Akulah pelukis, penggubah gambar-gambar;
Setiap waktu, bentuk-bentuk indah kulakar,
Lalu tersebab hadirmu, semua kelebur kubiar.
Kuseru beratus khayal, lalu kuhidupi dengan jiwa,
Ketika tersentuh engkau, kubakar pada api bara.
Kau sahabat penuang piala? Para saudagar anggur?
Ataukah musuh bagi mereka yang tenang datar?
Setiap rumah kubangun, engkaukah si penghancur?
Padamu jiwa menyatu, denganmu jiwa erat membaur.
Wahai, kuhargai jiwa, sebab wewangianmu telah kupunya.
Padaku mengalir darah, pada debumu tetesnya bertanya:
'Aku sewarna dengan cintamu, pasangan kekasih jiwa.'
Di rumah: air dan tanah, tanpamu hati terkurung terbiar.
Wahai, kekasih, masuklah, atau kutinggal saja terlantar.
Dari Divan-e Shams, syair ke-34, Jalaluddin Rumi
* judul dari HA
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Saturday, September 27, 2003
Friday, September 26, 2003
Dari Masam dan Pahit, Menuju Manis Rasa
Andai pohon itu dapat berlari dan terbang mengepak
Ia tak menanggung sakit tersebab gergaji dan kapak
Andai sayap dan kaki matahari tak mengitari malam,
Apa yang menyinari dunia di pagi yang pasanga dalam?
Andai laut tidak menguapkan asin airnya ke langit,
Bisakah hujan dan sungai memacu kebun tumbuh bangkit?
Ketika setetes meninggalkan rumah lalu kembali pulang,
Ia menjadi mutiara setelah menemukan nyaman cangkang.
Bukankah Yusuf bertolak tinggalkan Bapanya bertangisan?
Bukankah ia menjemput keberuntungan, kerajaan, kemenangan?
Bukankah Muhammad berhijrah ke kota Madinah,
Menyebar kedaulatan dan ajaran ke ratusan wilayah?
Meskipun engkau tak berkaki, bertualanglah ke dalam diri,
Bagai tambang permata rubi, menerima jejak dari matahari
Mengembaralah O, tuan, dari luar diri, ke diri sendiri
Penjelajahan itu: bumi menjadi tambang emas murni.
Dari masam dan pahitnya, menuju pada manis rasa
Dari tanah yang asin, ribuan buah semi berbunga.
Pada Matahari, pangeran Tabriz, menggenggam keajaiban,
Pada setiap pohon, dari matahari terpetik kejelitaan.
Divani Shams KE-27 Jalaluddin Rumi
* Judul dari HA
Ia tak menanggung sakit tersebab gergaji dan kapak
Andai sayap dan kaki matahari tak mengitari malam,
Apa yang menyinari dunia di pagi yang pasanga dalam?
Andai laut tidak menguapkan asin airnya ke langit,
Bisakah hujan dan sungai memacu kebun tumbuh bangkit?
Ketika setetes meninggalkan rumah lalu kembali pulang,
Ia menjadi mutiara setelah menemukan nyaman cangkang.
Bukankah Yusuf bertolak tinggalkan Bapanya bertangisan?
Bukankah ia menjemput keberuntungan, kerajaan, kemenangan?
Bukankah Muhammad berhijrah ke kota Madinah,
Menyebar kedaulatan dan ajaran ke ratusan wilayah?
Meskipun engkau tak berkaki, bertualanglah ke dalam diri,
Bagai tambang permata rubi, menerima jejak dari matahari
Mengembaralah O, tuan, dari luar diri, ke diri sendiri
Penjelajahan itu: bumi menjadi tambang emas murni.
Dari masam dan pahitnya, menuju pada manis rasa
Dari tanah yang asin, ribuan buah semi berbunga.
Pada Matahari, pangeran Tabriz, menggenggam keajaiban,
Pada setiap pohon, dari matahari terpetik kejelitaan.
Divani Shams KE-27 Jalaluddin Rumi
* Judul dari HA
Wednesday, September 24, 2003
Bernaung di Teduh Bayang Payung Kembang*
Ada suatu malam, yang membuka pikir, jatuh aku tak sadar
Mereka katatan seiris sabit, bagiku purnama terang berpendar
Ada suatu malam, ketika kekasih mengada di tengah kita
Malam bagai seratus siang yang membuka terangnya.
Di sekitar kita, hukum kausalitas pun mandul, rusak
Ketika kau sebut rindu pada sang Kausa Pertama,
Kemelaratan si penadah sedekah tak hendak mengelak
Kesukaran mereka, disusurinya dengan bangganya
Di dunia ini tercapai puncak kebangkatan kita
hingga pikiran lain dan Hari Kiamat melindap
Menetap dalam berkah Tuhan yang tak sudah-sudah
Anugerah yang hendak ditolak semua makhluk lainnya.
Semesta dunia menyerupa Sham-e Tabriz
Bernaung di bawah bayang teduh payung kembang.
