Friday, September 1, 2006

Semacam Pengantar:
Saya tidak sedang berkampanye jadi Menteri Perpuisian dan Kepenyairan. Jadi siapa yang ingin menertawakan RUU ini ya silakan. Mau merevisi ya silakan. Mau membaca dengan serius ya silakan. Ini cuma hasil kerajinan tangan pencinta puisi yang lagi kurang kerjaan. Ini edisi revisi. HAH

Rancangan Undang-undang
Perpuisian dan Kepenyairan

(Edisi Revisi Pertama)

Menimbang:
a. BAHWA di seluruh dunia tidak ada bangsa atau suku bangsa yang tidak mempunyai tradisi puisi, apapun bentuk dan kekhasannya. Puisi adalah lumbung kekayaan rohani umat manusia.
b. BAHWA di seluruh dunia dari zaman purba, manusia menciptakan puisi dengan fungsi dan tujuan yang bermacam-macam: keagaman, sosial, dan atau individual.
c. BAHWA puisi tentang apa saja, sampai kapan saja akan terus dituliskan, dinyanyikan, dibaca, untuk memukau, menghibur, memperkaya rasa dan hati, mengajak bercanda, merenung atau menyadari siapa sesungguhnya diri manusia.

Mengingat:
a. PUISI yang baik bisa mendekatkan manusia kepada Tuhan pencipta alam dan sesama manusia.
b. PUISI yang baik bisa membantu manusia menjalani hidupnya dengan lebih baik.
c. PUISI yang baik adalah pembuka jalan ke masa depan bahasa-bahasa.

Memutuskan:
Menetapkan: Undang-undang Perpuisian dan Kepenyairan


Bab 1. Ketentuan Umum
Pasal 1
Puisi dan Penyair

1. PUISI atau sajak adalah apa yang digubah dan diniatkan oleh penyairnya sebagai sajak. Kemudian niat sajak penyair itu bersesuaian dengan niat sajak bahasa dan niat sajak pembaca.

2. PUISI terutama hadir dengan kehadiran kata, tapi keadaan absen kata pun bisa menghadirkan puisi. Apa yang puisi bisa hadir atau dirasakan pada bahasa cahaya, bahasa bunyi, bahasa benda, bahasa rasa, dan bahkan bahasa aroma.

3. PENYAIR adalah orang-orang yang menggunakan sebagian waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menghadirkan puisi, menyiarkannya di berbagai jenis media dan atau kadang-kadang melisankannya di hadapan khalayak ramai.

4. PUISI terbaik adalah puisi yang bahasa yang membangunnya dan makna yang dikandungnya tidak pernah menjadi bagian dari masa lampau, ia selalu bisa dikaitkan dengan masa kini dan ia bahkan menjadi isyarat masa depan. Puisi yang demikian hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat dan kederdasan yang tinggi.

5. PUISI adalah dunia rekaan, dunia fiksi, peristiwa yang dialami atau yang dibayangkan oleh penyair dihadirkan dalam kata-kata dan bahasa yang bukan kata, dan tidak lagi berada di dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu puisi tidak bisa ditakar dengan ukuran yang biasa dikenakan untuk kehidupan sehari-hari.

6. PUISI adalah hasil dari kerja penyair mengamati dan menghayati alam dan meneliti peristiwa yang dialami manusia, lalu dengan menaati, mempermainkan, memberdayakan bahasa, bahan itu oleh penyair diolah, dengan demikian maka rujukan pertama dan terutama bagi puisi dan penyair adalah kehidupan dan tata bahasa.

7. PROSES penulisan puisi berakhir apabila dalam kata-kata dan bahasa lainnya yang dipermainkannya telah tersusun pesan yang hendak disampaikan olehnya dan atau telah tersusun peristiwa yang dirasa-rasakan pernah dialaminya dan ia merasa peristiwa dan pesan itu telah mengandung makna, berarti dan atau bermanfaat.

8. PUISI menjadikan hal yang sederhana menjadi aneh, yang mudah dipahami dirumuskan berliku-liku, sehingga ia memberi kejutan, malahan bahkan bisa mengelirukan. Tetapi keanehan itulah yang menjadikan puisi mengesankan, sukar dilupakan, terpatri dalam ingatan.

Pasal 2
Bentuk, Ruh, dan Falsafah Puisi

1. TAK ada batasan tentang seberapa panjang atau seberapa pendek sebuah puisi boleh dituliskan. Panjang pendek sajak tidak berhubungan dan tidak menentukan mutu puisi.


