang sopan
lampu tua bijak
betapa sering kau
menyipitkan matamu
sambil pura pura tak tahu
ketika mereka menukarkan
gelisah mereka dengan saling menukarkan badan
lampu tua yang sabar
lampu tua yang kuat
ah betapa bisanya kau menahan tangis
dalam matamu yang lebar dan terang
ketika kau lihat mereka sudah siap
untuk kembali sia sia
ketika kau lihat mereka
menggantungkan lap duka
di pinggir ranjang

lampu tua menunggu
di toko barang antik
dan seorang wanita
membelainya
ingin membawa tidur
malam ini

1977


Bisa jadi SCB memulakan sajak ini dari pengamatan dan ketertarikannya pada sebuah lampu tua di toko barang antik. Lantas ia membuat sajak naratif ini. Ia berkisah tentang lampu tua di sebuah toko barang antik itu. Tapi tentu sebuah sajak akan sia-sia kalau sekedar bercerita saja tentang sesuatu.

Harus ada yang tersampaikan dari sajak itu. Nah, inilah nikmat dan risau menyair itu. Maka, SCB pun saya bayangkan mengutak-atik kalimat dan saya kira itulah yang akhirnya tersimpan sebagai makna dalam sajak ini: betapa sia-sianya hubungan antara kalian wahai tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Kalian mungkin punya alasan untuk saling menukarkan badan, kalian bilang itu untuk saling menukarkan gelisah kalian, tapi toh akhirnya itu berujung pada sia-sia bak menggantung lap duka di pinggir ranjang.

Kisah dalam sajak ini diakhiri dengan sebuah peristiwa yang sebenarnya juga tidak mengisyaratkan sebuah akhir. Lampu tua itu menunggu di toko barang antik itu. Dan seorang wanita – entah apakah dia itu salah satu nyonya yang disaksikan oleh lampu itu saat bertukar gelisah dan bertukar badan dengan seorang tuan – membelai lampu itu. Wanita itu menginginkan si lampu, membawanya tidur malam itu.

Akhirnya, begitulah tafsir saya atas sajak ini, yang sia-sia akan pergi dan dengan kesadaran atas kesia-siaan itu, kita harus kembali pada apa yang hakiki. Di sajak ini yang hakikat itu dihadirkan dengan metafora lampu tua: sesuatu yang dulu pernah menerangi kita, tapi tak kita sadari terangnya, karena kita sibuk dengan gelisah badaniah kita, yang setia menunggu kita kembali padanya untuk kembali menyalakannya tentu dengan kesadaran akan keberadaan terang lampu itu.

Ataukah proses itu sebaliknya? SCB menetapkan dulu pesan dalam sajaknya ini, lalu mencari cara mengucapkan? Lalu dia menemukan metafora lampu tu aitu? Bisa jadi. Mungkin saja. Tapi saya tak yakin begitu. Ah, tapi saya tak yakin pada ke-takyakinbegitu-an saya juga.

Begitulah. Dalam sebuah sajak baik-baik yang digubah dengan sungguh-sungguh, selalu ada makna yang bisa saya petik. Ada pula pelajaran menyajak dari situ: begitulah seharusnya sebuah makna diniatkan, dan dimuatkan ke dalam sebuah sajak.