(Divan-e Sham, syair ke-24 , Jalaluddin Rumi)
* Judul dari HA
Mereka katatan seiris sabit, bagiku purnama terang berpendar
Ada suatu malam, ketika kekasih mengada di tengah kita
Malam bagai seratus siang yang membuka terangnya.
Di sekitar kita, hukum kausalitas pun mandul, rusak
Ketika kau sebut rindu pada sang Kausa Pertama,
Kemelaratan si penadah sedekah tak hendak mengelak
Kesukaran mereka, disusurinya dengan bangganya
Di dunia ini tercapai puncak kebangkatan kita
hingga pikiran lain dan Hari Kiamat melindap
Menetap dalam berkah Tuhan yang tak sudah-sudah
Anugerah yang hendak ditolak semua makhluk lainnya.
Semesta dunia menyerupa Sham-e Tabriz
Bernaung di bawah bayang teduh payung kembang.
(Divan-e Sham, syair ke-24 , Jalaluddin Rumi)
* Judul dari HA
Monday, September 22, 2003
Rapatkan Mulut Seperti Penyelam di Laut*
Kau pejam mata menandai saat tak lagi jaga
Itu lelap? Bukan, itu saat musuhmu waspada.
Kau tahu yang di pelupuk kami tak mengawasinya
Masih bergesa mata, mabuk, alangkah, dalamnya.
Perlakuanmu keliru, tapi itu yang pasrah kuterima
Kesalahanmu, seperti berkah Tuhan, kusambut gembira.
Banyak kepala tertunduk, ketika pandang bertepuk
Tersayat oleh tajam, tetes-tetes air, kau pun takluk .
Duh, dua mataku badai lautan darah
Dunia-dunia terhancur dalam amuk bah.
Kadang darah kehausan, pesan tuhan terkabar
Ada penuang piala, anggur, semerah darah segar.
Anggur dan penuang piala? Jejak Tuhan jua.
Tuhan hanya tahu, cintaku ini bermakna apa.
Di dapur hati, anggur dan santap kita nikmati
Lalu seluruh kota mengendusi isyarat wangi.
Rapatkan mulutmu seperti penyelam di laut
Hanya di dalam air, hidup ikan berlanjut.
Dari Divani E-Sham, Jalaluddin Rumi.
* Judul dari HA.
Itu lelap? Bukan, itu saat musuhmu waspada.
Kau tahu yang di pelupuk kami tak mengawasinya
Masih bergesa mata, mabuk, alangkah, dalamnya.
Perlakuanmu keliru, tapi itu yang pasrah kuterima
Kesalahanmu, seperti berkah Tuhan, kusambut gembira.
Banyak kepala tertunduk, ketika pandang bertepuk
Tersayat oleh tajam, tetes-tetes air, kau pun takluk .
Duh, dua mataku badai lautan darah
Dunia-dunia terhancur dalam amuk bah.
Kadang darah kehausan, pesan tuhan terkabar
Ada penuang piala, anggur, semerah darah segar.
Anggur dan penuang piala? Jejak Tuhan jua.
Tuhan hanya tahu, cintaku ini bermakna apa.
Di dapur hati, anggur dan santap kita nikmati
Lalu seluruh kota mengendusi isyarat wangi.
Rapatkan mulutmu seperti penyelam di laut
Hanya di dalam air, hidup ikan berlanjut.
Dari Divani E-Sham, Jalaluddin Rumi.
* Judul dari HA.
Sunday, September 21, 2003
Bisikan Kekasih
Kekasih berbisik ke telingaku,
"Menjadi mangsa lebih baik daripada seorang pemburu.
Jadikanlah dirimu hambaku.
Jangan lagi mencoba menjadi matahari, jadilah senoktah noda saja!
Tinggallah di Pintuku dan pergi jauh dari rumah.
Jangan menyaru jadi sebatang lilin,
maka kau akan mengecap nikmatnya Kehidupan
dan menemu kekuatan tersembunyi di balik penghambaan."
Jalaluddin Rumi, Matsnawi V. 411-414
"Menjadi mangsa lebih baik daripada seorang pemburu.
Jadikanlah dirimu hambaku.
Jangan lagi mencoba menjadi matahari, jadilah senoktah noda saja!
Tinggallah di Pintuku dan pergi jauh dari rumah.
Jangan menyaru jadi sebatang lilin,
maka kau akan mengecap nikmatnya Kehidupan
dan menemu kekuatan tersembunyi di balik penghambaan."