2. PENYAIR bebas memilih bentuk puisi. Penyair bebas memilih apakah ia ingin terikat pada sajak berbentuk tetap atau bebas dengan bentuk sajak bebas. Penyair bebas merusak bentuk-bentuk tetap, juga bebas membuat sebuah bentuk tetap yang baru.


3. ADA ruh dalam setiap puisi yang baik. Penampakan ruh itu timbul tenggelam antara kerumitan dan keutuhan puisi. Ruh puisi samar bahkan hancur pada sajak yang menawarkan kerumitan tetapi tidak bisa meraih keutuhan. Ruh puisi pucat, pudar bahkan hilang pada sajak yang utuh tapi sama sekali tidak asyik karena tidak menawarkan tantangan pemaknaan dengan kerumitan yang memadai.


4. TIAP penyair pasti akan dan harus menemukan dan atau memiliki kredo atau falsafah perpuisian dan kepenyairannya sendiri. Falsafah itu bukan cetakan yang tetap, tetapi ia menjadi tangan gaib yang membimbing penyair bertemu puisi-puisinya. Falsafah itu kemudian menjadi pintu masuk bagi pembaca untuk melancong ke dalam puisi-puisi itu. Tentu saja pembaca boleh menemukan atau menciptakan pintu lain untuk menemukan kenikmatan lain.


5. PENYAIR boleh kapan saja meninggalkan kredo atau falsafah puisi yang pernah ia temukan, karena penyairlah yang menemukan kredo itu, bukan kredo yang menemukan penyair.

Bab 2. Hak Puisi dan Tanggung Jawab Pembaca
Pasal 3

PUISI memerlukan dan berhak untuk dicurahi daya upaya yang total dari pihak pembaca yang bertanggung jawab sebagai pemberi makna pada sajak itu, karena puisi merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil ciptaan seorang manusia penyair dengan segala pengalaman dan suka-dukanya.

Bab 3. Kebulatan dan Keutuhan Puisi
Pasal 4

SEBUAH puisi yang baik merupakan sebuah kebulatan dan kepaduan makna di mana segala unsur berkaitan satu dengan yang lain, di mana setiap bagian atau aspek menyumbang pada keseluruhan makna. Aspek sajak tersebut terdiri atas aspek makna, aspek tata bahasa, aspek struktur sajak, aspek bunyi sajak.

Bab 4. Peran dan Tantangan Penyair
Pasal 5

1. PENYAIR menjalani peran kepenyairannya antara permainan kata ala anak-anak dan penyampaian makna bak seorang nabi. Penyair bermain kata-kata sampai di dalamnya tersusun atau tersampaikan makna. Anak-anak hanya asyik pada permainan kata-kata tak peduli apakah bermakna atau hanya sia-sia. Nabi tidak bermain kata tetapi ia menyampaikan kata-kata yang bermakna yang ia terima sebagai wahyu dari Tuhan untuk dikabarkan kepada manusia, umatnya.


2. PENYAIR harus tetap mempertahankan kesadaran kritis agar ia tetap bisa mempertahankan kepenyairannya dan memberi kesaksian lewat sajak-sajaknya.


3. TANTANGAN penyair adalah terus-menerus mencari dan mengembangkan tema sajak-sajaknya dan menciptakan cara pengungkapan baru, bahasa yang baru, yang berbeda dari yang dipergunakan oleh para penyair sebelum dia.


4. PENYAIR berhadapan dengan sejumlah kode tetap dan konvensi. Tetapi, kode dan konvensi itu bukan merupakan sistem yang tetap dan ketat: dalam kegiatan penciptaannya si penyair berhak dan bertugas untuk menerapkan sistem itu secara individual, menyesuaikan menurut keperluannya sebagai seniman, malahan memperkosa dan melanggarnya seperlunya. Pemerkosaan dan pelanggaran konvensi adalah sifat puisi yang khas, malahan pada masa-masa tertentu hasil dan nilai sebuah karya puisi sebagai besar ditentukan oleh berjaya-tidaknya dalam usahanya mendobrak dan merombak konvensi itu.


