Monday, July 17, 2006

Peti Wasiat dan Wasiat Peti

PULANGLAH segera. Ayah sudah dikuburkan
bersama peti mati kesayangan. Kami menunggumu
supaya kita bisa sama-sama membuka peti wasiat
yang ia wariskan. Bukankah kuncinya kau yang
membawa? Waktu itu kau pura-pura memakainya
sebagai mata kalung. Kau memang saudara kami
yang paling cerdik. Artinya kau memang amat licik.

WAKTU kecil, peti wasiat itu selalu menjadi pusat
perhatian kami: anak-anak yang mencari jati diri.
Tapi sampai kini, tak pernah ada yang pernah
melongok apa isinya. "Kalian semua adalah peti.
Tak usah memikirkan apa isi peti besar ini. Isilah
peti sendiri. Jangan mau hanya jadi peti kosong,"
kata ayah yang mengoleksi berbagai jenis peti.

TAPI dasar anak-anak, semakin dilarang, semakin
asyik kami main tebak-tebakan. Ada yang bilang
peti itu berisi naga kepala tiga: satu kepala selalu
tertawa, kepala kedua tidur saja kerjanya, dan yang
ketiga lapar senantiasa. Konon, naga itu sedang
menunggu tumbuh kepala yang keempat. "Kepala
yang akan tumbuh itu persis seperti kepala kita.
Penuh siasat dan muslihat," kata sahibulhikayat.

ADA juga yang mengira peti itu berisi kerangka
kakek kami. Kabarnya, peti itu dia yang membuat
sendiri menjelang ajal menjemputnya. Tiap malam dia
tidur di dalam peti itu supaya benar-benar pas
dan nyaman ukurannya, bila kelak ia harus berbaring
selamanya di sana. Kakek bangga sekali, ketika
teman-temannya mengagumi keindahan karyanya.
Maka diletakkannya di ruang tengah rumah. "Pada
suatu malam kakek menghilang dengan sebuah amanat,
jangan buka peti, kalau tak mau kualat. Padahal di
dalamnya dia sudah asyik mati sendiri," kata ahli riwayat.

KAKEK kami memang tak ada makamnya. Konon,
sebenarnya dia mati di medan peperangan, waktu zaman
perang melawan belanda. Ada peti kaca di kamarnya,
tempat menyimpan medali penghargaan: bintang gerilya.
Karena itu kami nyaris percaya dongeng peti wasiatnya
yang kalau dibuka akan membuat kami dikutuk kualat.

AKU tak tahu: segera pulang atau terus menggelandang.

KUNCI yang diduga sebagai pembuka peti wasiat, sudah
lama hilang. Setelah jauh pergi, aku tak tertarik lagi
melihat apa sebenarnya isi peti wasiat itu. Aku lebih
tergoda pada wasiat peti: Hidup sesungguhnya cuma
peralihan dari peti ke peti. Dari peti rahim hingga ke peti
mati. "Carilah petimu sendiri, simpanlah kuncimu sendiri.
Jinakkanlah naga di petimu sendiri," kata pemberi nasihat.