Tuesday, January 11, 2011

Apa Kabar, Gayus?

HALO, Bung. Apa kabar? Aku lihat kamu gemuk sekarang. Jauh lebih gemuk dibandingkan saat aku lihat kamu di pasfoto yang banyak beredar setelah namamu menjadi sangat terkenal di negeri ini. Berapa berat badanmu sekarang?

Di pasfoto lama itu, kamu tidak keren. Rambutmu kucluk, dengan kemeja, dasi dan jas itu tampak sekali amat murahan. Ekspresi wajahmu tak berubah, Bung. Kamu harus belajar tersenyum. Tapi, saya suka tatapanmu: tatapan anak muda penuh harapan, tatapan orang yang tenang dan berani ambil risiko.


Kamu sehat, bukan? Aku melihat kamu menangis di persidangan. Aku sesekali tertarik juga melihat tayangan sidang-sidangmu. Kamu bilang, kamu keluar tahanan - dengan membayar petugas-petugas yang seharusnya menjagamu agar tak bisa keluar bebas - karena kangen pada istrimu. Hm, aku percaya kamu sayang sekali pada istri dan anak-anakmu. Saya yakin, karena merekalah kamu ambil risiko, manfaatkan kesempatan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dan menumpuk di rekeningmu. Berapa itu? Rp100 miliar? Banyak ya? Kamu bayar zakat tidak? Zakat profesi? Setahuku tidak ada zakat korupsi. Kamu infakkan berapa ya dari harta kekayaanmu sebanyak itu?

Gayus, kamu di foto lama itu kurus sekali dengan latar belakang kain merah. Itu pasfoto tahun berapa ya? Itu foto kamu pakai untuk melamar jadi pegawai negeri ya? Kamu waktu itu baru lulus STAN sepertinya? Tahun 2000? Ya, waktu sepuluh tahun cukup untuk membuat kita menjadi gemuk, apalagi kalau pekerjaan kita bagus, posisi kita basah.

Aku tak mengerti tataorganisasi di Ditjen Pajak tempatmu bekerja sebagai pegawai negeri golongan III A. Tapi, sepertinya namanya memang basah: Bagian Penelaah Keberatan pada Seksi Banding dan Gugatan Wilayah Jakarta II Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Indonesia.

Oh, ya, Anda sudah dipecat ya? Hmm, tapi tabunganmu sudah banyak sekali, bukan? Aku hanya mencoba menghitung-hitung: berapa kamu pakai untuk menyuap petugas di rumah tahanan Brimob, berapa kamu bayar untuk dapatkan paspor palsu atas nama Sony Laksono (betul dia lahir tanggal 17 Agustus?), berapa yang kamu bayarkan untuk pengacaramu. Hm, masih banyak sisa ya? Itu kalau usul Ketua MK Mahfud MD tidak bersambut. Dia usulkan agar koruptor seperti kamu dimiskinkan saja. Bisa saja hartamu disita oleh negara, bukan? Supaya kolega sejawatmu tidak tertarik untuk meniru apa yang kamu lakukan, Gayus.

Gayus, jaga dirimu. Di tahanan jangan lupa sembahyang ya. Perbanyak tahajud dan salat dhuha, supaya rezekimu makin lancar. Perbanyak zikir. Aku suka kamu bilang di sidang bahwa kamu ingin membantu KPK membongkar mafia pajak di negeri ini. Tak usah jadi staf ahli ya? Cukup beri data saja, beri kesaksian yang sahih saja. Sebutkan nama-nama penyuapmu. Paparkan perusahaan yang pajaknya kamu bantu untuk dimanipulasi.

Tapi, aku cemas, Bung. Aku cemas kamu tahu terlalu banyak, dan itu artinya cukup alasan bagi banyak pihak untuk menghabisi nyawamu.

Jangan banyak-banyak bepergian lagi, Bung. Para petugas pasti masih mau saja menerima suapmu, membantu kamu lolos dari pemeriksaan apapun. Kami mungkin diberi model wig dan kacamata yang lain. Ah, di Indonesia, saat ini, dengan uang sebanyak yang kamu punya, apa sih yang tak bisa dibeli? Tapi, jangan-jangan nanti di pesawat kamu akan diracun. Dan kamu akan meregang nyawa bersama segala data dan hal-hal yang kau ketahui. Aku cemaskan itu, Bung.

