Sunday, August 24, 2003

Fotografi Pembunuhan

Lensaku memotret tak fokus, piring sarapanmu terpotong pada sisi kiri jendela bidik. Jepret! Sepotong kaki masih menyisakan daging ada cipratan merah: saus tomat atau darah. Cetak ukuran 8R, 1000 lembar. Beri bingkai, beri judul: mari kita sarapan bangkai!



Aku masih menyimpan sisa film. Menunggu di dalam kamera dengan shutter siap diklik. Sudah lama tak kulihat senyum. Tolong, tersenyumlah. Aku suka senyum. Tapi cungkil dulu slilit di sela-sela gigi-gigimu. Aku pernah terselip di situ. Waktu aku pura-pura jadi korbanmu. Aku tak sempat memotret apa-apa. Kameraku SLR-ku habis baterai.



Sekarang aku suka memotret engkau sarapan. Ritual kerakusan. Di meja makan. Pagi hari. Memang saat yang tepat untuk merencanakan pembantaian. Tulang-tulang yang hancur kau kunyah. Ah, sudahkah kupotret pipimu yang penuh lubang? Sudah lama, kau tak lagi membaca doa sebelum makan. Sudah lama kau membuang kebiasaan mencuci tangan.



agustus 2003



Sajak di bawah ini memantik inspirasi sajak di atas. Thanks, Dob!



sketsa pembunuhan

sajak Dobby Fahrizal



mataku sejak itu melompat-lompat, tersesat di dalam saku celanamu.

lalu engkau berjalan melangkahi kepalaku yang petak.sepatumu menjulurkan lidah,

membangunkan tidur nyenyakku. pagi datang dengan marah-marah, rautnya memerah.

lalu melayanglah tamparannya ke atas sarapan pagiku hingga segelas teh menjadi semanis air mata.

dan kamarku di banjiri lahar-lahar anyir, entah dari mana, mungkin dari liang telingamu atau dari tumpahan sup iga sapimu.

lamunanku coba merapikan letak dasimu yang begitu sopan. namun kau tetap saja menyengir. dan aku paling benci bila kau menyengir. tolong, berhentilah menyengir.

maka kuruncingkan sikat gigiku dan bersembunyi dalam sebotol sampagne atau aku akan berpura-pura menjadi pembatas bukumu. kemudian kita rayakan pesta barbeque, jangan terkejut bila diam-diam kutusuk tengkukmu.



agustus 2003