Friday, September 5, 2008

Sajak dengan Sepuluh Kata dari TS Pinang

Dari blog Dedy Tri Riyadi saya intip ada sepuluh kata dari TS Pinang . Kata itu adalah suvenir, printer, setrika, kotak perhiasan, kerupuk, magic jar, kalender, tikar, kapas, spidol, dan kamera. Dedy sudah membuat sepuluh kata itu menjadi sebuah sajak. Aku menjajal juga. Silakan menilai!



Pernahkah Kita Menangis Seperti Itu Lagi?
Sajak Hasan Aspahani

AKU tidak pernah menulis surat cinta untukmu dengan program pengolah kata. Aku tak suka getar suara kertas A4 ditimpa pita printer dotmatrix di kantor penerbitan kecil tempat aku pertama bekerja dulu. Seperti suara mulut Hulk mengunyah kerupuk.

AKU percaya pada tulisan tanganku yang meskipun buruk - seperti ujung-ujung tikar tua yang mulai terlepas anyamannya, seperti kemeja kuliah satu-satunya yang tak pernah kusetrika - tetapi hurufnya bercahaya, karena gemetar tanganku menuliskan kalimat-kalimat yang begitu takutnya aku bila engkau tak mempercayainya: kalimat yang kubilang padamu sebagai suvenir dari malaikat pembisikku, ia datang dari surga.

AKU tahu di kotak perhiasanmu masih kau simpan kalender meja itu. Kalau mengalasinya dengan kapas, seakan ingin memastikan ia nyaman tersimpan di sana. Kita bersama-sama melingkarkan spidol bertinta emas pada tanggal ke-17 di bulan ke-5 tahun itu dengan garis yang gemetar juga. Lalu dengan sisa tinta kubuat kartu-kartu bertuliskan puisi yang aduhai pasti akan membuat Subagio tertawa, Sapardi tersenyum dan Sutardji terkekeh, karena itu aku tidak mengirimnya ke mana-mana. Kau, aku tahu, masih menyimpannya di kotak itu juga.

AKU tahu, karena satu hal waktu itu, kita menangis. Kita bahagia oleh tangisan itu. Aku berkata, mana yang lebih hangat, air mataku atau air matamu? Engkau berkata, aku mau mengabadikan hangat air mata ini. Aku berkata, simpan saja dalam magic jar, biar tanak ia bersama nasi, biar hangatnya lama terjaga. Engkau berkata bagaimana harus kuabadikan bening warna air mata kita ini? Aku diam saja. Dan kubiarkan engkau membantu menyapu air mata di pipiku. Ah, seandainya waktu itu ada kamera digital, cukup 2 megapixel saja, aku akan memotret adegan menangis itu hingga penuh memory card lalu kupasang di blog kita, agar seperti maumu air mata kita itu abadi beningnya.