Saturday, May 22, 2004

[Ruang Renung # 77] Mengelak Kemampatan

SUATU hari nanti, ketika terus menerus menulis puisi, kita akan kehabisan energi kreatif. Kita akan lumpuh. Kita tidak bisa menulis lagi. Kalau pun kita paksakan, maka puisi yang jadi tidak memuaskan kita. Hambar, atau bahkan kita tidak menganggapnya sebagai puisi. Bagaimana ini?



PERTAMA, luaskan tema. Bila sudah sekian banyak kita menulis puisi, dan kita bersungguh-sungguh menuliskannya, kita mestinya sudah menemukan gaya pengucapan yang khas. Betul? Ya, kalau betul, maka tema apapun yang kita pilih akan ada tercium aroma bahasa kita. Jadi, jangan takut kita akan tersesat dalam tema-tema baru itu. Kalau kita terbiasa menulis tema cinta, dan kita tampak berhasil di situ, tapi kemudian itu membuat kita jenuh, maka sudah saatnya kita menjelajah kepada tema lain yang membuka lebar lengannya.



KEDUA, tulis selain puisi. Apa saja. Menulis toh sama saja. Menuangkan gagasan. Ada memang batasan yang harus ditaati kalau ingin tulisan kita disebut puisi atau bentuk tulisan lain. Tetapi, kalau ternyata batasan itu tiba-tiba membuat kita terjerat, kenapa tidak kita jalan-jalan santai dulu. Melengganglah santai leluasa. Sebelum kita kembali lagi ke jalan yang mengharuskan kita meniti di titian, mengelak jebakan, berlalu pematang, bahkan menghindari ranjau yang membuat kita berdebar-debar ketika melintasinya. Yakinlah, kita akan rindu pada keasyikan menikmat debaran-debaran itu.



KETIGA, belajar lagi. Lupakan bahwa kita pernah menulis puisi. Mulai lagi dari awal. Ini memang rada ngawur-ngawuran. Padahal, kita mestinya memang harus menganggap kita ini sedang belajar apa saja. Termasuk menulis puisi. Jadi belajarlah terus, berkeinginanlah terus untuk menulis puisi lebih baik. Kalau ternyata keinginan untuk lebih baik itu yang membuat kita buntu?



Maka EMPAT, jangan menulis apa-apa. Puisi toh bukan segalanya. Penyair boleh berhenti menyair kapan saja dia mau.[hah]