Sunday, July 9, 2006

Sepasang Kartu Pos

: Tulus Widjanarko & TS Pinang

DI puncak punggung, hanya jerami segunung, pematang
yang ia ikuti berujung pada jurang, bagai telunjuk hilang.

DUSUN, tertunjuk pada arah yang salah. "Jangan gegabah,
tinggalkan ladang, bila semua malai bakal rebah, Lelaki. Lihatlah,
jari-jariku berdarah. Semusim ini menyiangi gulma. Agar
kita tak lagi-lagi hanya memanen gundah," kata Perempuan.
Seperti sumpah. Aku: bocah menempa tanah, di kolong rumah.

"IBU," kataku pada Perempuan itu, "Kenapa kau larang aku ikut
berburu dengan Lelaki itu? Aku sudah pandai menebang bambu.
Meruncingkannya jadi anak panah. Aku benci layang-layang itu!"

"PERGILAH ke kota!" kata Perempuan itu. Perintah. Atau petuah.

MAKA bila kutebak musim panen tiba, kukirim sepasang kartu pos,
Untuk si Lelaki, kulunasi janji: hewan buruan telah kubuat lumpuh.
Untuk si Perempuan, kuulangi doa: luka jarimu, lekaslah sembuh.