Tuesday, May 3, 2011

[kolom] Pasien dan Penonton di Teater Dokter Cheng

Dr. Michael Cheng 
KENAPA ruang operasi di Mahkota Medical Center, Malaka, ini disebut teater? Tepatnya operating theater?  Dalam bahasa Melayu, di dinding sepanjang lorong ke ruang itu, saya temukan padanannya: bilik bedah. Teater itu, bukankah selama ini saya pahami sebagai ruang tempat pertunjukan sandiwara atau film?

Nah, ini mungkin bisa menjelaskan, di kamus Merriem-Webster ada enam lema untuk kata theater. Salah satunya, teater itu berarti tempat atau ruang menyelenggarakan peristiwa penting.

Di kamus lain, saya temukan penjelasan bahwa teater operasi itu adalah istilah untuk tempat operasi di mana mahasiswa kedokteran dan penonton lain – yang berkepentingan untuk belajar ilmu bedah - bisa menyaksikan berlangsungnya pembedahan. Tanpa penonton, kata itu bersinonim dengan operating room atau operating suite.


Saya kira  pemakaian kata teater untuk meja bedah masuk akal juga dan keren. Dan di teater itulah saya terbaring, dengan separo badan terbius, Jumat pekan lalu, sebagai pasien dan sekaligus penonton. Ini peristiwa penting, dramatis, dan teatrikal juga. Ada batu berdiameter enam milimeter di ureter kanan saya. Ini saluran yang menghubungkan ginjal dengan kantung kemih. 

Batu itu menyumbat air yang disaring ginjal yang seharusnya lekas sampai di kantung kemih untuk segera dibuang. Ini yang membuat sebagian ginjal itu membesar dan sebagian ureter saya bengkak, seprti balon panjang yang ditiup. Jika rasa pegal di pinggang kanan adalah akibat dari penyumbatan itu, maka saya bisa pastikan bahwa penyumbatan itu sudah terjadi lama, soalnya, sudah sejak lama saya merasakan itu.

Tadinya, saya kira itu pegal biasa. Aktivitas kerja saya mencari data, mengetik, mengikuti perkembangan berita – termasuk menulis kolom kamisan ini - sebagian besar dilakukan dengan duduk di depan komputer, di rumah atau di kantor. Ditambah lagi, saya agak kurang minum air putih.

Sampai pada suatu pagi, saya diserang sakit perut gawat, disertai demam, sampai berkali-kali badan saya berkeringat. Persis seperti sakit perut dulu ketika saya tahu ada masalah di usus buntu saya, dan saya waktu itu harus operasi besar memotong dan membuang usus buntu itu.

Pagi itu, saya tetap mengira ini sakit perut biasa, soalnya, tidak mungkin ini akibat ulah si usus buntu lagi. Saya minum pil dan puyer sakit perut biasa. Biasanya itu manjur. Tapi, pagi itu perut saya tetap terasa melilit dan dicakar-cakar. Saya menyerah. Istri saya membawa saya ke UGD. Di situ baru diketahui ada silika di air kencing saya, dan ada darah.

Dokter jaga  di UGD tersebut menyimpulkan: ada batu ginjal (diduga dari kandungan silika) dan batu itu bikin luka (dipastikan dari darah yang tercampur dengan air kemih). “Belum ada kuman, berarti lukanya masih baru,” kata si dokter. Ini lumayan menenangkan, tapi cemas saya tak berkurang. 

*

Rangkaian peristiwa itu, lewat serangkaian pertimbangan, dan keputusan-keputusan itulah yang kemudian membawa saya terbaring ke teater bedah di RS Mahkota Medical Center, Malaka. Semula, saya dan istri saya hanya ingin mendapatkan pendapat lain dari keberadaan batu ginjal tersebut, dan ingin dapat gambaran tindakan apa yang paling ringan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Tapi, setelah tahu betapa gawat kondisinya, dan akal sehat saya bisa menerima pentingnya tindakan yang harus segera diambil saya menyetujui operasi.

“Jangan bimbang,” kata Dr Michael Cheng Kok Hong.  Dia dokter spesialis yang cekatan dan sangat ramah. Nanti setelah saya masih di ruang operasi menunggu pemulihan setelah operasi, dia menemui langsung istri saya di ruang rawat inap, mengabarkan bahwa operasi sudah selesai. Dia meraih dokter spesialis urologi dengan gelar Bachelor of Medicine and Surgery dari Queen’s University, Inggris,  Fellow of the Royal College of Surgeons di Edinburgh dan Fellow of the Royal College of Surgeons di Irlandia.

