Alat Sadap (AS): Hei, maukah engkau menyadap percakapan kita?
Aku Penyadap (AP): Percakapan engkau dan aku?
AS: Ya, engkau dan aku. Aku ingin sekali tahu, bagaimana rasanya mendengarkan percakapan kita sendiri, percakapan yang disadap oleh orang lain.
AP: Tapi kalau kusadap percakapan kita, itu artinya kita menyadap percakapan kita sendiri, bukan?
AS: Apakah harus orang lain yang menyadap percakapan kita?
AP: Aku sendiri tak pernah menyadap percakapanku sendiri. Engkau pasti tahu itu, sebab apa yang kusadap, pasti engkau yang menyadapnya, bukan?
AS: Makanya, pernahkanlah. Mungkin dengan begitu, kita bisa menyadap percakapan orang lain dengan lebih baik.
AP: Sebenarnya aku bosan, menjadi penyadap.
AS: Kamu bosan denganku?
AP: Tidak, aku hanya berpikir adakah yang bisa kita lakukan selain pekerjaan ini?
AS: Mungkin sesekali kita harus menyadap percakapan Penting Dia yang Mahapenting.
AP: Apakah itu tidak melampaui wewenang?
AS: Siapa yang membuat batas wewenang itu?
AP: Entahlah...
AS: Saya kira dia Yang Mahapenting, ingin sekali sesekali ada yang mendengar apa yang Dia ingin katakan.
AP: Ah, sudahlah. Kamu tahu kan? Dia itu Mahapenyadap. Dia tahu bahkan apa yang dikatakan oleh hati kita.
AS: Ya, ya... Sudahlah.