Monday, September 25, 2006

Ihwal Menulis dan Membaca Puisi

KENAPA menulis dan membaca puisi? Pertanyaan ini dipakai oleh Amy Lowel dalam pembuka dua buah esainya. Saya menggabungkan kedua pertanyaan itu. Jawaban dan uraian berikut ini sebagian besar juga saya terjemahkan dari dua esai tersebut.


Bagi Lowell, pertanyaan itu sama saja jika ia ditanya: kenapa kita harus makan? Kita makan karena kita harus makan, supaya terus hidup, tapi setiap kali kita duduk untuk menyantap hidangan, kita toh tidak bilang, "Saya harus makan hidangan ini supaya saya tidak mati." Kita makan karena kita lapar. Dan bagi kita menjadi kenikmatan dan sesuatu yang selalu kita ingin lakukan.

Apa sih pentingnya puisi? Kata Lowell, puisi adalah salah satu yang paling mendasar dari hidup manusia. Tapi, secara alamiah kita tak menempatkan sajak dalam hitung-hitungan lebih seperti kita makan, lalu besok makan lagi.

Tanpa puisi jiwa dan hati manusia menderita dan mati. Satu-satunya perbedaannya adalah, semua manusia tahu kalau dia tidak makan dia akan mati, dan tak semua bahkan hanya segelintir yang menyadari tanpa puisi jiwa mereka akan mati.

Apa sih sesungguhnya puisi? Puisi adalah contoh tingkat tinggi yang amat sempurna dari emosi, atau dari setiap emosi sekilas. Tapi, puisi selalu adalah perasaan seseorang tentang sesuatu, seperti deskripsi detil sebuah pertempuran yang diceritakan oleh prajurit yang terlibat baku tembak dalam pertempuran tersebut.

Ketika merumuskan definisi puisi seperti di atas, Lowel tak ingin disalah mengeti, maka ia tambahkan, bahwa tidak setiap puisi adalah puisi sejati. Banyak, sebagian besar (Oh, ini sialnya!) puisi adalah sekadar imitasi yang jelek; sebagian lagi vulgar.

Ada yang bilang membuat sesuatu yang samar-samar seperti puisi adalah tindakan kriminal. Memang kesamaran adalah bagian yang kerap hadir dalam puisi. Puisi yang penuh kesamaran belum tentu bisa menghidupi jiwa, karena seringkali ditulis oleh seseorang tanpa perasaan vital dan orisinil, tanpa imajinasi yang menyala-nyala.

Jadinya adalah puisi yang tak berarti kecuali kata-kata bodoh, hambar seperti sesuatu yang dipaksa-jejalkan, terpencil jauh dari hidup manusia, dan hanya cocok untuk kecengengan orang muda atau orang tua yang sok tahu banyak. Memuakkan.

Itulah yang disebut sesuatu yang seperti puisi atau puisi-puisian (ini istilah saya). Secara teknik disebut derivative, artinya pengarang menjiplak emosi orang lain, bahkan seringkali kata-kata orang lain, lalu jadilah puisi-puisi hambar yang bicara tentang bunga, sinar bulan, cinta dan kematian. Padahal si penulis tak pernah digerakkan langsung oleh apa-apa yang ditulisnya: bunga bulan, cinta, kematian, dan obyek puitis lainnya.***

Amy Lowell (1874-1925), salah seorang penyair yang terus menerus bereksperimen dengan berbagai bentuk puisi, penggerak puisi imagis, dan pelopor puisi bebas yang disebutnya prosa polyphonic, tapi tetap konservatif pada inti puitika. Karyanya dibukukan sejak 1910, yang terkenal antara lain A Dome of Many Coloured Glass (1920). Salah satu dari buku puisi itu diterjemahkan oleh Hasan Aspahani, yaitu Malam Bulan Maret (Marc Evening).