Friday, September 22, 2006

[Tadarus Puisi # 7] Rasa Lapar yang Asing Itu

Kita berdua saja, duduk. Aku memesan
ilalang panjang dan bunga rumput -
kau entah memesan apa. Aku memesan
batu di tengah sungai terjal yang deras -

kau entah memesan apa. Tapi kita berdua
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.


1989

(Di Restoran, Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, Grasindo 1994)

PILIHAN-PILIHAN dalam hidup ini seperti kita memilih restoran. Tak ada paksaan untuk masuk ke restoran mana pun. Tak ada yang mengharuskan atau melarang kita untuk hanya makan di sebuah restoran yang itu-itu saja. Ketika kita duduk di kursi ada pilihan pilihan menu yang disodorkan.

MENU apa yang kita pilih? Itu pun sebuah kebebasan. Restoran kehidupan yang kita masuki tentu berbeda-beda tawaran menunya. Ada yang menjanjikan ratusan menu, ada yang bermenu tunggal alias tak ada pilihan. Berbahagialah jika kita kini sedang berada di sebuah restoran yang menyodorkan kebebasan menu.

PILIHAN menu yang akan kita santap adalah nasib masing-masing pengunjung restoran. Aku dan kau yang datang bersamaan pun tak tahu apa yang masing-masing kita pesan. Aku memesan ilalang dan bunga rumput, kau entah memesan apa. Aku tak bisa memaksamu untuk memesan menu yang sama dengan aku. Aku memesan batu di tengah arus sungai yang deras, kau entah memesan apa.

KITA toh membayar sendiri untuk pilihan-pilihan kita? Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, aku memesan rasa lapar yang asing itu. Rasa lapar yang asing itu? Ah, lapar yang sebenarnya jadi alasan kita untuk datang ke restoran di mata penyair disebut sebagai sesuatu yang asing. Kita rupanya tak mengenal lapar itu. Untuk menjadi pengunjung restoran yang baik dan terus menjadi lebih baik, kita harus bisa mengenalnya terus menerus. Memesannya dan menyantapnya lagi di restoran kesayangan kita.