SUDAH kuduga dia: tokoh komik yang baru saja
     terbunuh di lembar terakhir cerita. Aku sangat
     mengenal efek bunyi langkah kakinya. Dan, zing!
     Tajam suara sunyi, bunyi diamnya. Tapi, siapa yang
     terakhir memegang kunci studio? Aku hanya ingat
     pesuruh kantor yang kuminta membakar sisa-sisa A3.
SIA-SIA bergegas. Alamat dan rumah ternyata telah
     terkemas, bersama kuas, pensil 3B, dan tinta cina.
     AKu pun ternyata ada di sana: di dalam ransel kerja
     yang selalu didekap dada - kadang di kepala. Ada
     skenario gambar-gambar, narasi adegan, teks, dan
     balon-balon ucapan yang belum digelembungkan.
     "Mari pulang ke komik kita, Saudara. Engkau
     sebenarnya hendak merantau kemana?" Siapa yang
     berkata? Rasanya aku tak pernah menuliskan
     kalimat yang diterbangkan tokoh komik itu.
AKU ternyata telah lama kehilangan rumah, karena
     telalu asyik dengan denah-denah, sketsa adegan,
     juga karakter tokoh-tokoh, map-map kertas, lemari
     arsip, rancangan sampul. "Masih ingat? Di toko
     alat tulis mana terakhir kali engkau singgah?" Ah,
     sudah lama aku tidak belanja. Terakhir kali aku lupa
     membeli karet penghapus. Aku tidak detil dengan
     urusan kenangan dan daftar belanja.
MASIH juga, ada yang terus mengikuti langkahku.
     Bahkan ketika aku kembali ke studio, melangkah
     melawan arah rumah, bahkan ketika kunyalakan
     lampu di atas meja gambar. Pasti dia juga yang
     membuat makam sendiri pada kertas-kertas yang
     terbakar, eh ada batu nisan yang minta diberi
     nama dan tanggal kematian. "Namamu sendiri,
     Saudara. Kau tidak melupakannya, bukan?"
Sep2003