Jalaluddin Rumi, Matsnawi V. 411-414
Thursday, September 18, 2003
Aku Malu Sama Iklan, Tuhan
aku sudah kunyah
remote control
tak juga muntah
dia: televisi tolol
aku takut pulang
di rumah ada siaran ulang
pemakaman nabi-nabi
televisi tak mati-mati
aku tak berani
nonton diri sendiri
aku malu sama iklan, Tuhan
sep2003
remote control
tak juga muntah
dia: televisi tolol
aku takut pulang
di rumah ada siaran ulang
pemakaman nabi-nabi
televisi tak mati-mati
aku tak berani
nonton diri sendiri
aku malu sama iklan, Tuhan
sep2003
Monday, September 15, 2003
Bla Bla Bla Suatu Pagi
di selokan yang sering mampat dan kotor itu ada bungkus deterjen yang suka nyangkut dan menyumbat air yang selalu ingin bergegas lewat dan ada buih yang sepertinya pernah mengenal bungkus deterjen itu yang terapung di atas air kotor yang hangatnya belum berubah banyak setelah membilas pakaian di dalam mesin cuci di rumah tepat di ujung blok perumahan sebelum selokan ini patah berbelok menuju sungai menjemput laut lepas membakakan kesementaraan
di selokan yang sering mampat dan kotor itu ada lelaki yang selalu lewat tergesa-gesa setiap pagi, dengan baju terseterika rapi dan beraroma wangi dan ia tak sempat melihat bungkus deterjen yang nyangkut dan menghalangi sisa-sisa buih yang menduga pernah begitu dekat dengan bungkus deterjen itu dan hanya ada pantulan bayangan sekilas ketika lelaki itu berbelok tepat di ujung blok perumahan lalu menuju pangkalan taksi menunggu jemputan dan entah kesementaraan apa yang hendak dibakakannya
Sep 2003
di selokan yang sering mampat dan kotor itu ada lelaki yang selalu lewat tergesa-gesa setiap pagi, dengan baju terseterika rapi dan beraroma wangi dan ia tak sempat melihat bungkus deterjen yang nyangkut dan menghalangi sisa-sisa buih yang menduga pernah begitu dekat dengan bungkus deterjen itu dan hanya ada pantulan bayangan sekilas ketika lelaki itu berbelok tepat di ujung blok perumahan lalu menuju pangkalan taksi menunggu jemputan dan entah kesementaraan apa yang hendak dibakakannya
Sep 2003
Sunday, September 14, 2003
Sajak September
tinggal hitam
pada kalender
angka menjebak
tak tertebak
tanggal redam
hari-hari
melupakan
nama diri
nama sendiri
sep 2003
pada kalender
angka menjebak
tak tertebak
tanggal redam
hari-hari
melupakan
nama diri
nama sendiri
sep 2003
Demam yang Sentimentil
INI demam yang sentimentil
39 derajat celcius pada termometer
radang pada tenggorokan
sekantong puyer antibiotik
sirup penurun panas, 15 mililiter sebotol kecil
beri dulu bubur encer
dongeng televisi:
obat bermerek yang khasiatnya sakti
INI demam yang sentimentil
MANDI air rendaman lalambai
sepanjang siang dilapai salawat,
daun raja bangun
demam ditamba, ditawar air kelapa muda
telur rebus ayam dara
susu encer cap bendera
di luar hujan kesepian tak ada kawan
belibis di rawa, sejinak udara
terbiar tempia terbuka jendela
dongeng hantu barbiaban di pohon kariwaya
INI demam yang sentimentil
Sep 2003
39 derajat celcius pada termometer
radang pada tenggorokan
sekantong puyer antibiotik
sirup penurun panas, 15 mililiter sebotol kecil
beri dulu bubur encer
dongeng televisi:
obat bermerek yang khasiatnya sakti
INI demam yang sentimentil
MANDI air rendaman lalambai
sepanjang siang dilapai salawat,
daun raja bangun
demam ditamba, ditawar air kelapa muda
telur rebus ayam dara
susu encer cap bendera
di luar hujan kesepian tak ada kawan
belibis di rawa, sejinak udara
terbiar tempia terbuka jendela
dongeng hantu barbiaban di pohon kariwaya
INI demam yang sentimentil
Sep 2003
Wednesday, September 10, 2003
Son
Sajak Anggoro Saronto
: Hasan Aspahani and his son
Cerlang mata, matahari yang didulang semenjak pagi. Ombak yang menepi
pada pinggiran dahi. Lengkung pelangi berselancar pada lengkung alis.
Nyiur menitipkan kesiur angin pada hembus halus nafas. Ada dunia
dalam mungil dada
transparan hingga kita bisa berkaca masa yang pernah terlewati. Ruang
polos sedemikian los tanpa sekat prasangka. Sebuah buku kosong
menanti untuk diwarnai. Jemari asam dan tua memegang kuas. Cat warna
berjajar memias seperti kertas menanti dipulas. Sapuan tipis warna
dasar adalah tuntunan menggambar dunia
gedung hijau, gunung kuning, pohon jingga. Betapa imaji kanak-kanak
menuntun jemari. Jemari tua sesamar bayang pada pohon jingga. Tak
kentara, tapi selalu ada. Dalam setiap goresan akan selalu tercantum
nama pengukir jiwa. Setiap arsir daun adalah desir keinginan. Menjadi
cemerlang sebuah lukisan masa mendatang.
