KETIKA politik bengkok, kata John F Kennedy, puisi yang meluruskan. Ketika politik kotor, puisi yang membersihkan. Tapi, saya sekarang nyaris tidak percaya. Tapi, kata saya, ketika politik tidak berperasaan, puisi sesungguhnya tak bisa berbuat apa-apa.
Politik kita sekarang sedang bengkok-bengkoknya. Kita yang tidak peduli pun terpaksa harus mengikuti juga perkembangannya. Hanya ada satu kata: memuakkan!
Saya mencoba percaya pada Kennedy. Untung saja dia yang memuja puisi itu seorang politikus, bukan penyair, maka kalimat itu menjadi terkenal, kerap dikutip, dan tak menjadi bualan basi.
Saya mencoba percaya, membaca-baca tentang puisi, dan ah saya kira Kennedy salah. Tak ada yang bisa saya lakukan dengan puisi untuk meluruskan dan membersihkan politik di mata saya. Kecuali satu hal: dalam puisi, hati dan jiwa menjadi pusat perhatian. Dalam politik? Saya tak bisa membawa dua hal itu ke sana tanpa tak merasa marah dan tersepelekan.
Politik, kalau mau ditata, mungkin harus dimulai dengan mengatur hati dan jiwa itu. Kita bisa belajar bagaimana itu dilakukan dalam puisi.
Dalam tulisannya "Jiwa Bernyanyi" di majalah Pujangga Baru, kemudian terbit di buku "Kebangkitan Puisi Baru Indonesia" (PT Dian Rakyat, Jakarta, 1969, cetakan ke-1)) Sutan Takdir Alisjahbana menulis begini: Puisi Indonesia yang baru, baru mulai. Baru sepuluh lima belas tahun sejarah yang terbentang di belakangnya. Setinggi-tingginya kita dapat berkata, bahwa sekarang ini baru selesai masa persediaan: masa merambah, masa merubuhkan tunggul yang lama untuk memberi tempat tumbuh bagi kembang yang baru.
Majalah Pujangga Baru mulai terbit pada tahun 1934 sampai mati di zaman pendudukan Jepang.
Dalam tulisan yang sama kita bisa temukan pernyataan: Kebangunan kususasteraan dan teristimewa puisi Indonesia dalam abad kedua puluh satu ini pun bukanlah lain dari pada bangunnya jiwa yang terikat, jiwa yang tiada dapat bergerak lagi di dalam buhulan ikatan dan simpulannya. Terasalah kepadanya sempit kurungannya dan pedih belitan rantainya, dan demikianlah telah selayaknya jiwa yang sadar kembali itu menghancurkan kungkungan dan ikatan yang menahan langkah dan geraknya.
Apa yang hendak dihancurkan itu? Takdir menulis: Sekalian sajak susunan kata yang terlazim, sekalian irama yang terbiasa, sekalian kiasan dan bandingan yang telah menjadi buah mulut dan pepatah dilemparkan, sebab hanyalah dalam udara bersih-jernih dan bebas-lepas akan dapat pula jiwa yang telah lesu-lumpuh itu menjelmakan dirinya segiat-gembiranya, semesra-mesranya.
Sebelum Takdir sampai pada pembahasan sajak-sajak raja-raja penyair zaman itu - antara lain J.E Tatengkeng, Rustam Effendi, Sanusi Pane - ia mengantar dengan sebuah paragraf penting: Semangat perlawanan, semangat hendak menghancur-remukkan dan melemparkan segala yang menghalangi dan merintangi itu bermacam-macam caranya terjelma dalam puisi Indonesia yang baru.
Apa hasil dari perlawanan itu? Sajak yang mengembalikan puisi kepada asalnya, yakni jiwa yang bernyanyi. "Di sinilah sesungguhnya terletak sari pembaharuan puisi Indonesia: hidup saktinya perasaan," kata Takdir.
