"PAKAILAH kata dalam bahasamu yang tak terjemahkan oleh bahasaku," katanya. Menantang aku. Lalu, dalam sajakku itu, aku menyusun cerita tentang sepasang petani yang menanam kelapa, di rawa yang mereka bebaskan dari asam gambut dan asin laut.
Mereka memberi nama-nama anatomi kelapa itu dengan bahasa sendiri: seperti sepasang ahli botani. (Tapi, di sajakku tak kusebutkan bahwa aku adalah anak pasangan petani itu)
Nama-nama untuk akar pertama, santan tua yang tak terperah, sepasang pelepah muda, batang sejari yang membayangkan angin di ketinggian itu nanti, buah-buah yang tiap bulan berbeda sebutan, bahkan bekas gigitan tupai di kulit kelapa muda.
"Ah, aku tersesat jauh di sajakmu. Aku tak sanggup benar menerjemahkannya," katanya. "Aku mungkin ingin jadi petani saja. Masihkah ada rawa yang bisa kutaklukkan untuk kutanami kelapa lain, dan kelak aku bisa mencipta nama-nama lainnya?" katanya. (Tak kusebutkan, di sajakku, bahwa aku terusir jauh dari kebun kelapa yang dulu ditanami ayah-ibuku, sepasang petani itu)