MUNGKIN dia ada di dasar mangkok itu: mengira dirinya butir sagu,
yang kelak menggelincir laju di lidah, licin, lepas, dan tak terkunyah.
Waktu, dengan tangannya yang terus saja mengulur itu, mengaduk
sebentar, memastikan lemak-manis-segar itu padu, lalu menyuapkan
sepercidukan, serta sebola melon, menggantung antara kau dan aku.
Tatapan bertikaman. Kita mengadu: siapa paling dahaga, kau atau aku.