Sunday, September 7, 2008

Koran, Koran! Sastra Koran! Siapa Mau Sastra Koran?!

Selalu saja ada yang bicara soal sastra koran. Dan selalu saja nadanya miring. Kenapa sih? Ada apa dengan sastra koran? Ini postingan tentang diskusi di milis Apresiasi Sastra. Ada pemancing, ada penanggap, ada pengomentar sambil lalu. Saya pun ikutan, dan komentar saya yang teramat sambil lalu saya tampilkan di sini. Selebihnya, Anda bisa ikut milis tersebut, ada Hudan, Saut, Ramon, Akmal, TS Pinang dll di sana.



--> ada yang lucu pada pusat sastra koran yang terjadi saat ini. koran menjadi kiblat oleh para sastrawan. bahkan ada mitos yang mengatakan: penyair kalo puisinya belum dimuat di kompas maka belum layak disebut penyair. apa yang terjadi?

HAH: Bung, ini sama sekali tidak lucu. Betulkah koran menjadi kiblat? Buat saya tidak. Saya menulis sajak, sesekali cerpen, tidak untuk dikorankan. Semua sajak saya, saya tampilkan di blog saya. Sudah tahu kan blog saya? (hari ini statcounter mencatat visitor 509 orang, dan pageload 696, ini rekor tertinggi sejak 2003, eh sejak counter itu dipasang :-)

Sebagian sajak saya saya kirim ke koran-koran itu. Ada yang dimuat, ada yang tidak. Ada koran yang bahkan sampai hari ini belum pernah memuat sajak saya. Soal mitos itu, ah namanya juga mitos, apa benar ada, kalau pun ada mitos kok dipercaya. Jangan percaya, Bung. Lalu apa yang lucu?


--> kok maumaunya para penyair tunduk pada hegemoni koran ya? padahal karya mereka cuma dihargai dengan jumlah uang yang gak seberapa. habis itu karyanya hanya layak dibuat bungkus gorengan. gak ada yang membaca. bahkan menurut surfe 90% pembaca koran tidak membaca kolom satra, mereka meminta kolom itu ditiadakan dan diganti gosip selebritis.

HAH: Tunduk pada hegemoni koran? Hegemoni apa? Koran menghargai puisi dengan jumlah uang yang gak seberapa? Anda tahu berapa? Kompas membayar 700 ribu bila puisi kita dimuat satu halaman. Kalau bersama-sama 400 ribu. Koran Tempo 350 ribu. Media Indonesia? Saya gak tahu, pernah dimuat tapi tak pernah dibayar. Pikiran Rakyat? Saya juga gak tahu, karena pernah dimuat dan juga tak pernah dibayar. Horison (ini bukan koran) membayar kata teman saya Rp75 ribu per sajak. Berapakah jumlah uang yang "gak seberapa" itu, bung? Berapakah harga yang lebih pantas itu, bung? Saya mau bilang, saya tidak mencari uang lewat puisi. Saya bekerja sebagai wartawan untuk menafkahi keluarga, saya Pemimpin Redaksi Batam Pos. Perusahaan yang berlaba dan tiap tahun membagi dividen pada karyawannya. Sifat media - surat kabar- memang begitu, bung. Namanya juga koran harian. Habis dibaca besok jadi koran bekas. Lalu didaur ulang. Atau dipakai untuk keperluan yang bukan sebagai koran lagi. Bisa jadi kertas bungkus, bisa jadi alas penampung tahi burung perkutut, bisa jadi lap tangan montir di bengkel, tak perduli apa yang tercetak di situ, berita gagal panenkah, iklan bariskah, atau puisi. lantas kenapa penyair mesti kecil hati? Anda tahu hasil survei itu dari mana? saya yang orang koran belum pernah mendengar. tiap rubrik ada penggemarnya. ada pembaca masing-masing. jadi tidak semua pembeli koran minggu membaca puisi. ada yang mau lihat kartun, atau kolom parodi (ini ada di kompas). Dan anda tahu kolom apa yang berada di urutan nomor satu sebagai alasan orang beli koran? LOWONGAN KERJA!


