Wednesday, January 5, 2011

[kolom] Saya Percaya pada Demokrasi

BAGI saya, kesederhanaannya mengesankan. Lelaki berpostur kecil itu amat bersahaja. Kulit wajahnya bersih tapi legam. Rambutnya seakan hanya disisir sekenanya, begitu saja, sama sekali tak ada tampak sentuhan penataan khusus. Dia berbatik, kemeja yang paling sering ia kenakan di banyak kesempatan, resmi ataupun tak resmi.

"Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga hukum produk era reformasi yang paling berhasil," katanya di depan kami peserta pertemuan Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Grup.



Saya hadir di forum itu. Dia, lelaki yang bicara dalam suasana akrab jauh dari formal itu adalah Profesor Mohammad Mahfud M.D. Dia, Ketua MK yang kedua, sejak lembaga itu berdiri tahun 2003. Ia meneruskan tugas Professor Jimly Asshiddiqie, ketua MK yang pertama.

Apakah MK? Menurut UUD 1945, lembaga ini berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir - dan putusannya bersifat final, jadi tidak ada urusan naik banding - untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

MK juga berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan hasil Pemilihan Umum.

Bagi orang kebanyakan, inilah peran MK yang paling banyak diketahui: mengurusi Pilkada. Pernah MK dikritik, kenapa terlalu sibuk mengurusi Pilkada saja? Pengritik seharusnya membaca lagi UUD 1945 yang sudah diamandemen. Ini memang wewenang yang diberikan pada MK.

MK juga wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.

Nah, secara singkat itulah MK. Beberapa negara ASEAN datang ke negeri ini belajar bagaimana kita membentuknya. Ini tentu saja, seharusnya membanggakan kita.

*

Sepanjang tahun 2010, MK memang disibukkan dengan sengketa pemilihan umum. Sepanjang tahun itu lembaga ini telah menerima 366 permohonan perkara. Apa materi permohonan itu? Ada pengujian undang-undang (UU), sengketa pilkada, juga sengketa kewenangan lembaga negara.

Sebagian kecil permohonan itu ditolak. Ada 312 diantaranya yang diregister, dan - nah ini dia - 73 persen dari perkara itu adalah sengketa Pilkada, dengan kata lain ini adalah sengketa dalam penyelenggaraan demokrasi.

Ya, demokrasi kita masih lemah. Tepatnya, sistem penyelenggaraan demokrasi kita masih lemah. Ini adalah kesimpulan dari laporan akhir tahun Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyimpulkan, kelemahan itu terlihat baik di sisi penyelenggaraan, pengawasan, institusi penegakannya, serta aturan mainnya.

"Jika sistem penyelenggaraan demokrasi sudah kuat dan baik, tentu semua pelanggaran pidana dan administratif akan tuntas sebelum perkara diajukan ke MK," kata Ketua MK Mahfud MD, sebagaimana dikutip Kompas (Selasa, 4 Januari 2011).

Di Hotel Ciputra, siang di bulan November tahun lalu itu, Mahfud bercerita betapa sibuknya para hakim konstitusi. Mereka menggelar sidang secara maraton. Lalu, saat itu mereka dihantam lagi dengan isu suap yang diterima oleh salah satu hakim konstitusi. "Saya sudah siapkan surat mundur. Kalau terbukti ada suap, saya tinggal teken, saya mundur," katanya, ringan, tanpa beban.

Saya mengingat-ingat lagi pertemuan dengan lelaki kelahiran Sampang, Madura, itu, setelah berjalan keluar dari TPS 13, Tiban Indah, dengan bekas tinta di kelingking. "Akankah Pilwako Batam ini juga akan dibawa ke MK?" saya bertanya-tanya sendiri. Saya berharap jawabannya adalah tidak.

Datang ke TPS bersama istri saya, memilih salah satu dari lima kandidat walikota yang saya yakini terbaik untuk memimpin Batam, secara sadar, bagi saya adalah bagian dari proses demokrasi. Betapa pentingnya sistem ini, tapi rasanya saya sebagai anak bangsa tak banyak diajari bagaimana memahaminya dan bagaimana ikut terlibat menyelenggarakannya sehingga itu bermaslahat buat bangsa.

*

Kepastian hukum dan demokrasi itu seperti darah dan tubuh. Jika demokrasi adalah tubuh, maka kepastian hukum adalah darahnya. Demokrasi akan kuat jika hukum ditegakkan dengan setegak-tegaknya. Dua dari sebelas prinsip-prinsip dasar demokrasi adalah persamaan di depan hukum, dan proses hukum yang wajar.

Apa yang kita hadapi di negeri ini adalah hukum yang oleng. Beberapa tiangnya miring. Itulah tugas kita, orang per orang, lakukan apapun yang bisa kita lakukan untuk sama-sama menegakkan tiang itu. Ini proses yang menyakitkan, melelahkan dan mudah sekali bikin kecewa.

"Setelah setiap transformasi dari sistem otoriter ke demokrasi, ada tahap euforia dan kemudian tahap kecewa. Dan itu fenomena biasa," kata Vaclav Havel dalam wawancara di Kompas, minggu lalu. Havel adalah sastawan politisi yang menggerakkan Revolusi Beludru yang membebaskan Cekoslovakia dari rezim komunisme pada tahun 1989, dan kemudian negara itu terpecah menjadi dua: Ceko dan Slovakia. Ia adalah presiden Ceko yang pertama.

Kita, sebagia besar dari kita, pasti ada pada tahap yang disebut oleh Havel: kita sedang kecewa. Kecewa dengan apa saja yang tak juga beres di negeri ini. Tapi, kita tak boleh berhenti.

Kita - sejak awal berdirinya negara ini - memilih sistem demokrasi untuk menata urusan bersama di negeri ini. Ya, demokrasi, kata yang dibentuk dari dua kata "demos" yang berarti "rakyat" dan "kratos" yang berarti "kekuasaan", sebagaimana diperkenalkan oleh Aristoteles.

Secara sederhana kita memahami demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM - jauh sebelum agama-agama besar diwahyukan - di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena. Jadi, demokrasi bukan dari Amerika, meskipun sekarang, negara inilah yang paling getol mempromosikannya. Amerika, dengan trauma sejarah, perang saudara ratusan tahun, sudah meyakini inilah sistem penyelenggaraan negara yang paling mungkin.

Demokrasi pasti tidak sempurna. Ada sekelompok orang dengan pikiran ekstrem bahwa demokrasi adalah sampah. “Itu adalah pemikiran manusia, dan setiap yang datang tidak dari Allah adalah sampah buat saya,” kata seorang yang saya kenal dalam sebuah perbincangan. Dia membayangkan sebuah negara dengan sistem lain. Dia amat yakin, dengan system ideal yang ia yakini itu, dunia akan damai, masyarakat makmur, hokum tegak. Saya tidak membantahnya. Demokrasi, yang sekarang saya yakini dengan segala kelemahanya, memungkinkan orang berpikiran seperti itu.[]