Wednesday, May 11, 2011

[kolom] Paspor Pertama bagi Seorang Ibu yang Menyusui Bayinya

Paspor Walt Disney
SAAT-SAAT agak dramatis ketika kita datang ke suatu negeri asing adalah saat berdiri di depan petugas di loket imigrasi.  Mestinya ini hanya menjadi peristiwa administrasi kependudukan biasa, tapi di loket pengecopan paspor itu,  kita tidak lagi berdiri hanya sebagai diri kita  sendiri. Di situ kita seakan membawa beban segala persoalan bangsa.

Saya pernah ditahan petugas Imigrasi di pintu masuk Woodland, Singapura, setelah melancong berombongan dari Thailand dan Malaysia. Pada tahun-tahun itu Bom Bali seakan masih mengepulkan asap. Slamet Kastari belum ditangkap.  Dengan kumis dan janggut, serta nama dari bahasa Arab, dan kemudian saya juga menyebut diri sebagai wartawan, maka saya rasanya saat itu memang layak ditahan.

Begitulah, nyaris satu jam lamanya, saya duduk di ruang tunggu, tak ditanya apa-apa. Petugas Imigrasi Singapura dengan mata penuh selidik, berkali-kali melirik saya dan seakan mencocokan dengan sesuatu di layar monitor komputer kerjanya. Mungkin foto. Mungkin juga entah data apa  tentang seseorang di situ.  Begitu saja, lalu nama saya dipanggil dan dipersilakan melanjutkan perjalanan.

Saat ini, memegang paspor bergambar burung Garuda memang bukan hal yang enak. Di pintu-pintu imigrasi di berbagai Negara, radar keawasan petugas jadi berlebih. Ini dialami beberapa kawan yang kerap bepergian ke luar negeri.  Beberapa orang bahkan harus membatalkan kunjungan karena ditolak dengan alasan keamanan. Sangat tidak nyaman.


Apa boleh bikin. Paspor memang lahir dari kecemasan dan perlunya rasa aman.  Bentuk awal paspor bermula di Inggris, meskipun ada penemuan sejarah atau disebut dalam salah satu kitab suatu agama, raja Persia mengeluarkan semacam surat jaminan bagi seseorang yang hendak bepergian, sebagaimana prinsip dan guna paspor saat ini.  Ya, enam abad lalu, tepatnya tahun 1414, Raja Henry ke-5 mengeluarkan semacam surat jalan bagi siapa saja yang bepergian memintasi batas-batas negeri lain. Surat ini semacam jaminan keamanan, bahwa si pemegang surat tidak akan bikin perkara di negeri yang ia kunjungi.  

Sampai tahun 1772, paspor diterbitkan dalam bahasa Inggris.  Dan ini bermasalah. Soalnya pada masa itu, bahasa Inggris yang kini mengglobal adalah bahasa kelas dua. Jauh kalah gengsinya dengan bahasa Prancis.  Rupanya, yang meminta paspor kepada raja Inggris kala itu, tidak hanya orang Inggris, tapi juga penduduk dari negara-negara tetangganya.  Kenapa? Mungkin karena saat itu belum banyak yang merasa perlu paspor dan raja-raja Eropa itu rata-rata masih bersepupu.  Karena itulah, pada tahun 1772 mulailah diterbitkan paspor dengan bahasa Prancis, meskipun tetap saja yang mengeluarkan dan teken raja Inggris.   Kata paspor sendiri berakar dari kata dalam bahasa Prancis “passeport”, yang sekarang lazim diartikan artinya surat izin keluar atau masuk di atau dari sebuah pelabuhan. Meskipun sebenarnya kata “port” itu berakar dari kata “porte” yang berarti gerbang. Pada masa itu, perjalanan memasuki sebuah negeri di Eropa itu biasanya melewati gerbang-gerbang  penjagaan.

Karena terus dikembangkan dan disempurnakan, antara lain lewat maraknya penulisan-penulisan sastra bermutu, bahasa Inggris menjadi bahasa yang mengungguli bahasa-bahasa Eropa lainnya. Juga seiring dengan merebaknya nasionalisme, pada 1858, paspor oleh kerajaan Inggris hanya dikeluarkan untuk warga negaranya sendiri. Paspor pun kembali diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Dan sejak pecah perang Dunia Pertama, 1914, banyak negara, masing-masing mulai menerbitkan paspornya sendiri, untuk membedakan dengan – tidak semua negara lain, tapi hanya yang “diangap” asing.  Inggris yang sudah lebih dahulu mengembangkan jenis dokumen ini sudah lebih dahulu maju selangkah, karena sejak tahun 1914 itu di negeri itu paspor menggunakan foto diri si pemegang paspor.