5. TETAPI dalam pelanggaran itu si penyair mau tidak mau terikat pada konvensi itu, agar tercipta ruang apresiasi yang layak untuk pembaca. Tidak pernah ada kebebasan mutlak atau kemungkinan untuk penyimpangan total; sebab perombakan total akan berarti bahwa bagi pembaca tidak ada kemungkinan lagi untuk memahami karya itu.


Bab 5. Penyair dan Kehidupan
Pasal 6

1. PENYAIR yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan dengan lingkaran dunia yang lebih besar. Perhatian pada dunia luar itu mengandung pengertian menaruh atau memberi hati, perbuatan yang dekat persinggungannya dengan mencintai.


2. TEMA cinta abadi dalam sajak karena timbul dari dorongan pertama penyair hendak menulis sajak. Cinta itu dapat berhenti pada “perhatian dan menaruh hati” itu saja, tetapi dapat pula meluap sebagai nafsu dan rindu yang ingin meluluhkan diri dengan subyek cintanya: bunga, langit, anak, kekasih, keindahan atau kebenaran yang didamba.


3. PUISI harus berada di pihak manusia korban, manusia yang lemah, yang tertekan, yang terasing atau diasingkan dari kenyataan kekuasan, dari komunikasi kemanusiaan.


4. DALAM puisi yang memerlukan kesaksian bukanlah kenyataan, bukan fakta dan kekuasaan, melainkan yang mungkin, yang rapuh, yang kelak retak, yang sia-sia.


Bab. 6 Sumber Ilham
Pasal 7

1. MASA kecil, istimewa atau biasa-biasa saja, bisa menjadi ilham puisi. Masa kecil harus dicurigai menyimpan sesuatu di bawah hal-hal yang berlangsung begitu-begitu saja.


2. PENYAIR harus sabar menjelajahi dan meneliti sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecil agar hidup kembali atau tertangkap dalam kata-kata puisi.


3. SEGALA hal dalam masa kecil penyair diam-diam kemungkinan telah menjelma menjadi lambang-lambang; atau mungkin juga di masa kecil, lambang-lambang telah menjelma dalam hidup sehari-hari sebagai yang nyata. Karena itu masa kecil benar-benar mengasyikan: kita tinggal dalam dunia yang tersusun dari lambang-lambang dan karenanya sangat kaya makna.


4. PENGALAMAN-pengalaman yang sulit diingat karena amat sepelenya dan cenderung mudah dilupakan saja, harus diundang, dikenang, dirawat, ditumbuhkan lagi karena ia berharga untuk dicipta kembali dalam sajak-sajak.


5. PENYAIR harus mengamati, mengalami dan menghayati banyak hal. Kemudian perlahan ikhlas mendamaikan segalanya dalam ingatan. Ketika hal-hal itu datang serempak atau satu per satu, karena rangsang hal lain dan imajinasinya telah mengajaknya bermain, maka itulah saatnya ia menuliskannya sebagai puisi.

Bab 7. Pembaca, dan Memaknai Sajak

Pasal 8
Penyair dan Pembaca Sajak

1. TUGAS penyair adalah mengejutkan pembaca, dengan melakukan penyimpangan dari pemaknaan bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Tetapi kemungkinan, kelonggaran penyimpangan, selalu ada batasnya, yakni batas kemungkinan komunikasi.


2. Penyair harus mengupayakan agar sajaknya sampai kepada pembaca dan susunan kata-katanya tidak menghalangi pembaca untuk menyusun sendiri citra-citra atau imaji yang menggambarkan peristiwa tertentu. Tetapi juga tidak terlalu mudah sehingga tidak menawarkan imaji apa-apa bagi pembacanya.


3. Penyair tidak boleh menghalangi, juga sebaliknya tidak bisa memaksa pembacanya untuk ikut, atau akrab atau bahkan memiliki peristiwa dalam sajak yang ia ciptakan.


4. Pembaca-pembaca sebuah sajak bebas menangkap imaji yang mendukung sebuah sajak, tetapi bermakna tidaknya peristiwa itu baginya tergantung pada pengalaman, kecederdasan, dan kemauannya untuk membuka diri.


5. Modal pembaca untuk mendekati karya puisi terutama terdiri atas sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya; kalau sistem itu sama sekali tidak dapat dipakai lagi untuk memahami karya seni maka dia bingung, apresiasi tidak mungkin lagi baginya.

