Tuesday, October 31, 2006

Pada Sebuah Songkok

       SEMUA ini hanya terjadi pada sebuah puisi yang usil. Yaitu ketika ia
meninggal dan ingin dikubur dengan tenang. Maka, kepada saudara-saudaranya
yang masih berstatus prasejahtera ia tinggalkan: Warisan Langsung Tunai.

DI lapangan tempat bekas pemungutan suara,
tinggal bilik yang kosong dengan paku yang masih juga
berlumuran darah, bekas coblosan di gambar wajah.
Harapan itu masih terbaca
: semoga nasib orang banyak dimenangkan juga.

Angin ngadat. Langit pucat.
Si Bungsu datang terlambat.


       BERARTI, ketika itu semua warisan telah terbagi. Kebun karet,
burung-burung betet, kitab mantera penjinak jin, koleksi cerita silat Kho Ping Ho,
saham-saham perusahaan, pun lahan kavling kuburan elit.

SI Bungsu akhirnya hanya kebagian songkok. Sebuah. Masih mulus
dan terbungkus rapi dalam kotak kemasannya. "Saudara? Ini belum
pernah dipakai sama sekali ya?" ia tak sempat bertanya.
Kepada lelaki tua (keriputnya pertanda mestinya
ia sudah pensiun lama) petugas kantor pos yang membagikan
kupon warisan, ia minta alamat almarhum di akhirat.
"Maaf, alamat beliau belum jelas.
Masih dihisaf amal ibadahnya. Belum tuntas"

Si Bungsu akhirnya menerima takdir:
"Barangkali memang di songkok ini
ada terselip benih rezeki."

Barangkali.
Kemiskinannya
bisa ia entaskan sendiri.


       DI akhirat, Sang Almarhum belum bisa lengser dari karir
politiknya. Ia ikut pemilihan umum di sana. Cuma ia terganjal satu syarat:
ia tak tahu nomor songkoknya sendiri. Padahal di formulir ia tak boleh
sembarangan menerakan angka. Ia hanya hafal nomor sepatu, ukuran
kemeja dan celana, ukuran merek kondom favorit, PIN kartu ATM di sebelas
bank, bahkan ia masih ingat nomor masing-masing tujuh belas kartu kreditnya.
"Nomor songkok Anda, Tuan?" tanya malaikat, petugas pendaftaran,
yang tak bisa disogok dengan apapun bentuk rayuan dan godaan.
Tapi ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang usil. Lalu apa
soalnya? Lalu apa masalahnya?

SOALNYA, Si Bungsu yang kebagian warisan songkok
tampak sangat sejahtera ketika memakai songkok itu.
Saat menghadiri prosesi pemakaman
ia bahkan diminta membaca talkin.
Berkat songkoknya, ia disangka ustadz spesialis
pembaca doa pengantar perjalanan ke ruang remang kematian.

MASALAHNYA, sejak pemakaman itu,
ia selalu diminta untuk memimpin penguburan
para tokoh-tokoh penting yang putus kontrak kehidupan.
Alias mati. Dan harus dikembalikan lewat kuburan.

DIA bahkan sudah dipesan agar mempersiapkan
doa khusus bagi seorang tokoh amat penting
yang merasa orang-orang masih
menyimpan seribu alasan
untuk mencintainya. Terus-terusan.

"SONGKOK warisan. Songkok hoki.
Berapakah nomor ukuranmu?
Di kepalaku, kok Engkau pas sekali mencloknya."


       SI Bungsu, kini sudah kaya raya. Ia beli sebidang tanah yang luas
tak terkira. Di sana ia bangun Taman Pemakaman "Pintu Surga". Ia pasang
iklan di televisi dan koran: mau mati dengan nyaman? Jauh-jauh hari Anda bisa
persiapkan. Kami sediakan kavling kuburan, bebas banjir dan penggurusan.
Kematian makin praktis. Memang. Masuk surga, cita-cita luhur itu tampak makin
sederhana dan mudah mencapainya. Di gerbang pemakaman ia pasang peringatan,
ia pasang tanda: SILAKAN MENANGISI SEPUASNYA.

       SI almarhum ingin sekali kembali ke dunia fana. Keabadian itu ternyata
tak lain tak bukan hanya ancaman. Juga siksaan. Ia ingin sekali memakai songkok
yang tak pernah sempat ia pakai. Dan mengintip nomor ukuran yang tertera
di sisi dalamnya.

SEMENTARA, saudara yang
menghabiskan warisan, sibuk berdoa:
"Tuhan, kembalikan dia, agar bisa mewariskan
lagi pada kami harta yang tak terkira."


       SI Bungsu malah tenang-tenang saja. "Hidup atau mati sama saja. Yang hidup
toh pasti mati juga. Untuk itu, untukmu dan untuknya, sudah kusiapkan kavling
khusus dengan harga istimewa. Harga untuk keluarga. Sedikit terjangkit kronisme,
toh tak akan jadi apa-apa."