Saturday, May 21, 2011

Dinamo Gola Gong

::  Catatan pendamping untuk buku Dunia Ikan - Belajarlah pada Alam - Gol A Gong, yang segera terbit. Penerbitan buku ini adalah bagian dari solidaritas penulis untuk membebaskan tanah Rumah Dunia seluas 1.873 meter persegi dengan harga Rp. 200.000,- per meter persegi. Kelak, di atas tanah itu akan dibangun gedung kesenian dan perpustakaan.
Kemungkinan inilah sampul bukunya.
 JIKA maksud Gola Gong mengutip sajak-sajak di awal kisah petualangan serial Balada Si Roy (BSR) di majalah HAI dulu adalah mendekatkan sastra kepada remaja, dia berhasil. Saya adalah orang yang siap jadi saksi di pengadilan mana pun jika ada yang menggugat keberhasilan itu. Dia dengan BSR telah sangat berhasil menarik saya ke dunia imajinasi yang mahaluas: Sastra, dan khususnya puisi.


Ya, Gola Gong adalah magnet yang dengan rendah hati menyadari benar bahwa ia adalah magnet. Karena kesadaran itulah kemudian, dia membuat kumparan besar di sekitar magnet dirinya. Maka terciptalah sebuah dinamo besar yang  tak lagi hanya menarik benda-benda mengandung logam minat pada sastra, tapi ia membangkitkan energi listrik. Ia mengalirkan energi itu kemana-mana, membuat lampu-lampu kecil menyala, menebarkan terang.

Dinamo itu bernama Rumah Dunia, sebuah komunitas yang ia bangun dengan perjuangan yang tidak hanya mempertaruhkan darah dan keringat, tapi harga dirinya juga. Dan listrik yang kini pelan-pelan mengalir ke seluruh pelosok negeri ini bernama Gempa Literasi - gerakan mendekatkan sastra hingga ke pelosok-pelosok terpencil di Indonesia. Dan dia nyaris bergerak sendiri.

Dan kumpulan sajak Dunia Ikan, Belajarlah Pada Alam ini adalah bagian dari perputaran dinamo besar itu. Saya menerima draf buku sajak ini pagi Sabtu, hari ketika saya hanya akan masuk kantor setengah hari. Dan jam-jam kerja saya hari itu, harus saya habiskan untuk menelurusi sajak per sajak. Maaf, kantorku, sesekali mengalahlah untuk urusan puisi. Dan kesan yang serta-merta: ini adalah sajak-sajak yang menggairahkan.

Berada di antara hamparan sajak-sajak Gola Gong, saya tiba-tiba terbelah jadi dua. Separo saya terlempar ke masa-masa dulu ketika saya di depan lembaran-lembaran majalah remaja itu membayangkan menjadi sosok remaja lelaki yang gelisah, berontak, dan tak betah dengan kungkungan rumah dan sekolah. Saya menemukan Gola Gong yang lama itu. Yang namanya adalah misteri. Dan sosoknya adalah mitos. Lalu lari ke alam, mereguk langsung nafas kehidupan dari jalanan. Itu terjadi misalnya ketika saya membaca sajak "Sungai dan Gunung".
Aku jadi membenci sungai,/ pabrik mengencinginya setiap saat,/ keindahannya bukan milikku lagi./ Aku tak berani lagi mandi di sungai,/ ikan-ikan menyuruhku pergi, / mereka malah minta dipindahkan, / ke akuarium; di Ancol atau di ruang tamu. //  Aku tak punya sahabat, / gunung sudah meninggalkanku. / Di puncaknya tak ada lagi hawa segar/ : berganti neon dan lenguh birahi / tak ada mata air/ bola golf menyumbatnya./ Sungai dan gunung,/ kini kuratapi dalam bingkai / foto atau lukisan.
Jika sajak ini dulu dikutip di awal salah satu serial BSR, pasti akan dicantumkan nama Herry H Harris, nama aslinya. Nama itu, kami kira adalah seorang penyair besar mana yang ia kutip, seperti nama-nama lain, Toto ST Radik, Rys Revolta, yang ternyata adalah sahabat-sahabat baiknya.

Jika seorang petualang membenci sungai, merasa ditinggalkan gunung sahabatnya, apakah lagi yang dipunyai olehnya? Inilah cara marah khas seorang petualang. Ketika alam rusak, itulah alasan kemarahan yang paling sahih. Itulah kemarahan yang sekaligus jadi peringatan. Dan semangat itulah yang bisa saya tarik dari seluruh sajak di buku ini. Judulnya sudah dengan tegas mengatakan itu: Belajarlah pada Alam. Ini adalah himbauan sederhana - mungkin bagi sebagian orang terasa membosankan - tetapi sampai kapanpun punya alasan kuat untuk diteriakkan. Gola Gong dengan sajak-sajaknya melakukan itu.

Sajak-sajak di buku ini, lalu juga menampar separo diri saya menyadari sepenuhnya sirkumstansi yang kini sedang dihadapi oleh siapa saja yang hidup di negeri ini. Saya menemukan Gola Gong yang lain, Gola Gong yang baru, yang sebenarnya ingin saya tolak. Tapi, tamparan itu menyadarkan saya bahwa saya tidak baik terus hidup dalam mitos. Gola Gong bukan lagi seorang pengarang yang hanya bisa saya hadirkan sosoknya dalam alam pikir saya yang mitologis tentangnya. Ia nyata. Ia seperti saya, menghadapi perkara rumit, dan persoalan ruwet. Ia, bersama saya, sama-sama hidup di sebuah  negeri besar, berpotensi besar, tapi centang perenang karena salah urus. 

Dan itu ditulis lewat perumpamaan ikan. Ini adalah modus pengucapan yang cerdik, dan menarik. Gola Gong tentu tak ingin sekadar berbeda. Ia memang akrab dengan dunia itu: nelayan, ikan, laut, dan tanpa keakraban, yakinlah tak akan lahir permenungan tentangnya, dan tak akan pernah ada sajak-sajak di buku itu.

Harus saya sebutkan, bahwa buku ini adalah magnet lain, adalah energi listrik lain, yang sebagaimana karya-karya Gola Gong yang lain, akan menyetrum banyak orang untuk mengikuti seruannya: belajar pada alam, merenungkannya, menyadari masalah-masalahnya, menuliskannya, dan terus menjalani hidup dengan daya kreatif yang tak pernah terpadamkan oleh kendala atau keterbatasan apapun. Harus saya katakan, Gola Gong - dia yang dulu atau yang sekarang - adalah dinamo pembangkit energi kreatif, dengan energi pemutar yang ia serap dari segala penjuru. []