Wednesday, May 25, 2011

[Kolom] Humas dan Pesawat Retak

KONSULTAN humas sehebat apapun tak bisa menutupi pesawat yang retak. Tim humas secanggih apapun tak bisa menutupi kebobrokan dan tak akan bisa menyelamatkan nasib sebuah perusahaan penerbangan. Mari kita belajar pada kasus Adam Air, sebuah maskapai penerbangan agresif, tapi ceroboh, berumur pendek, dan akhirnya memang ditutup.

Kejadian I. Pada 1 Januari 2007, pesawat Boieng 737-400 yang dioperasikan oleh maskapai Adam Air dengan nomor penerbangan DHI 574 jatuh di perairan Majene. Tidak ada satupun dari 85 orang penumpang dewasa, 7 anak-anak, 5 balita, 4 awak kabin serta pilot dan kopilotnya yang ditemukan jenazahnya hingga sekarang.

Kejadian II. Pada 21 Februari 2007, pesawat Boieng 737-300 yang juga dioperasikan oleh Adam Air dengan nomor penerbangan KI-172 , yang mengangkut 148 penumpang retak di sayap bagian belakang.




Distrik Manajer Adam Air Surabaya Natalia Budiharjo pada hari kejadian membantah berita retaknya pesawat yang mengangkut 148 . "Kalau pesawat retak, pastinya tidak bisa diderek. Tapi nyatanya pesawat kita bisa diderek sampai ke hangar Merpati," katanya.

Ia juga membantah bahwa pesawat yang terbang dari Jakarta tersebut mendarat dengan baik. "Saya ingin tegaskan pada masyarakat bahwa pendaratan yang dilakukan Kapten Dita dilakukan secara normal. Namun karena ada gangguan angin saat mendarat, demi keselamatan semua penumpang, roda pesawat di-rem," ujarnya.

Pernyataan manajemen Adam Air itu bertabrakan dengan dengan pernyataan sumber informasi lain yang hari itu sudah banyak dikutip media. Wiryanto Airport Duty Manager Bandara Internasional Juanda pesawat tersebut retak di sayap bagian belakangnya . Kelak publik tahu manajemen Adam Air berbohong.

Adam Air berusaha melengkapi “kebohongan” dengan mengecat pesawat rusak tersebut. Seluruhnya jadi putih. Tak ada lagi warna jingga jeruk yang jadi ciri khas maskapai tersebut. Bagian tubuh pesawat yang retak ditutupi terpal putih. Beberapa hari setelah kecelakaan itu saya sempat melihat pesawat tersebut, membengkok, patah ditengah, dan putihnya bikin pesawat tampak seperti pocong.

Tindakan mengelabui publik itu sia-sia. Kenapa? Karena Gambar pesawat yang patah itu ini sudah tersebar. Di televisi dan intenet jutaan orang sudah melihat dengan jelas retakan di tubuh Adam Air. Bahkan saat pesawat itu dicat putih pun disiarkan.

Membantah fakta, dan menutupi fakta itu mungkin bagi Adam Air adalah tindakan kehumasan yang sigap. Setelah pesawat mereka jatuh setahun sebelumnya, citra Adam Air jancur dan harus dipulihkan jika perusahaan itu ingin bertahan. Pesawat yang retak jelas buruk sekali dampaknya bagi maskapai penerbangan yang modal utamanya adalah kepercayaan penumpang, dan jaminan keselamatan bagi mereka.

Tapi, Adam Air lalai dan gegabah. Mereka melanggar banyak kesalahan dengan tindakan itu. Banyak aturan yang mereka langgar dan itu akhirnya berujung pada pencabutan izin.

Kesalahan pertama: Adam Air ini telah melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal 34 ayat 2: Siapa pun dilarang merusak, menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian-bagian pesawat atau barang lainnya yang tersisa akibat kecelakaan, sebelum dilakukan penelitian terhadap penyebab kecelakaan itu. Ancaman hukuman bagi pelanggarnya adalah enam bulan kurungan serta denda Rp 18 juta.

Ah,cuma enam bulan dan Cuma Rp18 juta. Mungkin manajeman Adam Air berpikir seperti itu. Jadi, ya tabrak saja.

Lalu, secara kehumasan, kebohongan Adam Air tentang retaknya pesawat mereka juga melanggar kode etik Perhumas, pasal III yang mengatur Perilaku Terhadap Masyarakat dan Media Massa, yang berbunyi: Butir c. tidak menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan. Butir d. Senantiasa membantu menyebarluaskan informasi maupun pengumpulan pendapat untuk kepentingan Indonesia.

Jika tindakan Adam Air itu dilakukan lewat sebuah perusahaan kehumasan maka satu lagi pasal dalam kode etik dilanggar. Dalam kode etik Asosiasi Perusahaan Public Relation Indoensia Pasal 2 tentang Penyebarluasan Informasi disebutkan: Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang palsu atau menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi.

*

Kalangan humas Indonesia harus merasa bangga karena punya seperangkat kode etik profesi yang bagus sekali, sebagai mana dua pasal yang saya kutip dari dua kode etik di atas. Ada satu kata yang mempertemukan profesi humas dan wartawan: kepentingan masyarakat.

Keselamatan penumpang pesawat adalah sebuah kepentingan publik yang tak bisa ditawar. Untuk itulah wartawan berusaha keras mencari kebenaran apakah pesawat Adam Air retak? Jika kepentingan untuk publik itu disadari pihak humas Adam Air tak perlu berbohong dan itu artinya melanggar kode etik profesi dan perusahaan kehumasan.

*

Buat saya, seorang humas itu seperti nabi. Ia bekerja karena ada informasi penting yang benar dan harus disampaikan dengan cara yang benar, dan diterima dengan benar, Karena itu, seorang humas perlu merenungkan empat sifat nabi untuk diteladani.

SIDDIQ (BENAR) - Humas bekerja mengelola informasi yang benar. Ia pun berperilaku benar. Ia membawa pesan dari lembaga dimana ia bekerja sebagai humas. Ia juga bekerja, pada atau untuk lembaga yang benar, untuk tujuan-tujuan yang benar.

TABLIG (MENYAMPAIKAN) – Dengan kata lain: komunikatif. Ia punya kemampuan untuk berkomunikasi dengan sangat baik. Karena tanpa itu, informasi yang benar pun bisa diterima dengan salah.


AMANAH (TERPERCAYA) – Humas pada dasarnya tidak bisa memanipulasi fakta, menutupi sebuah fakta. Apalagi di zaman ketika sebuah berita bisa menyebar dengan lekas. Kepercayaan tidak dibangun dengan memanipulasi data, tapi dengan kejujuran.

FATHANAH (CERDAS) – Peran humas penting tidak hanya pada saat menghadapi krisis, tapi sepanjang sebuah lembaga atau institusi hidup, hadir, bergiat, tumbuh, dan berinteraksi dengan publik. Di saat apapun, terlebih di saat kritis, kederdasan seorang humas sepenuhnya diuji. []



:: Kolom ini disampaikan dalam Workshop Krisis Pemberitaan dan Manajemen Komunikasi Publik, diselenggarakan oleh Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, di Graha Pena, Batam, Kamis, 26 Mei 2011.