--> padahal dalam persaingan memperebutkan hati redaksi koran para sastrawan sampai menyesuaikan dengan keinginan redaktur. idiologi benar-benar ditinggalkan. itupun karyanya belu pasti dimuat.


HAH: Mengirim sajak bukan untuk merebut hati redakturnya. Saya malah tidak tahu apa maunya redaktur koran-koran itu. saya tidak tahu isi hatinya, saya tidak tahu isi kepalanya persisnya seperti apa. Ideologi apa? Ideologi saya adalah menulis sajak sebaik-baiknya. Menulis sajak dengan pengucapan yang baru, tidak mengulang-ulang, dengan demikian secara umum sajak kita akan jadi sehat walafiat. Tidak semua sajak saya dimuat di koran itu. saya tidak lantas membuat sajak seperti sajak orang lain yang dimuat atau seperti sajak saya yang pernah dimuat. Anda betul, belum tentu dimuat.


---> kenapa koran? kenapa gak buletin2 sastra yang memang khusus memberikan perhatiannya pada sastra.

HAH: adakah buletin itu, bung? siapa pengelolanya? ada alamat e-mailnya? biar saya kirim juga ke sana. jurnal Puisi megap-megap lalu mati suri. Kalam entah kenapa tak terbit lagi. Horison? sebesar apa juga perhatiannya pada puisi? Buletin apa, bung? Lantas apa salahnya koran? kesempatan untuk publikasi ada tiap minggu di sana.

---> karya sastrawan akan lebih dihargai oleh pembaca yang segmennya jelas, yaitu pecinta sastra.

HAH: apakah para pencinta sastra itu tidak membeli koran minggu? apakah membaca dan mengapresiasi puisi itu berbeda jika puisi itu tampil di koran atau di buletin, atau di blog, atau di buku? apa bedanya?


---> kenapa para sastrawan mau menjual karyanya pada koran hanya untuk beberapa jumlah uang namun akhirnya hasil karya yang diciptakan melalui proses yang berdarah-darah tidak dibaca (oleh pembaca koran) dan hanya dijadikan bungkus makanan atau dibuang ditempat sampah.

HAH: menjual karya? ah, bahasa anda berlebihan. sajak saya tidak pernah terjual. sajak saya akan tetap menajdi milik saya, selamanya, dimanapun ia dimuat. Jika sebuah karya tidak dibaca itu bukan kesalahan sastrawannya. kemungkinan dibaca tentu lebih besaaaar ketika sajak itu dimuat di koran beroplah besar daripada hanya disimpan di laci, bukan.


---> menyedihkan. hargailah karya sastra dengan menghargai karya kita. jangan jual karya kita kalau tak "dihargai" dengan selayaknya. kirim aja di buletin yang mempunyia perhatian khusus kepada sastra, mungkin disana karya lebih berharga.

HAH: kita masih bisa diskusi panjang soal menghargai karya sastra dengan layak. Sekali lagi, buletin apa? Saya kuper nih. Suer!

---> koran? kolom sastranya aja semakin berkurang. masak kita tunduk pada hegemoni yang tak memperhatikan kita??

HAH: setahu saya Media Indonesia menghilangkan satu halaman sastranya sejak beberapa waktu lalu. Kompas? Dulu puisi sebulan sekali, lalu seminggu sekali (bertambah, dong), yang lain? tetap saja, rata-rata satu halaman. dengan kerelaan menyisihkan satu atau beberapa halaman koran untuk sastra setiap minggu, maka apakah itu bukan sebuah penghargaan, bung?

Saya mengirim karya ke koran bukan karena ingin dihargai oleh koran. Tapi, dibaca dan diapresiasi oleh pembaca, dan itu saya dapatkan.