Friday, October 24, 2003

[Ruang Renung # 9] Pisahkan Penyair dan Syairnya

Sutardji? Puisi apa yang dia buat ketika berpeluk-pelukan dengan Djenar di depan hidung para mahasiswa IAIN? Ketika tangan hajinya bersentuhan era-terat dengan kulit mulus terbuka istri pria lain? .... (Buyung Reza, milis penyair@yahoogroups.com)



SUTARDJI yang saya kenal (sedikit sekali pengetahuan saya tentang dia, sangat sedikit) adalah manusia yang tak sempurna. Dan tak hendak "jaim". Dia suka memaki, mencemeeh karya (dan kabarnya) juga pribadi orang lain. Kepada Hamid Jabbar dia pernah bilang. "Puisimu ini kau beri saja assalamualaikum di bait pertama, dan salam lagi di akhirnya. Jadilah dia khotbah. Ha ha ha ha!" Puisi Hamid Jabbar yang ia ledek itu -- saya tidak tahu persis yang mana -- memang bertema religi seperti kebanyakan karyanya.



Saya pernah berbincang dengan Sutardji -- agak lama -- di sebuah kamar hotel di Batam. Saya banyak bertanya soal kepenyairannya, juga soal International Writing Progam di Iowa yang pernah diikutinya dan dia bilang itu tak ada gunanya buat dia, saya juga bertanya apa rasanya menjadi tua, dia jawab tua itu berkurangnya gairah --- juga gairah seks. Tardji yang pernah jadi pemabuk di panggung puisi dan di meja perbualan. Tardji yang menggurukan diri bagi beberapa penulis wanita muda usia. Miang!



Kiranya sikap yang paling bijak adalah memisahkan dia dan karyanya. Kita boleh tidak respek pada banyak sisi pribadinya, dan tidak salah juga kalau tetap saja mengagumi karya-karyanya. Juga terhadap penyair lainnya. Bukanlah Arthur Rimbaud itu seorang homoseksual? Bukankah juga Allen Ginsberg yang melakoni hidup dengan pria? Amy Lowell dan Anne Sexton adalah penyair wanita yang secara terbuka menunjukkan sisi pribadinya yang lesbian. Apakah karena itu kita lantas membenci karyanya?



Soal intelektualitas dan kaitannya dengan kesantunan perilaku bisa jadi soal lain untuk menilai kadar moral seseorang. Kualitas karya adalah soal yang lain jurusannya.[ha]