Muria Ujung, Agustus 2003
: Hasan Aspahani and his son
Cerlang mata, matahari yang didulang semenjak pagi. Ombak yang menepi
pada pinggiran dahi. Lengkung pelangi berselancar pada lengkung alis.
Nyiur menitipkan kesiur angin pada hembus halus nafas. Ada dunia
dalam mungil dada
transparan hingga kita bisa berkaca masa yang pernah terlewati. Ruang
polos sedemikian los tanpa sekat prasangka. Sebuah buku kosong
menanti untuk diwarnai. Jemari asam dan tua memegang kuas. Cat warna
berjajar memias seperti kertas menanti dipulas. Sapuan tipis warna
dasar adalah tuntunan menggambar dunia
gedung hijau, gunung kuning, pohon jingga. Betapa imaji kanak-kanak
menuntun jemari. Jemari tua sesamar bayang pada pohon jingga. Tak
kentara, tapi selalu ada. Dalam setiap goresan akan selalu tercantum
nama pengukir jiwa. Setiap arsir daun adalah desir keinginan. Menjadi
cemerlang sebuah lukisan masa mendatang.
Muria Ujung, Agustus 2003
Tuesday, September 9, 2003
Ode Bagi Pengamatan Burung
Sekarang
mari kita mencari burung!
di kukuh cabang-cabang tinggi
di hutan ini,
Lapisan subur humus
di hampar dasar,
alam yang
basah.
Setetes embunkah setetes hujankah
cemerlang, menetes jatuh,
kerlap bintang memencil kecil
di sela daun-daun.
Tatkala hari pagi.
Bunda bumi
sejuk sekali.
Udara
seperti alir sungai
yang menyentak
sepi.
Ada aroma rosemary
di lapang udara
di lengang akar.
Di atas kepala,
lagu yang luar biasa.
Burungkah ia?
Alangkah
nyaring bunyi, meski
ronggak suara itu tak
selebih lebar jari.
Akankah ada luruh air
dari nyanyinya itu?
Betapa terang, betapa girang!
Tak kasat mata
bertenaga
menderas
mengalun musik
pada helai-helai daun.
Percakapan sakral!
Terbasuh bersih, terpugar segar.
Hari ini
pun menggema suara
seperti alun nada dulcimer* hijau.
Kukubur saja
sepatuku
di lekat lumpur
lalu melompati anak-anak sungai.
Ada duri
menusukku dan sesentak
hembus angin bagai
gelombang kristal
membuncah di dadaku.
Lalu, dimanakah
agaknya ia burung-burung itu?
Mungkun ia yang mendesau
di daun-daun?
Ataukah ia butir beludru coklat
yang turun beriring?
Ataukah wewangian
yang tak tergantikan? Daun itu
yang merelakan pergi aroma cinnamon
--- diakah burung itu? Debu itu
yang terlepas dari magnolia
atau buah itu
yang jatuh bergedebam ---
Apakah itu suara kepaka kibas sayap?
Oh, hewan-hewan mungil yang tak
tampak
burung-burung iblis
dengan denging nyaringnya
dengan bulu-bulu tak terpakai
Aku hanya ingin
memeluk mengelusnya!
Menyaksikannya megah berseri
Aku tak ingin melihat di balik kacamata
cahaya yang telah terawetkan.
Aku ingin melihat mereka hidup.
Aku ingin menyentuh bulu-buu
yang nyata tersembunyi,
yang tak kan pernah mereka lupakan
di cabang-cabang
dan berbincang dengan
mereka
hinggap duduk di bahuku
meskipun mereka terbang lagi
meninggalkanku bagai patung
yang tak semestinya terbalur pucat.
Mustahil
Engkau tak kan bisa menyentuh.
Engkau bisa mendengar mereka
seperti hinga, seperti gerak
yang memukai riang.
Mereka bercakap akrab
dengan ucap yang tertakar
mereka mengulang
apa yang mereka pandang.
Mereka membualkan
sebanyak apa yang bisa dilakukan.
Mereka menanggapi
pada apa saja yang ada.
Mereka telah mempelajari
ilmu yang terpasti
seperti hidrografi.
Dan dengan pengetahuan itu
mereka tahu
di manakah gerangan ladang
padi yang tengah matang.
---- dari sajak Ode to Bird Watching terjemahan Jodey Bateman dari sajak Pablo Neruda.
* a stringed instrument of trapezoidal shape played with light hammers held in the hands. (Merrriam-Webster Dictionary)
mari kita mencari burung!
di kukuh cabang-cabang tinggi
di hutan ini,
Lapisan subur humus
di hampar dasar,
alam yang
basah.
Setetes embunkah setetes hujankah
cemerlang, menetes jatuh,
kerlap bintang memencil kecil
di sela daun-daun.
Tatkala hari pagi.
Bunda bumi
sejuk sekali.
Udara
seperti alir sungai
yang menyentak
sepi.
