Friday, September 12, 2008

[Sutardji (4): Ditebas Pedang Taubat

BILA sajak "Berdarah" adalah sajak Sutardji yang paling tepat bicara soal kesetiakawanan sosial - saya amat satu kata dengan Joko Pinurbo dalam hal ini, maka sajak "Idulfitri" adalah sajak tentang pertobatan dan pengakuan kesalahan di masa lalu, yang paling jujur.

Ketika ada berita Sutardji yang tak pernah mabuk lagi, membaca sajak di Pekanbaru dan seperti biasa dia tampil dengan totalitas dan karena itu ia selalu memukau, ada seorang berkomentar, "apa betul dia tak minum dulu?" Saya kira orang itu tak pernah membaca sajak "Idulfitri".

Dalam beberapa kali bertemu Sutardji saya tahu persis dia memang tak minum bir lagi. Dia ucapkan itu berkali-kali. Saya melihat perilaku, Sutardji persis seperti sajak "Idulfitri"-nya ini:



IDULFITRI
Sajak Sutardji Calzoum Bachri

lihat
pedang taubat ini menebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia-sia
telah kulaksanakan puasa Ramadhanku
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntai wirid tiap malam dan siang
telah kuhamparkan sajadahku
yang tak hanya menuju Ka'bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah

dan di malam Qadar aku pun menunggu
namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

maka aku girang-girangkan hatiku
aku bilang
tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
namun si bandel tardji ini sekali merindu
takkan pernah melupa
takkan kulupa janjiNya
bagi yang merindu insyaAllah kan ada mustajab cinta

maka walau tak jumpa denganNya
shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
semakin mendekatkan aku padaNya
dan semakin dekat
semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalau berlupa

O lihat Tuhan kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
kini biarkan aku menenggak marak cahayaMu
di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan
yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoar
tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia

maka pagi ini
kukenakan zirah la ilaha illallah
aku pakai sepau siratul mustaqiem
akupun lurus menuju lapangan tempat shalat ied
aku bawa masjid dalam diriku
kuhamparkan di lapangan
kutegakkan shalat
dan kurayakan kelahiran kembali
di sana

1987


Ini adalah sajak yang total, jujur, dan saya ingin sekali melihat dia membacakan sajaknya ini. Saya membaca sajak ini dengan mata berkabut. Haru. Betapa beruntungnya Sutardji, diberi kesempatan untuk menyadari perilaku salah dan berani pula dia mengakui itu dan betapa kuat tekadnya untuk menjadi benar. Saya ingin sekali kelak menulis sajak seperti ini. Saya ingin sekali bisa merasa seperti dia "merayakan kembali kelahiran".

Saya kira ini adalah sajak yang menandai babak baru kepenyairan Sutardji. Di buku "Atau Ngit Cari Agar" ada tahun-tahun Sutardji kosong menyajak. Sajak terakhirnya dari era setelah "O, Amuk, Kapak" bertahun 1979. Lalu sajaknya muncul lagi baru pada tahun 1987. Ada dua sajak yang ditulisnya pada tahun itu yaitu "Para Penyair" dan "Idulfitri". Saya tak tahu manakah yang lebih dahulu ditulis, tapi keduanya bernada sama, beraroma penemuan spiritual dan lahir sama dari seorang Sutardji yang kini telah berbeda. "Sajak yang ditulis dalam keadaan berwudhu," kata Taufik Ismail.

"Semua sajakku dari dulu sudah religius," kata Sutardji pada suatu ketika. Tapi religiusitasnya berbeda. Religiusitas sajak di era "O, Amuk, Kapak" kental dengan aroma pencarian, keraguan, pendakwaan, dan perlawanan. Maka sajak-sajak setelah 1987itu adalah sajak dengan warna teduh, ia telah sampai, ia telah menemukan, ia sudah berpegang kuat.