: Hasif Amini
KAU belum  bosan, bukan? Menerima kiriman
puisiku? Kau pernah bilang padaku,  setiap 
hari kau menerima dan membaca ribuan 
puisi, lalu kau akan  pilih beberapa saja, untuk 
diterbitkan di halaman minggu yang sudah
menyetengah,  didesak kavling untuk iklan.
Aku suka membayangkan, puisiku yang  tak
kau muat, sembunyi di sebalik iklan itu. 
Aku kirim lagi  puisiku yang tak bertanggal
dan tak bertahun penulisan itu. Aku  sengaja
menanggalkan tanggal dari puisi-puisiku.
Bukan untuk  mengelabui engkau, tapi di 
dalam puisiku itu waktu abadi ada, aku 
tak  lagi perlu memberi tanda apa-apa.
Apakah kau tak memuat puisiku  karena aku
menolak untuk mati setelah puisi itu terbit?
Apakah  kau menolak puisiku karena aku pernah
bilang, bila kau muat, tak  usah kau cantumkan 
namaku di bawah atau di atas judulnya, agar
aku  dan puisiku bisa saling bikin kejutan? 
* 
KAU tak  usah dan tak perlu membalas basa-basi 
ini --- seperti biasa. Aku  hanya ingin mengantar
beberapa puisi yang kukirim lagi. Puisi-puisi  yang 
...(kuurai saja isinya, setelah kusebutkan judulnya):
1.   Dongeng Cicak dan Buaya
Kau pasti tahu kenapa aku menulis  sajak ini,
bukan? Heran juga, ya? Kenapa buaya itu iri
dengan  kesabaran cicak mengendap di dinding,
merayap berkeliling, dan  menyadap semua
percakapan yang isinya selalu saja cuma dusta,
akal-akalan,  siasat pencurian. Heran sekali ya?
Kenapa buaya itu bilang bahwa  kemampuan cicak
menempel di langit-langit tanpa terjatuh itu 
adalah  penyalahgunaan wewenang? Heran betapa
heran, kenapa buaya itu ingin  sekali cicak terjatuh?
2. Hikayat Anjing dan Bulbul
Kau  pasti akan mengaitkan puisi ini dengan 
perceraian penyanyi bersuara  lantang dan suaminya
yang bilang 'setengah jiwaku terbang' itu,  bukan?
Mungkin, kau tak usah saja memuat sajak ini. 
Metafora  yang mentah. Ini wilayah yang seakan-akan
haram dimasuki oleh puisi.  Tapi, juga tak ada yang
melarang, bukan? Itu sebabnya aku  menuliskannya.
Ah, aku memang suka mengada-ada. Tapi, puisi itu
bukankah  memang juga sebuah upaya mengada-ada? 
3. Kisah Peri dan  Pulau Dewa
Tak akan kutuliskan nama peri itu, peri dari 
negeri  yang juga tak akan kusebutkan di puisiku,
pun di pengantar ini. Kita  belum bebas dari dongeng
tidur atau terjaga, ternyata. Kita masih  terpukau
dengan lidah yang bicara dalam bahasa yang berbeda
dan  rambut yang berkibar dengan warna yang berbeda.
Dia membuat  dongeng di sana, itu saja, sudah bagai
dongeng buat kita, bukan? Aku  tidak menulis dongeng
tentang itu. Aku menulis puisi yang menyadarkan  
- mungkin dengan sia-sia - betapa dongengnya kita.
* 
TIGA  puisi saja. Aku kira kau pun tak akan sempat 
membacanya. Tiga di  antara ribuan puisi, dan satu
namaku di antara ratusan nama. Adakah  itu artinya?