Gayus, terima kasih. Aku ingin dengan tulus mengucapkan itu. Kamu sendiri, dengan apa yang sudah kau lakukan, sudah cukup untuk menunjukkan pada dunia, betapa compang-campingnya hukum di negeri ini. Kamu sudah dengan sangat baik membuat banyak orang di negeri jadi putus asa, tak punya harapan lain bahwa perbaikan di negeri ini masih mungkin dilakukan!

Aku masih terus mencoba belajar mencintai negeri ini. Negeri yang sudah kunikmati uluran tangannya lewat sekolah Inpres di kampungku dulu. Negeri yang mengirim puksesmas, mantri kesehatan dan dokter ke kampungku, kampung yang dibangun sendiri tanpa bantuan pemerintah oleh kakekku dan kawan-kawannya, para lelaki pemberani, penakluk rawa, perambah hutan bakau dan dengan gigih mengubahnya jadi perkebunan kelapa.

Gayus, tahukah kau dengan uangmu itu, dan uang-uang pajak lain yang pasti sangat banyak digelapkan dengan berbagai cara pasti rasio panjang jalan di negeri ini terhadap luas wilayah bisa mencapai lima persen. Saat ini, bung, rata-rata panjang jalan di negeri ini di bawah empat persen dari luas wilayah. Kita miskin sarana transportasi, Bung.

Kalau uang negara, termasuk uang pajak utuh seluruhnya tertagih dan dimanfaatkan untuk membangun, pasti listrik bisa lebih merata dialirkan. Saat ini, hanya Jakarta yang 100 persen tingkat elektifikasinya. Disusul Yogya yang mencapai hampir 85 persen, dan selebhnya dibawah 80 persen. Di Kepri, hanya 55 persen penduduk yang menikmati listrik. Dan di NTT, Bung, kamu tahu? Di sana hanya seperempat penduduk yang bisa memanfaatkan listrik.

Ini negeri kita masih parah kondisinya, Bung Gayus. Tolong kamu berubahlah. Jadilah motivator antikorupsi. Nanti, setelah beres segala proses hukummu, setelah kau jalani masa hukumanmu, hiduplah sederhana saja. Jual saja apartemen mewah senilai Rp600 juta di kawasan Cempaka Mas hadiah perkawinan dari mertuamu itu. Harga jualnya sekarang pasti sudah berkali lipat, bukan?

Lalu, kau jadi penceramah, terutama di kantor tempatmu bekerja dahulu. Sadarkan mereka: Jangan menggelapkan pajak, jangan korupsi, jangan layani perusahaan yang mengajak kalian memanipulasi hitung-hitungan pajak. Jadilah contoh, bahwa orang bisa hidup tanpa korupsi. Berceramahlah juga di pengadilan. Ajaklah berceramah juga para hakim-hakim yang dipecat karena terlibat kasus bersamamu itu.

Untuk hidup kamu bisa berbisnis dengan jujur saja. Dengan sisa hartamu, pasti kamu bisa jalankan bisis dan punya pendapatan lebih dari Rp12 juta, senilai gaji terakhirmu sebagai PNS, sebelum kami dipecat.

Rp12 juta? Aku rasanya bisa hidup dengan sangat cukup dengan penghasilan sebesar itu, Bung. Sesekali, aku bisa sedikit menolong orang yang tak mampu, mengeluarkan zakat harta, dan nah ini gaya hidupku yang paling boros: membeli buku-buku bagus! Celakanya rakus buku ini menular ke dua anakku.

Bung, aku sangat bersyukur karena masih punya waktu untuk membaca. Kamu suka baca? Nanti kusarankan beberapa judul yang layak kamu baca. Mungkin serial buku karya Richard Templar cocok untukmu. Oh ya, Warren Buffet dalam satu DVD dokumenter yang aku tonton - ini hobi baruku, Bung - mengeluh karena kemampuan membacanya sekarang sangat lambat. Dia sudah tua, memang.

Kamu masih muda, Bung, delapan tahun lebih muda dari aku.  Jadi, saya kira kamu memang bagus kalau memulai kebiasaan baru: membaca. Siapa tahu kamu bisa menulis juga nanti. Ini cara halal untuk jadi tambah kaya. Mulailah dengan membaca suratku ini. Sekian. Wassalam.