Pasal 9
Membaca dan Memaknai Sajak

1. Tak Tergantikan. Penafsiran sajak tidak pernah dapat menggantikan sajak itu sendiri. Sebab sajak yang baik adalah ekspresi yang ideal dari kebenaran yang direbut oleh penyair dari kehidupan. Penjelasan dan penafsiran hanya dapat berfungsi sebagai pengantar kembali pada sajak itu sendiri.


2. Merebut Makna. Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan oleh sang penyair.


3. Tak Pernah Tuntas. Tidak pernah ada makna sajak yang final, tidak pernah ada pengetahuan yang definitif dalam sajak. Puisi tetap pasemon yang terus-menerus memerlukan interpretasi, atau lebih tepat penghayatan dalam arti rangkap: pembaca tidak saja memberi hayat pada sajak yang dihadapinya, dia juga menerima hayat daripadanya, dihidupi olehnya.


4. Kaidah Paradoks Kode. Dalam membaca sajak pembaca selalu menghadapi keadaan paradoksal. Pada satu pihak sebuah sajak merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya; sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri. Tetapi pada pihak lain tidak ada puisi yang berfungsi dalam situasi kosong; setiap sajak merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu.


5. Permainan Kejar-mengejar. Membaca puisi adalah semacam permainan kejar-mengejar antara sajak dan pembaca; sajak mengelak, mengejut, menyesatkan, meragu-ragukan si pembaca, tetapi si pembaca tak henti-hentinya berusaha menangkap sajak, mengembalikannya pada suatu yang dikenalnya, dipahaminya, menjadikannya wajar, koheren dan bermakna.


6. Paradoks dan Ironi. Paradoks dan ironi adalah ciri khas, bahkan bisa jadi syarat mutlak sajak modern. Salah satu bentuk ironi yang bisa dilacak ketika membaca sebuah sajak adalah pertentangan antara bentuk dan makna, antara ungkapan dan fungsinya, dalam keseluruhan sajak.


7. Klimaks Sajak. Sajak seringkali membeberkan semacam klimaks, sehingga informasi yang hakiki yang menentukan makna keseluruhannya, seringkali didapatkan oleh pembaca dalam bagian akhir sajak yang padanya bisa kita temukan beberapa kata atau ungkapan kunci.

8. Defamiliarisasi. Pembaca puisi harus siap terkejut dengan usaha defamiliarisasi yang dibuat oleh penyair. Defamilirasisai atau usaha untuk menjadikan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang tidak ramah, yang tidak akrab, atau dengan kata lain deotomisasi adalah ciri khas puisi.

9. Hubungan Antarsajak. Sajak bisa dibaca, dipahami dan ditafsirkan sendiri, atau dengan memanfaatkan bahan atau data luar. Kadang ada hubungan batin antara beberapa sajak dalam karya lengkap atau sebuah kumpulan sajak seorang penyair. Ada kalanya penyair itu sendiri memberi petunjuk tentang hubungan antara dua atau lebih banyak sajak.


Bab 8. Bahasa Sajak
Pasal 10

BAHASA, dengan segala tata dan tertibnya, tidak hanya bisa dipakai untuk menata dan menertibkan sajak. Penyair berkarya dengan memanfaatkan konvensi dan aturan tata bahasa, menggali potensi kreatif dan sensitif yang ada pada bahasa sepenuh-penuhnya menjadi kekuatan sajak.

Bab 9. Sajak Gagal
Pasal 11

PADA prinsipnya bahasa puisi memang harus dapat dikembalikan pada yang bermakna dan kalau itu tidak mungkin untuk pembaca yang cukup peka, maka puisi itu telah gagal.
DENGAN kata lain, sebelum memutuskan sebuah puisi telah gagal atau berhasil, maka pertama yang harus dipertanyakan oleh pembaca adalah sudah sampai pada tingkat apakah kepekaan rasa dan minda puitiknya.

Bab 10. Penutup
Pasal 12

6. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini tidak mengikat siapapun, khalayak pembaca dan penyair yang sama-sama terus mencari jalan untuk menikmati puisi hanya ingin diketuk dan diberi rangsang pemahaman untuk kemudian dibebaskan mencari jalan sendiri.


7. UU Perpuisian dan Kepenyairan ini boleh ditaati dengan ikhlas, dijadikan panduan, dibantah, dilupakan atau dibuat tandingannya. Silakan saja.


Batam, September 2006


Dirumuskan oleh Hasan Aspahani dari naskah-naskah telaah puisi oleh A Teeuw, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Rainer Maria Rilke, dll.