: M Aan Mansyur
DIA kulihat memulai tangisan saat 
di podium yang remang itu  kau 
mengajukan pertanyaan yang dibisikkan 
oleh sajakmu:
sudahkah  kau memeluk dirimu hari ini?
(Tak apa-apa, ya? Aku petik  saja bait 
itu seutuhnya. Sebab, aku tak bisa 
membuat yang lebih   baik daripada
pertanyaan sederhana itu)
*
Dia  menyembunyikan mata di lebat
tangisannya. "Hore, aku basah!"
kudengar  kerudungnya, yang sewarna
dengan kaosmu (meski tanpa logo 
Beatles  itu) berseru seakan rindu sekali 
pada air yang luruh dari mata itu.
Saat  itu, di pentas berlatar hitam
itu kau sedang mengajukan pertanyaan  dari 
sajakmu yang ingin sekali dapat jawab:
masih kau  simpan pelukan itu?
(Aduh, aku sudah bilang padamu, kan? 
Bahwa  aku sungguh suka dan sering iri 
pada bait-bait sederhanamu?)
*
Dia  berlekas pergi, dengan tangis di mata
dan basah di kerudung, sebelum  kau
selesai membaca sajakmu itu. Aku kira
dia tak kuat menghadapi  pertanyaan dan
kenangan yang kau ajukan dari bait-bait  
sajakmu  itu. 
Aku lihat dia pergi sambil mencoba
memeluk dirinya  sendiri. Seperti hendak
membantah atau membenarkan, bait sajakmu:
lenganmu  memang terlalu pendek buat tubuhmu..
(Aku bersorak tangan  keras sekali, saat
kau menuntaskan sajak berjudul "Pelukan" 
itu.  Mungkin akulah yang paling seru memberi 
aplaus untukmu. Lalu, aku  tak melihat dia 
lagi, malam itu, dan malam-malam berikutnya 
saat  kita ada di Salihara).