Kenapa sajak demikian itu disebut Takdir sebagai sebuah upaya penyair Pujangga Baru mengembalikan puisi ke asalnya? Sebab, ia jelaskan, dalam syair yang lama perasaan telah lemas tertimbun di bawah debu perkataan. "Dan pujangga baru mengeluarkannya pula ke sinar matahari, muda dan hijau berseri-seri," kata Takdir.
Maka, Takdir saat itu menyadari, mengapa dalam puisi Indonesia yang baru itu bersemaharajalela lirik. Ia rumuskan sendiri apa yang ia maksudkan dengan sajak lirik yaitu: curahan kalbu yang langsung meresap ke kalbu.
Apa yang bisa dipelajari oleh penyair saat ini dari apa yang ditulis Takdir? Saya mencatat lima hal:
1. Lansekap puisi Indonesia saat ini terbentang jauh lebih luas. Kerja kolektif penyair saat ini seharusnya tidak lagi 'merambah, merubuhkan tunggul yang lama untuk memberi tempat tumbuh bagi kembang yang baru'. Kita tidak bisa lepas dari bentangan itu, tapi ini bukan penjara, ini adalah pijakan sekaligus tantangan untuk melompat dengan karya yang mampu menggapai cakrawala yang lebih luas. Upaya untuk keluar dari sana, atau meniadakannya sama sia-sianya dengan orang yang berkarya tapi tidak sadar bahwa ia berada dalam sebuah lansekap yang sudah lama terbangun. Ia seperti kadal terkurung tempurung!
2. Penyair Indonesia saat ini telah berada dalam sebuah iklim berkarya yang amat bebas, sebebas-bebasnya. Tetapi, amat disayagkan, ada penyair yang tidak bisa memanfaatkan kebebasan itu. Mereka kikuk, gamang, dan tak tahu harus menuju kemana. Mereka, sialnya, terkekang oleh kebebasan itu sendiri. Akibatnya, tak banyak pencapaian-pencapaian baru yang layak dicatat.
3. Penyair Indonesia saat ini tidak harus menghancurkan apa-apa. Apa yang ditinggalkan atau dihasilkan oleh pendahulu adalah puncak-puncak yang harus dikaji, dipelajari, dikagumi, kemudian harus ada niat untuk mengalahkan dengan membina puncak baru yang lebih tinggi, lebih menjulang, dan lebih kokoh pondasinya.
4. Penyair Indonesia saat ini tidak perlu berimajinasi membersihkan 'udara' dan dia pun tak perlu berkhayal hanya dalam udara yang 'bersih-jernih dan bebas-lepas' itulah baru dia bisa menciptakan karya-karya bernapas baru. Kita berada dalam udara kehidupan yang nyaris jenuh. Justru karya kitalah yang seharusnya bisa membersihkan kejenuhan itu, bukan sebaliknya membuat udara makin keruh. Karya kita harus menawarkan kesegaran.
5. Terima kasih pada Pujangga Baru yang sudah membangkitkan sajak lirik. Dalam batasan yang ketat, sajak lirik dihadap-hadapkan dengan sajak epik. Apakah kalau kita kini risau dengan sajak lirik, maka kita harus mengobati kerisauan itu dengan sajak epik? Tidak! Yang lirik dan yang epik akhirnya cuma gaya. Keduanya adalah sajak. Keduanya berhak untuk digarap maksimal. Yang harus ditolak adalah pemujaan pada satu bentuk, pada satu gaya, pada satu kecenderungan dan dengan itu kemudian meniadakan atau menutup jalan ke bentuk lain.
Apalagi kalau kecenderungan itu semakin memperparah kejenuhan 'udara' kreativitas. Dan itu yang terjadi di ranah politik. Udaranya terus-menerus dijenuhkan. Tak ada kreativitas. Para pemimpin, hanya pandai mendapatkan legitimasi dari rakyat, tapi tak pandai memberi inspirasi. Tak ada tindakan yang kelak dikenang dengan rasa bangga.[]