Wednesday, May 18, 2011

[Kolom] Janji Sebuah Kursi Roda untuk Ibu Kedua

SENJA, dalam perjalanan dari kantor ke rumah, disergap kenangan pada seseorang yang bagi kami adalah ibu kedua, serta teringat pada sebuah janji padanya – ini paduan yang membuat saya menangis dari balik setir.  Saya menangis.  Benar-benar menangis.

*

Kami – para kemenakannya – memanggilnya Angah. Namanya Siti Fatimah. Ia dipanggil begitu karena ia anak kedua dari kakek-nenek kami.  Paman atau bibi tertua kami panggil julak. Lalu setelah  angah, berturut-turut paman dan bibi kami – saudara orang tua kami – dipanggil acil atau antin bila perempuan, nanang bila ia laki-laki, dan dan busu untuk si bungsu. Begitulah tata-krama menghormati orang-orang tua, mengagungkan perkerabatan dan pertalian darah, dengan cara memanggil mereka dalam bahasa kami, Bahasa Banjar. 



Angah meninggal. Abah yang menyampaikan kabar itu padaku. Saya terkejut, meski sudah lama tahu, bahwa Angah tak lagi sehat. Kira-kira sebulan sebelumnya, Angah minta saya menelepon dia. Ia jarang minta saya menelepon, bahkan nyaris tak pernah.  

Saya bicara padanya, sesekali, lewat telepon, sekalian saja kalau saya menelepon ibu atau ayah saya.  Atas permintaannya kala itu, saya menelepon Angah lewat ponsel Busu, yang tinggal bersamanya. Ia bertanya kapan saya pulang lagi ke kampung – tentu saya jawab nanti kalau ambil cuti dan anak-anak libur.  Saya bertanya soal kesehatannya, dia menceritakan soal nafasnya yang sesak. Saya bisa pastikan itu dari suaranya yang berat.

Beberapa bulan sebelumnya, saya sekeluarga pulang kampung, dan kami bertemu. Rumah Angah tepat di sebelah rumah orangtua saya.

“Kalau kamu pulang kampung lagi nanti, mungkin Angah sudah tidak ada,” katanya. Seakan mengabarkan firasat bahwa umurnya tak akan panjang lagi.
  
*

Ya, bagi kami – para kemenakannya – Angah adalah ibu kedua. Ia sendiri tak punya anak kandung. Sampai ajal menjemputnya, ia tak pernah menikah.  Uang hasil kebun kelapanya, warisan dari kakek kami, ia dermakan untuk biaya sekolah kami, para kemenakannya.

Saya ingat, waktu kanak-kanak di sekolah dasar, saya berjualan es blok. Ini sejenis es yang dicetak di tuangan alumunium dan disekat-sekat. Sekatan-sekatan itu membentuk potongan es seperti balok-balok kecil.  Di sekolah banyak juga anak-anak lain yang berjualan.  Persaingan lumayan ketat. Saya punya siasat dagang juga.  Siapa yang membeli es saya, saya beri bonus gambar – kemampuan menggambar saya sejak kecil memang sudah bisa diandalkan. Ya, maksudnya, saya akan gambarkan sesuatu di buku gambar kawan-kawan yang membeli es saya. 

Jika es dagangan saya tak habis, saya harus menjualnya lagi di kampung sepulang sekolah. Jika hingga petang tak habis juga, Angah suka memborong habis semua es yang tersisa.  Satu termos panjang, berisi 40 potong es blok. Satu blok harganya waktu itu Rp25. Tiap sepotong es yang terjual saya dapat upah Rp5.  Itu artinya, jika habis satu termos saya dapat menabung Rp200, plus bonus dua potong es, yang bisa saya makan atau jika saya jual saya dapat tambahan penghasilan Rp50.