 Sebelumnya, tanpa foto, urusan memastikan bahwa yang bepergian itu adalah benar-benar si pemegang paspor sedikit repot. Di paspor hanya disebutkan cirri-ciri kuping, dahi, hidung, mulut, bentuk wajah, rambut, tinggi badan dan lain-lain, sampai-sampai demi kepentingan itu para ahli ilmu sosial membuka cabangnya sendiri.  Bayangkan, betapa membosankannya bagi seorang petugas imigrasi kala itu, ketika ia mengecek paspor, karena itu seperti membaca novel yang tengah menguraikan ciri-ciri salah seorang tokoh ceritanya.  Bayangkan juga seandainya kita hidup pada masa itu. Bagaimanakah kira-kira wajah kita dideskripsikan?

*

Kapan dan siapakah orang di Indonesia yang punya paspor Indonesia?  Tahun 1948, tepatnya 8 September. Siapa pemilik paspor itu? Seorang ibu yang bersama bayi perempuannya yang diminta suaminya menyusul ke Amerika.  Sebelumnya setiap orang yang bepergian dari negeri ini, meskipun sudah memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, harus membawa paspor yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial yang menguasai negeri yang masih bernama Hindia Belanda.

Paspor pertama itu lahir berkat kecerdikan diplomasi Perdana Menteri Sjahrir.  Dengan adanya seseorang yang memiliki paspor yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, semakin tegas pernyataan kemerdekaan Indonesia yang pada tahun-tahun itu terus diperkecil artinya oleh Belanda.

Saat itu Soedarpo Sastrosatomo, diplomat kelahiran Langkat, Sumatera Utara, 30 Juni 1920 itu, secara mendadak harus berangkat ke New York, Amerika,  ikuti  sidang Dewan Keamanan PBB untuk menggugat agresi militer Belanda. Soedarpo pegang peran penting, karena ia ditugasi menangani urusan dengan pers asing.  Masalahnya ia harus meninggalkan istinya Minarsih Wiranatakoesoemah, dan anaknya yang masih menyusu.

Sjahrir memerintahkan agar Minarsih menyusul tapi dengan catatan, ia harus menggunakan paspor Indonesia. Inilah kecerdikan Sjahrir. Ia sudah memperjuangkan hal itu lewat jalur diplomasi sejak Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947.  Maka berangkatlah Minarsih dengan paspor biru  – bukan hijau seperti paspor kita saat ini, tebalnya 48 halaman, berlakunya tiga tahun, dan diteken oleh Sekjen Kementerian Luar Negeri Soerjotjondro. Ia naik pesawat milik maskapai Belanda, KLM,  singgah di Bangkok, Karachi, dan Kairo. Ini memang diatur oleh Sjahrir.  Minarsih yang saat itu juga masih memegang  paspor Hindia Belanda, baru mengeluarkan paspor keduanya itu saat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Belanda.  Dari situ ia lalu menuju New York menyusul suaminya.

Majalah Tempo yang melaporkan kisah paspor pertama itu pada edisi 9 Maret 2009, menuliskan, di Amerika  petugas imigrasi bingung membaca nama Indonesia dan akhirnya memberi keterangan  pada lembar visa dengan kalimat ini - tentu dalam bahasa inggris:  Istri dan anak perempuan petugas Pemerintah Asing yang tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat.

Tak diakui, tapi itu adalah sebuah bentuk pengakuan. Apapun, hal kecil itu, bukanlah perkara sepele.  Sebuah paspor, telah berhasil menegaskan kemerdekaan sebuah negara bernama Indonesia. Dan perjuangan diplomasi kita pada saat itu berhasil gemilang.

*          
Paspor saya sekarang adalah paspor yang kedua. Maksud saya bukan saya punya dua paspor, tapi ini paspor kedua setelah yang pertama habis bukan karena saya terlalu sering bepergian ke luar negeri, tapi karena habis lima tahun masa berlakunya.

Di dokumen itu saya sedikit tersenyum. Saya tidak tahu persis kenapa itu diperbolehkan. Seharusnya kita di situ tak boleh berekspresi apa-apa, datar-datar saja. Di Amerika peraturan itu hanya dikecualikan untuk Walt Disney, karena dia dianggap berjasa membuat jutaan orang di Amerika bahkan di dunia tersenyum karena cerita dari tokoh kartun-kartun yang ia ciptakan. []