Inilah “sutradara” dari pertunjukan di teater ke-3, saya menyebutnya dengan nomor urutan begitu, di mana saya terbaring sebagai pasien dan ikut menonton.  Soalnya dari ranjang beroda yang membawa saya dari ruang rawat inap ke ruang operasi  – dengan pakaian pasien bedah, sebelum operasi -  saya perhatian ada lima ruang operasi, saya dioperasi di ruang paling tengah.

Di atas setiap pintu itu ada kotak neon bertulisan “THEATER IN USE”. Lampunya akan menyala jika sedang ada pembedahan di ruang itu. Dari situlah saya bertanya, kenapa ruang bedah diberi sebutan theatre. 

Batu ginjal ada tersangkut di saluran ureter saya. Itu dipastikan setelah Dr Cheng mengamati hasil foto sinar-X dari alat pendiagnosa bernama CT-Scan atau CAT-Scan (Computer Axial Tomography). Inilah alat yang membawa dua penemunya, yaitu  seorang insinyur Sir Godfrey Hounsfield dan Dr. Alan Cormack mendapat hadiah Nobel Kedokteran pada tahun 1979.

Alat ini persis seperti donat besar, yang diletakkan tegak, bentuknya bulat, dan berlubang di tengah. Di lubang itulah, saya sebagai pasien dilewatkan, setelah mengikuti aba-aba dalam bahasa Melayu untuk menarik nafas, menahan nafas dan kemudian bernafas biasa. Saya mendengar suara entah alat apa berdesing berputar di dalam donat itu. Prinsip kerja CT-Scan itu begini. Tubuh kita seperti roti bantal yang dipotong-potong melintang. Pisau potongnya sinar-X. Hasilnya ya gambar potongan melintang tubuh persis seperti lembaran-lembaran roti tawar.

Dari hasil foto ronsen, tidak diketahui di mana gerangan batu itu berada. “Ronsen hanya bisa ketahui 90 persen, ada 10 persen kemungkinan yang tak terdeteksi. CT-Scan boleh mendeteksi itu,” kata Dr Cheng.

“Saya buat rancangan seperti ini,”  kata Dr Cheng. Ia lantas menayangkan satu video di komputernya, adegan kamera kecil menelusuri ureter sampai ketemu batu ginjal, lalu batu itu ditembak dan hancur. “Nanti kita buat seperti itu,” katanya.

Kami bertanya soal biaya, yang toh nanti akan saya bagi risiko tanggungannya dengan perusahaan asuransi, dan kapan operasi itu bisa dilakukan. “Bapak puasa sekarang, nanti petang kita bisa buat tindakan, sekarang saya siapkan,” kata Dr. Cheng.

Apa yang saya saksikan sendiri di teater 3 persis seperti yang sebelumnya saya saksikan di komputer Dr. Cheng. Setelah suntik bius di tulang belakang, saya dibaringkan dengan posisi seperti orang hendak melahirkan.

“Jangan bimbang, saya tengok apa yang bisa saya buat,” kata Dr. Cheng berkali-kali. Dia cemas, soalnya letak batu itu, agak di atas, lebih dekat ke ginjal daripada kantung kemih. Dia cemas, dan itu dia jelaskan pada saya, karena itu hak saya sebagai pasien, jika alatnya tak bisa bergerak terlalu jauh karena ureter bisa saja robek. “Tapi, saya sudah buat macam ini sudah seribu orang,” katanya.

Pada hari itu, saya adalah pasiennya yang keenam.  Saya menyaksikan semua proses operasi itu dari monitor di kiri saya. Saya melihat bagaimana kamera kecil bergerak menelusuri ureter sampai menemukan batu berwarna kuning, si biang kerok sakit  saya itu. Di bawah pengaruh obat bius, itu sama sekali tidak sakit. Tapi, tak kurang saya takjub dan gemetar juga, soalnya apa yang saksikan itu ada di dalam tubuh saya sendiri.

 “Itu batunya yang warna kuning. Sebentar saya tembak,” kata Dr. Cheng. Ibarat pertunjukan teater inilah adegan puncaknya. Saya mendengar suara sesuatu menghantam sesuatu dan melihat batu kuning itu hancur. Lalu mengalir air keruh  ke arah kamera.

“Mau di-record?” tanya Dr. Cheng.
“Boleh,” jawab saya.
“Tapi, sedikit mahal .”
“Tak apa,” kata saya. Ah, dokter, dalam keadaan begini masih tawar-menawar juga.

Kalau mau menyaksikan VCD rekaman operasi itu saya bisa pinjamkan. Saat saya menulis ini, di ureter saya masih ada selang sepanjang 24 sentimeter. Ini bagian dari penyembuhan pascaoperasi. Dua minggu atau tiga minggu paling lambat setelah operasi, selang itu harus dicabut. Tapi, untuk melepas selang itu saya tak harus berbaring di teater lagi. “Tak di ruang operasi lagi. Juga tak lama, satu menit saja,” kata Dr. Cheng. []