Ada aroma rosemary
di lapang udara
di lengang akar.
Di atas kepala,
lagu yang luar biasa.
Burungkah ia?
Alangkah
nyaring bunyi, meski
ronggak suara itu tak
selebih lebar jari.
Akankah ada luruh air
dari nyanyinya itu?
Betapa terang, betapa girang!
Tak kasat mata
bertenaga
menderas
mengalun musik
pada helai-helai daun.
Percakapan sakral!
Terbasuh bersih, terpugar segar.
Hari ini
pun menggema suara
seperti alun nada dulcimer* hijau.
Kukubur saja
sepatuku
di lekat lumpur
lalu melompati anak-anak sungai.
Ada duri
menusukku dan sesentak
hembus angin bagai
gelombang kristal
membuncah di dadaku.
Lalu, dimanakah
agaknya ia burung-burung itu?
Mungkun ia yang mendesau
di daun-daun?
Ataukah ia butir beludru coklat
yang turun beriring?
Ataukah wewangian
yang tak tergantikan? Daun itu
yang merelakan pergi aroma cinnamon
--- diakah burung itu? Debu itu
yang terlepas dari magnolia
atau buah itu
yang jatuh bergedebam ---
Apakah itu suara kepaka kibas sayap?
Oh, hewan-hewan mungil yang tak
tampak
burung-burung iblis
dengan denging nyaringnya
dengan bulu-bulu tak terpakai
Aku hanya ingin
memeluk mengelusnya!
Menyaksikannya megah berseri
Aku tak ingin melihat di balik kacamata
cahaya yang telah terawetkan.
Aku ingin melihat mereka hidup.
Aku ingin menyentuh bulu-buu
yang nyata tersembunyi,
yang tak kan pernah mereka lupakan
di cabang-cabang
dan berbincang dengan
mereka
hinggap duduk di bahuku
meskipun mereka terbang lagi
meninggalkanku bagai patung
yang tak semestinya terbalur pucat.
Mustahil
Engkau tak kan bisa menyentuh.
Engkau bisa mendengar mereka
seperti hinga, seperti gerak
yang memukai riang.
Mereka bercakap akrab
dengan ucap yang tertakar
mereka mengulang
apa yang mereka pandang.
Mereka membualkan
sebanyak apa yang bisa dilakukan.
Mereka menanggapi
pada apa saja yang ada.
Mereka telah mempelajari
ilmu yang terpasti
seperti hidrografi.
Dan dengan pengetahuan itu
mereka tahu
di manakah gerangan ladang
padi yang tengah matang.
---- dari sajak Ode to Bird Watching terjemahan Jodey Bateman dari sajak Pablo Neruda.
* a stringed instrument of trapezoidal shape played with light hammers held in the hands. (Merrriam-Webster Dictionary)
Yang Satu dan Yang Serupa
Ruang
       Ruang
Tak ada tengah, tak ada atas, tak ada bawah
Tak henti memusnah, lalu mencipta diri, sendiri
Ruang pusaran arus
       dan menetes jatuh ke tinggi puncak
Ruang
       Bening yang terkerat teramat curam
Tertangguhkan
       oleh sayap malam
Taman-taman hitam kristal batu pejal
Berbunga pada setangkai kabut kental
Taman-taman putih meledak marak di udara
Ruang
       sebuah ruang membuka
Mahkota bunga
       dan melarutkan
           ruang pada ruang
Semua entah, entah dimana entah kemana
Istana bagi ritual persuntingan tak ternalarkan.
-- dari sajak One and The Same, versi Inggris dari sajak Octavio Paz Lo Identico terjemahan Anton Webern.
       Ruang
Tak ada tengah, tak ada atas, tak ada bawah
Tak henti memusnah, lalu mencipta diri, sendiri
Ruang pusaran arus
       dan menetes jatuh ke tinggi puncak
Ruang
       Bening yang terkerat teramat curam
Tertangguhkan
       oleh sayap malam
Taman-taman hitam kristal batu pejal
Berbunga pada setangkai kabut kental
Taman-taman putih meledak marak di udara
Ruang
       sebuah ruang membuka
Mahkota bunga
       dan melarutkan
           ruang pada ruang
Semua entah, entah dimana entah kemana
Istana bagi ritual persuntingan tak ternalarkan.
-- dari sajak One and The Same, versi Inggris dari sajak Octavio Paz Lo Identico terjemahan Anton Webern.
Kelak Semua Orang Membaca Puisi Ini
karena telah kusimak dan kutuliskan
kata yang selalu rapat terahasiakan
sebelum jerit pertama tangis kelahiran
karena telah kuingat dan kucatatkan
kata yang selalu tak sempat tersebutkan
setelah hembus terakhir nafas kematian
sep2003
kata yang selalu rapat terahasiakan
sebelum jerit pertama tangis kelahiran
karena telah kuingat dan kucatatkan
kata yang selalu tak sempat tersebutkan
setelah hembus terakhir nafas kematian
sep2003
Monday, September 8, 2003
Tentang Seorang Tukang Pos Tua
TINGGAL sepucuk surat. Setelah kantong terpal
     tebal itu kosong dijemput alamat alamat.
