Thursday, July 22, 2004

[Ruang Renung # 81] Mencintai, Memamahi, Menghayati (1)

KETIKA seorang wanita meninggal, dan di laci kerja di kamarnya ditemukan rapi sejilid berisi ribuan puisi, pasti ada sesuatu pada Puisi itu sehingga si wanita begitu karib menggaulinya. Ketika puisi-puisi tersebut kemudian digemari banyak orang, dan jejak si wanita begitu dalam membekas dalam ingatan pembaca, maka pasti ada sesuatu pada Puisi itu sehingga dia bisa "membayar" utang jasa kepada si wanita yang telah ikhlas menuliskannya.



KITA tahu, wanita itu bernama Emily Dickinson. Penyair klasik wanita yang dipunyai negeri Inggris.



YANG bisa kita simpulkan adalah Emily pasti begitu mencintai puisi. Tanpa cinta, tak mungkin, dia bisa terus-terusan meski tak terang-terangan berterus terang membukakan seluruh rahasia rasa hatinya kepada Puisi. Kita tahu, Emily masih dipanggil Nona ketika dia meninggal. Dia seorang pencinta sesama wanita, begitu kata penafsir setelah menelaah puisi dan surat-suratnya. Tentulah, menjadi wanita dengan orientasi seks yang tak lazim diterima pada masanya itu, bukan perkara enteng.



KARENA itukah Emily lari mengadu ke Puisi? Mungkin. Tapi, kenapa puisi? Kenapa tidak ke bentuk ekspresi lain? Jadi, tetap saja, apapun pendorong seseorang berdekat-dekat dengan puisi, pasti cinta juga yang membuat seseorang itu tunak di sisi Sang Puisi. Dalam hal Emily, cinta itu ia wujudkan ia buktikan ia ejawantahkan dengan menulis, menulis dan menulis saja. Dia tak peduli apakah puisinya disukai orang, juga tak mau menjajal apakah puisinya cocok dengan selera redaktur surat kabar atau majalah saat itu. Semasa hidupnya tak lebih dari hitungan jari dua tangan puisinya dipublikasikan. Itupun tanpa setahu dia, cuma ulah iseng sahabatnya.



YA, cintai puisi dengan menuliskannya, mempercayainya dengan mengekspresikan pikiran, perasaan ke dalamnya. Adakah cara lain? Adakah jalan lain menujunya?[hah]