Friday, January 28, 2011

Lelaki ke-15 dan Seorang Perempuan yang Tak Sempat Ia Ajak Menulis Sajak Bersama

                                                      :  Totot dan Djenar

1. KAFE kecil itu adalah gelas besar. Melarutkan buntu malam. Kita, yang singgah lama di sana, adalah prajurit-prajurit catur terlempar, nyaris ke batas garis luar.
 
2. Meja kayu tak bertaplak, tak berpetak, berbisik pada papan catur, "hilangkan saja garis batas, antara hitam dan putih itu." Tapi, kita perlu tegas berbeda, kita suka ada banyak beda: kotak warna di papan yang sama.

3. DI dinding, siluet tebal, lelaki berambut gimbal, mendongeng tentang perang, persaingan dagang, bagi menguasai biji kopi Toraja, sambil memastikan seduhan kesekian gelas untuk kita itu telah cukup kental. 

4. Semalam ada penyair di sini. Lari dari sepi: rumah dinas yang menyendirikannya. Malam, di sana, kerap menjadi seperti waduk kosong, jika dada yang tipis itu tak lagi tertanggul.

5. Malam adalah pengasuh yang enggan, tapi adakah lain pilihan? Kita anak-anak kehidupan hilang ayah dan tak tahu dimana ibu, sampai nanti, pagi memulangkan kita ke panti, di mana harapan yang piatu itu diasuh dan dibesarkan.

6. Siapa di rak buku itu? Nama kita, nama yang melupakan kita. Tiap napas: sepasang hirup dan hembus, adalah kalimat tidak sederhana, dengan gumpal tanda tanya di ujungnya. Kita tak bisa berhenti bertanya, kita terus mempertanyakan pertanyaan kita.

7. Kita yang lama mengawani sunyi, tak pernah baik mengenal sunyi. Berpapasan dengannya, kita ragu dan kecut, tapi tak bisa menghindar. "Kesunyian dan kesendirian adalah cabang filsafat yang tak pernah selesai dirumuskan," kata profesor yang tertinggal ajarannya, padahal sudah beberapa jam lalu dia pulang entah ke rumah yang mana.

8. Aku suka menghabiskan, pisang goreng dengan keju yang ditaburkan. Seperti jatuh kembang kelapa, saat lebat hujan. Aku penyungkal tunas kata. Mana alamat kebunmu? Mari kuantarkan ke sana dan kutanam apa yang kujunjung di kepalaku ini.

9. Bagaimana sebuah kota meninggalkan jejaknya dalam serbuk teh? Lalu melangkah ke gelas kita? Mari minum, sebelum seduhan ini meranum. Seteguk dahulu, lalu endapkan di sudut mulut. Seteguk lagi, sama pelannya, agar sezarah sejarah tak membuat kita mendadak tersedak.

10. Kita membicarakan, seseorang yang tidak bisa berbahagia. Dia yang memaki juru parkir, mengeluhkan internet yang lelet. Aku sangka ada getah pisang bajunya. Seperti di bajuku juga.

11. Kita membayangkan pohon berbeda, tumbuh dari papan catur yang melebar, mengejar tepi cakrawala! Maafkan, jika pohonku cuma pohon pisang: yang ini kali kutambah tetes darah pada kelepak kelopak jantungnya. 

12. Sudah pukul berapa? Siapa yang akhirnya bertanya? Jam yang tak peduli, hampir saja bunuh diri, tapi pertarungan kita dengan waktu juga hanya sia-sia. Satu per satu, bidak didepak, disingkirkan.

13. Kafe kecil ini, adalah dapur dari rumah yang jauh, walaupun di sini tak ada ibu, dan bunyi laci mesin kasir itu seperti pisau rajang, mencincang rimpang waktu.

14. Aku melihat kamu, perempuan. Bertepuk tangan untuk sebuah pertempuran. Skak-mat yang menjatuhkan! Ia bayangkan jari dan telapak tangannya memercikkan darah! Semalam, bermalam-malam, telah ia rekam adegan untuk sinema yang tak akan pernah bisa kau saksikan.
 
15. Aku kira, ada satu puisi yang bisa kutulis bersamanya, bergantian: bait-bait tentang papan catur; tentang bidak-bidak kata yang riang melompati petak-petak, mempermainkan makna kita, menggembirakan resah bahasa.