     Tukang pos tua terus saja mengayuh pedal
     sepeda, sampai seseorang membubuhkan
     tanda tangan pada tanda terima. Ini surat
     tercatat. Seperti berabad lama. Tukang pos
     itu tak ingin merasa tua. Umurnya tak dicatat.
TINGGAL sepucuk surat. Dengan nama dan
     alamat yang seperti sangat dikenalnya. Dia
     sedang menuju kesana. Mengantarkan surat
     satu-satunya yang masih tersisa. Pasti si
     peneriman surat ini sedang menunggu di sana -
     begitulah selalu ada kalimat itu. Menyemangatinya.
     Meskipun kadang-kadang ada yang tak kurang
     bertata krama memaki makinya karena kiriman
     yang terlambat tiba. Kok belum diantar? Ini kan
     surat sangat kilat? Kok paketnya rusak? Bapak
     yang membukanya ya? Kok prangkonya dicopot?
     Ah begitu banyak kok yang membuatnya semakin tua.
     Siksa usia yang terus dilawannya.
TINGGAL sepucuk surat. Begitu ingin dia membukanya.
     Tapi itu tentus aja tidak akan pernah diperbuatnya.
     Melanggar kode etik profesinya. Melanggar sumpah.
     Hingga dia tua, dia sangat mencintai pekerjaan itu.
     Pengantar surat adalah pekerjaan sangat mulia.
     Dia muliakan dirinya dengan menjadi pengantar
     surat terbaik di kota ini. Ia bekejra 24 jam sehari
     semalam. Ia mengantar surat ke alamat alamat
     yang paling sulit dicapai pelayanan pos negeri ini.
     Tanpa tropi tanpa medali tanpa sertifikat penghargaan.
     Ia baktikan seluruh hidupnya sampai tua usianya.
TINGGAL sepucuk surat. Dan dia tiba-tiba teringat
     satu-satunya surat yang pernah ia terima. Surat
     panggilan kerja dari jawatan pos. Satu-satunya
     surat yang masih terlipat rapi di dompetnya. Tersimpan
     bersama kartu pengenal pegawai pos yang sangat
     dibanggakannya.
TINGGAL satu-satunya surat. Dengan nama dan alamat
     yang sangat dikenalnya. Sepertinya. Sepertinya. Dia sangat
     mengenal selok belok pelosok gang pojok kota ini. Seperti
     pernah diantarnya sepucuk surat ke alamat ini dulu. Tapi
     dia tak lagi percaya pada ingatannya yang tua. Tapi dia tak
     ingin menodai bertahun-tahun pengabdiannya dengan
     kesalahan karena tak berhasil mengantar satu-satunya
     yang saat itu tersisa.
sep 2003
     tebal itu kosong dijemput alamat alamat.
     Tukang pos tua terus saja mengayuh pedal
     sepeda, sampai seseorang membubuhkan
     tanda tangan pada tanda terima. Ini surat
     tercatat. Seperti berabad lama. Tukang pos
     itu tak ingin merasa tua. Umurnya tak dicatat.
TINGGAL sepucuk surat. Dengan nama dan
     alamat yang seperti sangat dikenalnya. Dia
     sedang menuju kesana. Mengantarkan surat
     satu-satunya yang masih tersisa. Pasti si
     peneriman surat ini sedang menunggu di sana -
     begitulah selalu ada kalimat itu. Menyemangatinya.
     Meskipun kadang-kadang ada yang tak kurang
     bertata krama memaki makinya karena kiriman
     yang terlambat tiba. Kok belum diantar? Ini kan
     surat sangat kilat? Kok paketnya rusak? Bapak
     yang membukanya ya? Kok prangkonya dicopot?
     Ah begitu banyak kok yang membuatnya semakin tua.
     Siksa usia yang terus dilawannya.
TINGGAL sepucuk surat. Begitu ingin dia membukanya.
     Tapi itu tentus aja tidak akan pernah diperbuatnya.
     Melanggar kode etik profesinya. Melanggar sumpah.
     Hingga dia tua, dia sangat mencintai pekerjaan itu.
     Pengantar surat adalah pekerjaan sangat mulia.
     Dia muliakan dirinya dengan menjadi pengantar
     surat terbaik di kota ini. Ia bekejra 24 jam sehari
     semalam. Ia mengantar surat ke alamat alamat
     yang paling sulit dicapai pelayanan pos negeri ini.
     Tanpa tropi tanpa medali tanpa sertifikat penghargaan.
     Ia baktikan seluruh hidupnya sampai tua usianya.
TINGGAL sepucuk surat. Dan dia tiba-tiba teringat
     satu-satunya surat yang pernah ia terima. Surat
     panggilan kerja dari jawatan pos. Satu-satunya
     surat yang masih terlipat rapi di dompetnya. Tersimpan
     bersama kartu pengenal pegawai pos yang sangat
     dibanggakannya.