Saya kira, dengan begitu – dengan sesekali membeli habis sisa es dagangan saya – Angah mengajarkan bagaimana dia menghargai arti pekerjaan dan bekerja.  Dan pelajaran amat berharga itu ia ajarkan dengan cara lain. Angah kami seorang yang hidup dengan keterbatasan.  Sewaktu kanak-kanak dia sudah menunjukkan kecerdasannya.  Ia lekas tamat mengaji Alquran. Tapi ia tak sampai tamat Sekolah Rakyat. Sakit polio membuat kedua kakinya tidak tumbuh normal, mengecil dan lemah. Seperti sebatang bamban.  Ia sempat memaksakan juga sekolah, meskipun dalam perjalanan ke sekolah – melewati jalan desa yang becek dan bersemak - ia harus puluhan kali tersandung dan jatuh.

Kakinya makin lama makin rapuh. Ia tak lagi bisa berdiri, dan akhirnya hanya bisa bergerak dengan berkisut mengandalkan dua tangan.  Punggungnya tak lagi lurus, tetapi berundak seperti tangga satu tingkat.  Ia suka kalau kami – ketika masih kanak-kanak dulu - duduk  bermain di situ, di punggungnya yang datar itu.

Begitulah, Angah tidak pernah meratapi cacatnya.  Dengan separoh badan normal dan tangan yang kuat dan cekatan, ia tak pernah diam. Ia mencuci pakaian orang serumah – cuciannya sangat bersih, karena ia sikat dan kucek lama sekali – tanpa pernah minta bayaran.  Ia juga pandai menganyam ketupat, dan ia menjadi guru mengaji bagi kami para kemenakannya.

Sejak kakinya lumpuh, sampai ajal menjemput, Angah tak pernah ke mana-mana. Ia hanya bergerak di dalam rumah.  Ia membereskan tempat tidur sendiri, mencuci pakaian di pagi hari, mandi dan berkemas badan setelah itu, tidur siang, sembahyang, mengaji, makan, dan bercakap-cakap dengan siapa saja yang datang mengunjunginya. 

Angah pendengar yang baik.  Jika kami berkumpul saat libur sekolah atau kuliah, ia suka bertanya bagaimana kabar sekolah kami dan ia dengan penuh rasa ingin tahu mendengarkan cerita kami.  Ia selalu terharu gembira ketika kami pulang libur, dan melepas kami pergi lagi dengan linang air mata.

Saya membayangkan betapa membosankannya hidup Angah. Sehingga, dulu, mungkin ketika saya SMA, atau mungkin sudah kuliah di tahun pertama, saya pernah berjanji padanya. Nanti saya akan belikan kursi roda untuk Angah. Saya akan membawanya dengan kursi roda itu keliling kampung, dan kelak kalau saya punya mobil, saya akan bawa Angah ke kota.  Angah tertawa senang mendengar apa yang saya janjikan itu. Ia mungkin mengira saya main-main saja untuk menghibur dia.

*

Angah meninggal dengan tenang. Setelah adik bungsunya meninggal beberapa tahun lalu, Angah dirawat – termasuk disuapi makan - oleh sepupu kami, kemenakan yang tinggal serumah dengan Angah. Tiga hari menjelang ajal menjemput, ia tak mau makan banyak.  Dan pagi itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. 

Ayu, sepupu kami yang di hari-hari terakhir menyuapi Angah makan, dengan mata berurai tangis berlari ke rumah sebelah, rumah masa kecil saya. Ayah saya segera memeriksa Angah. “Angah sudah tidak ada lagi,” kata Ayah saya. Ia segera menelepon saya.  “Angahmu meninggal, baru saja.”   Ya, semuanya berasal dari Allah, dan kepada-Nya, segalanya kembali.  Tak lama berselang, adik-adik saya juga mengabarkan berita duka itu kepada saya. “Ya, saya sudah dengar dari Abah,” kata saya.

*

Senja, dalam perjalanan dari kantor ke rumah, disergap kenangan pada Angah, serta teringat pada janji membelikan dia kursi roda dan mengajaknya jalan-jalan ke kota – janji yang tak mungkin bisa saya tunaikan lagi - membuat saya menangis dari balik setir.  Janji yang tak terpenuhi itu, jauh lebih menyesakkan dada, daripada rasa sesal lain sebab saya bahkan tak sempat menghadiri pemakamannya. Saya tak ikut berdiri menyembahyangkan jenazahnya.  Saya menangis.  Benar-benar menangis.  []