Saturday, October 25, 2003

[Ruang Renung # 12] Ihwal Membaca Puisi

Apa perlunya membaca puisi karya orang lain? Bisakah kita mengelak pengaruh-pengaruh puisi yang kita baca pada karya kita nantinya? Tidakkah cukup menulis saja, karena tanpa membaca karya orang lain kita juga bisa menghasilkan puisi?



Puisi adalah anak kandung yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara sehat dari orang tua yang bernama budaya tulis. Memang ada bentuk-bentuk syair yang hidup dalam tradisi lisan yang kini tidak bereproduksi lagi bahkan sekarang sekarat. Nyawanya sedang diselamatkan oleh pendokumentasian, dengan kata lain ya budaya tulis juga.



Dokumentasi puisi hanya akan berhenti sebagai dokumentasi jika tidak disebarluaskan. Penyebarluasan juga hanya akan sia-sia jika tidak dibaca. Pembacaan pun akan berhenti sebagai bacaan jika tanpa mengkajinya. Puisi yang baik akan membangkitkan bermacam tafsiran ketika siapapun membacanya. Bagi seorang penulis puisi membaca puisi sendiri atau karya penyair lainnya bisa jadi semacam jalan penyerapan energi bagi kerja kreatifnya sendiri. Jangan takut karya kita akan berada di bawah bayangan puisi karya orang lain. Kedewasaan kita menyair diuji di situ.



Bukankah kata TS Eliot penyair bau kencur meniru, dan yang dewasa mencuri! Jangan terjebak pada tindak peniruan, yang sungguh pantang dalam kerja kreatif apa saja. Kita bisa terilhami oleh karya orang lain. Banyak penyair yang dengan tegas menjelaskan karyanya terbangkit dari karya puisi lain. Saya kita itulah bentuk "pencurian" yang disebut Eliot. Penyair yang "dicuri" tak akan merasa dirugikan, alih-alih bangga karena karyanya telah mengilhami penyair lain. Karena itu jadi pencuri sajalah daripada peniru!



Dewasa dalam menyair selain ditentukan jam terbang, juga oleh pengalaman menjelajahi karya-karya orang lain. Semakin banyak membaca, semakin banyak energi kreatif yang bisa kita kumpulkan. Yang kelak akan mengalir deras, menyala terang di saat kita berlari meneriakkan syair kita sendiri di jalan kreativitas kita sendiri. [ha]