Monday, August 23, 2004

[Tentang Puisi] Merekam yang Tak Bicara

BAHASA menjadi sepenuhnya terang dan komunikatif, ketika ia sepenuhnya bergerak pada tataran ide. Adapun puisi adalah sebuah ikhtiar agar dunia privat bisa diungkapkan dan tak punah ditindas oleh bahasa orang ramai. Maka, dibutuhkan sesuatu yang lain yang tak mengutamakan '"jelas" dan "terang", sebab setiap kali bahasa mencapai pengertian yang dimufakati bersama oleh orang ramai, sebenarnya ada yang tak diakui, dirobek, luka, bahkan ditenggelamkan, dalam konsensus itu.



PUISI menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada tulisan. Puisi, sedikit atau banyak, mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi memulihkan kata sebagai "peristiwa". Dalam "peristiwa", bunyi hadir. Bunyi adalah bagian dari bahasa puisi yang seperti napas: begitu penting, tapi begitu lumrah.



SEBUAH sajak adalah ibarat sebuah gema. Ketika gema terdengar, ada arti atau makna yang lebih luas ketimbang "pengertian". Pengertian adalah sesuatu yang dipikirkan. Tapi "pengertian" hanyalah reduksi dari "arti".



PUISI adalah dunia pemaknaan alternatif, pemaknaan yang tak menaklukkan dunia. Bahasa puisi karena itu untuk merekam mereka yang "tak bicara". Di tengah menguatnya wilayah publik, puisi memang menjadi terasing. Tetapi, keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di zaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah untuk tak mengakui ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa, yang seakan-akan terdiam.



* Goenawan Mohamad, Fragmen: Peristiwa, disampaikan dalam pidato penerimaan Penghargaan Achmad Bakrie dari Freedom Institute, 2004.