Wednesday, September 10, 2008

Sutardji (2): Sapardi Ingin, Sutardji Tak Ingin!

Sajak “Aku Ingin” bertahun 1988. Sajak itu terbukukan bersama sajak lain dalam “Hujan Bulan Juni” (1994). Sajak itu muncul ke hadapan umum di tahun 1990, lewat majalah Horison. Inilah sajak pendek yang amat terkenal, lebih terkenal daripada penyairnya. “Pembawa acara gosip di televisi bilang itu sajak Kahlil Gibran,” kata Sapardi. Inilah pula sajak penyair tanah air yang saya kira paling banyak diutak-atik oleh penyair lain, diplesetkan, diparodikan, dan dipermainkan. Apapunlah, perlakuan apapun dari penyair lain terhadap sajak itu tidak akan mengurangi kebesaran sajak kecil itu.



Begitu juga dengan yang dilakukan Sutardji pada sajak itu, bila memang benar ia membuat sajak “Tak Ingin” dengan beranjak dari sajak “Aku Ingin”. Saya kira Sutardji juga bertemu dan memparodikan sajak itu dari majalah yang sama. Mari kita baca sajak itu.

TAK INGIN

aku tak ingin bebas
tak ingin lepas
karena ingin sudah kulepas
pergi aku kedalam diriku

tak ingin mawar
tak ingin aku melati
karena taman itulah aku
segala bunga ada padaku

tak ingin aku bergegas
karena sampai ada padaku
begitu aku mau
sampai aku pada yang kutuju

aku tak ingin langit
di bumi tak resah aku
langit ada dalam diriku
dari tanah asalnya aku!

aku tak ingin bercinta
tak pula tertusuk rindu
karena cinta sudah diriku
dan akulah muasal rindu

siapa ingin main ke taman
siapa mau menyambung sayang
siapa siap resiko rindu
coba dekap dan petiklah aku!

1991

Sebagai parodi, sajak ini adalah sebuah parodi yang cerdas. Lihat saja bait pertamanya: aku tak ingin bebas / tak ingin lepas / karena ingin sudah kulepas / pergi aku kedalam diriku. Bila Sapardi memulai dengan “aku ingin” Sutardji langsung membalikkannya dengan “aku tak ingin”. Ini seperti olok-olok antara dua bocah yang sedang bermain-main. Lumayan, sedikit mengundang kelucuan. Bila Sapardi mengambil perumpamaan dari luar dirinya (kepada kayu, api, abu, hujan, langit dan awan) - dan itu tentu saja tidak salah – maka Sutardji pergi ke dalam dirinya sendiri. Bila Sapardi membebaskan, Sutadji tidak ingin bebas tak mau lepas. Bila Sapardi mengatakan cinta dan langit, maka Sutardji menyebut “aku tak ingin bercinta”, “aku tak ingin langit”. Sebuah peragaan kenakalan, keusilan (sekaligus menunjukkan sebuah pencarian dan penemuan) yang jenius, sebab Sutardji memberi alas pada ketidakinginannya itu.

Sutardji pun tidak berhenti pada sajak dua bait yang pendek. Dia terus menghamparkan kuatrinnya hingga enam bait. Sajak Sutardji akhirnya menjadi sebuah sajak yang mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan Sapardi. Bila yang satu hendak mengucapkan rasa cinta yang tulus, ikhlas, tak mengharap balas, maka yang lain menawarkan petunjuk bahwa cinta harus sampai pada penyatuan – jauh lebih daripada sekedar pemberian yang tulus. Karena cinta sudah diriku / dan akulah muasal rindu. Dan kuncinya – selalu demikian – ada pada bait akhir:

siapa ingin main ke taman
siapa mau menyambung sayang
siapa siap resiko rindu
coba dekap dan petiklah aku!


Lagi-lagi ini sebuah bait menantang khas Sutardji. Siapa siap resiko rindu. Coba dekap dan petiklah aku! Makna sajak Sutardji telah melampaui, memperluas, menambah tanpa merendahkan sajak yang diparodikannya. Saya kira begitulah seharusnya parodi yang cerdas dan dengan demikianlah, atmosfer kreatif dalam dunia persajakan kita tetap terjaga, tetap sehat, supaya bisa terus jalan-jalan dan makan-makan. Tetap maknyus!