TINGGAL satu-satunya surat. Dengan nama dan alamat
     yang sangat dikenalnya. Sepertinya. Sepertinya. Dia sangat
     mengenal selok belok pelosok gang pojok kota ini. Seperti
     pernah diantarnya sepucuk surat ke alamat ini dulu. Tapi
     dia tak lagi percaya pada ingatannya yang tua. Tapi dia tak
     ingin menodai bertahun-tahun pengabdiannya dengan
     kesalahan karena tak berhasil mengantar satu-satunya
     yang saat itu tersisa.
sep 2003
Tiga Bait Kosong
/1/
bait bait kosong
sunyi panjang melolong
menyeru engkau aku
mengelak hendak tak hendak
menolak tiga talak:
    puisi telah mengikat akad,
    kita telah pun diperistri tekad.
/2/
selalu ada
bait bait kosong
sekosong subuh rongga dada
    minta diisi kata
    minta ditulisi tanda.
/3/
bait kosong
sekantong sekantong
kau aku terperangkap
di dalam dalamnya
menunggu datang kata
    yang dikata
    ujung pena.
sep2003
bait bait kosong
sunyi panjang melolong
menyeru engkau aku
mengelak hendak tak hendak
menolak tiga talak:
    puisi telah mengikat akad,
    kita telah pun diperistri tekad.
/2/
selalu ada
bait bait kosong
sekosong subuh rongga dada
    minta diisi kata
    minta ditulisi tanda.
/3/
bait kosong
sekantong sekantong
kau aku terperangkap
di dalam dalamnya
menunggu datang kata
    yang dikata
    ujung pena.
sep2003
Saturday, September 6, 2003
Thursday, September 4, 2003
Kapan Kau Padamkan Tungku di Tungkai Kakimu?
sajak SRF*
setelah bait piano
dalam layar wayang pagi
kabut susut
dan embun berpecahan
di kusut serai
matamata mati
bilah rusuk yang rusak
akhirnya kau pergi
: memburu matahari
seperti tamu-tamu lainnya jua,
ternyata, yang datang ke mari,
ke rumah puisi
kau singgah hanya untuk merokok
sambil berolok-olok
lalu tiba-tiba merasa
dipojokkan oleh luka;
coklat tua
padahal belum
terangkum dendammu semalam,
tak terangkum,
di antara surup huruf,
lukakata,
dan kalap kalam
tapi barik-barik musik itu
akan segera usai,
dari mana barak sangsai
menyusun jeruji
''ya mahaspahani,
kapan kau padamkan tungku
di tungkai kakimu!''
* pemenggalan bait dan judul dari HA.
setelah bait piano
dalam layar wayang pagi
kabut susut
dan embun berpecahan
di kusut serai
matamata mati
bilah rusuk yang rusak
akhirnya kau pergi
: memburu matahari
seperti tamu-tamu lainnya jua,
ternyata, yang datang ke mari,
ke rumah puisi
kau singgah hanya untuk merokok
sambil berolok-olok
lalu tiba-tiba merasa
dipojokkan oleh luka;
coklat tua
padahal belum
terangkum dendammu semalam,
tak terangkum,
di antara surup huruf,
lukakata,
dan kalap kalam
tapi barik-barik musik itu
akan segera usai,
dari mana barak sangsai
menyusun jeruji
''ya mahaspahani,
kapan kau padamkan tungku
di tungkai kakimu!''
* pemenggalan bait dan judul dari HA.
Tuesday, September 2, 2003
Catatan Seorang Pembuat Komik
SUDAH kuduga dia: tokoh komik yang baru saja
     terbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangat
     mengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!
     Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang
     terakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingat
     pesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3.
SIA-SIA bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah
     terkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.
     AKu pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja
     yang selalu didekap dada - kadang di kepala. Ada
     skenario gambar-gambar, narasi adegan, teks, dan
     balon-balon ucapan yang belum digelembungkan.
     "Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkau
     sebenarnya hendak merantau kemana?" Siapa yang
     berkata? Rasanya aku tak pernah menuliskan
     kalimat yang diterbangkan tokoh komik itu.
AKU ternyata telah lama kehilangan rumah, karena
     telalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan,
     juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari
     arsip, rancangan sampul. "Masih ingat? Di toko
     alat tulis mana terakhir kali engkau singgah?" Ah,
     sudah lama aku tidak belanja. Terakhir kali aku lupa
     membeli karet penghapus. Aku tidak detil dengan
     urusan kenangan dan daftar belanja.
MASIH juga, ada yang terus mengikuti langkahku.
     Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkah
     melawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakan
     lampu di atas meja gambar. Pasti dia juga yang
     membuat makam sendiri pada kertas-kertas yang
     terbakar, eh ada batu nisan yang minta diberi
     nama dan tanggal kematian. "Namamu sendiri,
     Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?"
