Wednesday, August 4, 2004

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya

bisa juga mencuri kesempatan,

bertemu dengan Penyair Pujaan.



Sejumlah pertanyaan sudah lama

dia persiapkan. Sudah lama mendesak,

"kapan kami diajukan?"

Tapi, maklum penyair sibuk,

ada saja halangan. Wawancara pun

berkali-kali harus dibatalkan.



***



+ Anda sibuk sekali, Penyair?



Ya, saya harus melayani kemalasan,

masih direcoki oleh khayalan, dan

sesekali harus bersembunyi jauh

keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong

yang sering datang bertamu, tak tentu waktu.



Jangan kira jadi penyair itu enak.

Jangan kira penyair itu seorang

penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair

yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa.

Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit.

Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan.

Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan.



+ Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi?



Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak

melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak

sekali rahim. Menaruh sel telur puisi di dalamnya

dan menyimpannya di suatu tempat yang hangat.

Dalam kenangan, dalam ingatan. Juga dalam

sejumlah perencanaan. Dan keinginan.



Saya sekarang menunggu apa saja datang

menggoda berahi saya untuk bersyairria.

Hingga orgasme berulang sempurna.

Kelak rahim-rahim itu akan terbuahi,

dan lihat saja nanti, akan berlahiran anak-anak puisi.

Dan rumah ini tak akan sepi lagi. Menggantikan

suara-suara lama yang entah pergi kemana

mencari gema-gemanya sendiri.



+ Apa sebenarnya cita-cita Anda?



Ah, pertanyaanmu terlalu biasa. Mestinya semua

orang tahu, penyair itu harus bercita-cita

menemukan bahasa sendiri. Itu juga yang

sekarang sedang saya kejar ke sana kemari.

Berburu kata, berburu tata, berburu dusta dan cinta.

Kelak kalau semuanya terkumpul, nah saat itulah

waktunya mengurus sertifikat hak cipta: Ini Bahasa Saya.



+ Anda sudah menemukan apa sekarang?



Terlalu dini untuk saya publikasikan. Tapi,

untuk wawancara ini saja, saya katakan

saya sudah menemukan sebuah awalan

dan sebuah akhiran, dan sebuah kata sambung.



+ Itu saja?



Ya, memangnya kenapa?

Saya toh tidak sedang terburu-buru.



+ Boleh tahu awalan, akhiran dan kata sambung itu?



Nah, saya yakin Anda akan mendesak saya.

Pasti Anda berpikir itu menarik untuk dijudulkan, bukan?

He he, jelek-jelek begini dulu saya pernah ikut

pelatihan wartawan, sebelum tersesat jadi penyair betulan.



***



WAWANCARA pun berakhir. Penyair dan Wartawan itu

pun bersalaman. Tangan menjawab tangan.

"Selamat sibuk, ya?" kata si Wartawan.

"Ya, sampai jumpa di lain wawancara,

siapkan saja pertanyaan yang lebih berbahaya,"

jawab Sang Penyair sambil tertawa-tawa.