Wednesday, May 26, 2004

[Ruang Renung # 78] Penyair Sebagai Pemasang Jerat

-- Sebuah Imajinasi Wawancara --



X = Anda masih menulis puisi juga?

Y = Ya. Kenapa?

X = Kenapa? Saya yang mesti bertanya...

Y = Ya, kenapa tidak?

X = Entah, saya agak bingung melihat puisi Anda lahir seperti tanpa perencanaan....

Y = Ya, memangnya puisi harus lahir dengan perencanaan? Saya memang tidak pernah merencanakan kapan dan bagaimana puisi saya lahir. Kecuali beberapa karya yang disiapkan untuk lomba.

X = Sebenarnya apa yang ingin Anda capai dengan puisi-puisi itu?

Y = Tidak ada. Tetapi kalau puisi itu kelak mencapai sesuatu, ya saya tidak akan pernah bisa menahan.

X = Anda ini penyair atau bukan?

Y = Kalau diandaikan saya ini hidup sebagai pencari kayu di hutan. Sesempatnya ketika berangkat saya memasang jerat menyiapkan perangkap. Jerat dan jebak itu adalah puisi. Saya tidak berharap ada hewan yang kelak terjerat atau terjebak di situ. Kalau pun ada, maka pertama itu adalah takdir bagi sang hewan.



Saya mungkin akan melepaskan kembali mereka. Satu dua ekor saya bawa pulang untuk dijinakkan. Di rumah saya tidak punya kandang. Saya menikmati debar ketika mengutak-atik jerat dan membayangkan ada hewan terperangkap.



Jadi saya ini tetap saja tukang cari kayu. Bukan pemburu, bukan tukang pasang jerat. (bersambung)