Di blognya Nirwan Dewanto menulis begini: Para penyair, bahkan penyair terkini, barangkali gemar sekali mengatakan bahwa mereka menulis berdasarkan ilham. Tapi kita tidak tahu apakah mereka berdusta atau tidak. Kita hanya tahu apakah mereka mengerjakan puisi atau tidak, apakah mereka bergulat dengan bahasa atau tidak. Yang jelas, tidak ada Tuhan atau dewa-dewa yang bicara kepada mereka, membisikkan apa-apa yang harus mereka tuliskan ke atas kertas kosong. Satu-satunya bukti yang kita punya adalah puisi mereka.
Mari kita bergunjing tentang hal itu. Sastra, asyik juga kita gunjingkan, bukan? Rasanya ini bukan pergunjingan yang bikin dosa.
Nirwan sepertinya sedang tak percaya pada ilham. Ia tak percaya pada gerak hati yang membuat penyair menuliskan sesuatu, mendorong penyair untuk menggubah puisi.
Baginya puisi semata-mata "pekerjaan" dan pergulatan dengan bahasa. Ia dalam hal ini tampaknya mengutamakan bentuk. Betul itu, dan bagi saya bahasa itu tak lain adalah wadah. Puisi, itu selalu terdiri atas dua hal bentuk dan isi. Itu sebabnya, isi puisi bisa dipindahkan ke bentuk lain (tentu tanpa membawa wadahnya): lukisan misalnya, atau gubahan musik.
Ilham bukan berarti bisikan dewa atau Tuhan. Kenapa orang-orang memandang rembulan sempurna, lalu sebagaian melupakan kesan yang tertangkap hati dari peristiwa itu dan sebagian terilhami menuliskannya dalam sajak? Ini saya kira hanya bisa dijelaskan dengan Ilham. Ilham itu adalah apa yang menggerakkan hati. Ilham bukan bulan purnamanya itu. Itu hanya penyebab timbulnya ilham.
Jika tak percaya pada ilham: bagaimana Nirwan menjelaskan kenapa ia menulis sajak ketika sahabatnya meninggal? Kenapa ia tergerak menuliskan sajak untuk itu? Kenapa keharuan itu menyentuh hatinya, lalu ia bikin sajak? Kenapa untuk kematian sahabatnya yang lain dia tidak tergerak untuk menuliskan sajak juga?
Saya teringat bagaimana Matsnawi mulai digarap oleh Rumi. Di bawah pohon dengan seorang muridnya, ia mengeluarkan sesuatu dari lipatan surban: secarik kertas. Ia bacakan apa yang ia tulis di sana, lalu ia minta muridnya menyalin. Lalu, sang murid mencatat aja apa yang kemudian ia bacakan. Begitu seterusnya, secarik kertas adalah awalnya saja. Selanjutnya, Rumi tidak "menulis" syair. Ia begitu saja mengeluarkan apa yang ada di kepalanya. Rumi betul-betul menyair. Rumi tidak "mengerjakan syair", jika yang dimaksud adalah bergulat dengan bahasa. Ia bergulat dengan ide syairnya. Ia menggarap syairnya. Rumi berada dalam keadaan yang terus-menerus terilhami.
:: bersambung.