Sep2003
     terbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangat
     mengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!
     Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang
     terakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingat
     pesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3.
SIA-SIA bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah
     terkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.
     AKu pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja
     yang selalu didekap dada - kadang di kepala. Ada
     skenario gambar-gambar, narasi adegan, teks, dan
     balon-balon ucapan yang belum digelembungkan.
     "Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkau
     sebenarnya hendak merantau kemana?" Siapa yang
     berkata? Rasanya aku tak pernah menuliskan
     kalimat yang diterbangkan tokoh komik itu.
AKU ternyata telah lama kehilangan rumah, karena
     telalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan,
     juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari
     arsip, rancangan sampul. "Masih ingat? Di toko
     alat tulis mana terakhir kali engkau singgah?" Ah,
     sudah lama aku tidak belanja. Terakhir kali aku lupa
     membeli karet penghapus. Aku tidak detil dengan
     urusan kenangan dan daftar belanja.
MASIH juga, ada yang terus mengikuti langkahku.
     Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkah
     melawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakan
     lampu di atas meja gambar. Pasti dia juga yang
     membuat makam sendiri pada kertas-kertas yang
     terbakar, eh ada batu nisan yang minta diberi
     nama dan tanggal kematian. "Namamu sendiri,
     Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?"
Sep2003
Entah Kenapa Aku Tiba-tiba Ingin Menulis Puisi dan Marah-marah
Sajak Ramon Domora
          aku mencari situsku
          yang hilang di sini
          atau seseorang yang
          menantang untuk
          saling melupakan?
aku menunggumu
dalam tangis
anjing yang panjang
di matanya,
bulan warna perunggu
sebelum kabut buta
dikutuk ranjing ranjang
di beranda ini,
rindu adalah hantu
yang minta diantar pulang
dan rabu membiru
pada rak sepatu
menyusun sepi
sepasang-sepasang
          aku mencari situsku
          yang hilang di sini
          atau seseorang yang
          menantang untuk
          saling melupakan?
aku menunggumu
dalam tangis
anjing yang panjang
di matanya,
bulan warna perunggu
sebelum kabut buta
dikutuk ranjing ranjang
di beranda ini,
rindu adalah hantu
yang minta diantar pulang
dan rabu membiru
pada rak sepatu
menyusun sepi
sepasang-sepasang
Aku Merindukannya Lagi
Sajak Nanang Suryadi
asan,
udah dengar puisi
telah mati?
tubuhnya diusung
diarak sepanjang
jalan kota
dikabarkan
pamflet gelap
sebelum diperabukan
dengan upacara dengan
tarian yang tak pernah
kau lihat sebelumnya
abu puisi ditebar
di atas awan
di saat senja
di saat angin lirih menyapa
di saat gerimis
di saat kau ingin
menulis puisi
mungkin tardji
akan mengacungkan
kapaknya saat itu
sambil menzikirkan
: kalian pun,
kalian pun
dan aku?
mungkin mulai
merindukannya
lagi...
asan,
udah dengar puisi
telah mati?
tubuhnya diusung
diarak sepanjang
jalan kota
dikabarkan
pamflet gelap
sebelum diperabukan
dengan upacara dengan
tarian yang tak pernah
kau lihat sebelumnya
abu puisi ditebar
di atas awan
di saat senja
di saat angin lirih menyapa
di saat gerimis
di saat kau ingin
menulis puisi
mungkin tardji
akan mengacungkan
kapaknya saat itu
sambil menzikirkan
: kalian pun,
kalian pun
dan aku?
mungkin mulai
merindukannya
lagi...
Monday, September 1, 2003
3 Pantun tak Tuntas
telah membusuk: setangkai sirih
kupetik pada cuaca yang salah
telah kau tusuk: sehunus pedih
ketika kau berbisik: "aku telah...."
sebelah pinang sekerat kenang
engkau sirih yang tak terkunyah
sembunyi di gelap selapis bayang
aku bertanya: "Engkaukah...."
berkanvas sirih engkau kulukis
berkuas jemari kulakar tatapku
bergegas sisa-sisa dengus kukais
sebelum nafas habis, lalu....
kupetik pada cuaca yang salah
telah kau tusuk: sehunus pedih
ketika kau berbisik: "aku telah...."
sebelah pinang sekerat kenang
engkau sirih yang tak terkunyah
sembunyi di gelap selapis bayang
aku bertanya: "Engkaukah...."
berkanvas sirih engkau kulukis
berkuas jemari kulakar tatapku
bergegas sisa-sisa dengus kukais
sebelum nafas habis, lalu....
Senja Menganga
senja menganga
menelan sisa cahaya,
tak sempat bertanya
gelap mengendap
nafas malam tergagap
angin, sunyi tiarap
sep2003
menelan sisa cahaya,
tak sempat bertanya
gelap mengendap
nafas malam tergagap
angin, sunyi tiarap
sep2003
Subscribe to:
Posts (Atom)