Wednesday, August 13, 2008

Dikurung Kepungan

Sajak Mahmud Darwis


DI sini di kemiringan perbukitan,
bertatapan dengan debu dan meriam waktu
tak jauh dari taman bayang-bayang patah
kami perbuat apa yang bisa diperbuat para tahanan,
apa yang bisa diperbuat para pengangguran:
Kami bertani harapan.


*

Sebuah negeri menyiapkan sebuah fajar.
Kami tumbuh tapi tak punya banyak kepintaran
untuk menyaksikan jam-jam kemenangan:
Tak ada malam pada malam-malam kami
yang diterangi nyala geranat
musuh kami tak lepas awas dan nyalanya cahaya kami
ada dalam kegelapan ruang bawah tanah.


*

Di sini tak ada "aku".
Di sini Adam terkenang debu dari tanah tubuhnya.


*

Di ambang maut, dia berkata:
Aku tak tinggalkan jejak yang kelak terhapus:
Bebas, aku begitu dekat dengan kebebasanku.
Masa depanku ada di tanganku sendiri.
Segera aku masuki kehidupanku,
Dan seperti namaku aku akan memilih
huruf-huruf biru selangit biru...


*

Engkau yang berdiri di lorong itu, masuklah.
Teguk kopi arabika bersama kami
dan kau akan tahu, engkau lelaki seperti kami
Engkau yang berdiri di lorong rumah itu
keluarlah di pagi-pagi kami,
kita akan merasa ditenteramkan
karena kita jantan seperti engkau!


*

Ketika pesawat terbang lepas pandang, putih,
putih merpati lepas terbang dan membasuh
pipi-pipi firdausi, dengan sayap tak terjerat,
menjemput cahaya, menjemput apa yang jadi hak kita,
dari zat kehidupan, dan dari permainan. Makin tinggi,
lebih tinggi, putih, putih merpati, terbang.
Ah, seandainya hanya langit saja
yang nyata ada (seorang lelaki, melintas
di antara dua bom, padaku ia berkata).


*

Pepohonan sipres di belakang serdadu,
menara-menara kecil menjaga langit dari
keruntuhan. Di belakang pagar baja
serdadu buang-urine di bawah tatapan mata tank -
Hari-hari musim luruh yang cemerlang menghabiskan
pengembaraan di jalan lebar selebar gereja
sebubar ibadah Minggu....


*
(untuk seorang pembunuh) Bila engkau renungkan
wajah para korbanmu itu, dan memikirkan lebih jauh,
engkau akan mengenang ibumu di kamar gas racun,
kau akan bebas dari alasan untuk mengokang senapan,
dan pikiranmu akan berubah: ini bukan lagi jalan
untuk menemukan jati diri, diri sendiri.


*

Kepungan ini adalah periode penantian. Penantian
pada kemiringan tangga di tengah amuk badai.


*

Sendiri, kita hanya sendiri jauh di bawah sedimen
yang tidak akan pernah disinggahi pelangi.


*


Kita punya saudara di balik ruang luas ini.
Saudara yang cemerlang. Mereka mencintai kita.
Mereka melihat dan meratapi kita.
Lalu, dalam gerakrahasia, mereka saling bisik:
"Ah, seandainya kepungan ini telah dipernyatakan ..."
Mereka tak selesaikan kalimat yang hendak diucapkan,
"jangan tinggalkan kami, jangan abaikan kami."


*


Kami kehilangan: dua hingga delapan martir tiap hari.
Dan sepuluh orang cidera,
Dan dua puluh rumah hancur.
Dan lima puluh pohon zaitun tumbang...
tambahkanlah semua itu ke dalam struktur cacat itu,
apa yang kelak datang dalam puisi, teater, dan
kanvas yang tak terselesaikan.


*


Seorang perempuan berkata pada awan:
selimuti kekasihku, karena pakaianku
basah terbilas merah darahnya.


*


Bila engkau bukan hujan itu, sayangku
jadilah engkau pohon,
lebat dengan kesuburan, jadilah pohon.

Bila engkau bukan pohon, sayangku
jadilah batu
jenuh dengan kelembaban, jadilah batu

Bila engkau bukan batu, sayangku
jadilah bulan
dalam mimpi perempuan terkasih, jadilah bulan
(Seorang perempuan meratap
di pemakaman anaknya)


*


Oh serdadu yang berjaga, tidakkah engkau letih
berbaring menunggu nyala cahaya garam kami
dan takkah kau letih menunggu pijar mawar
yang tumbuh dari nganga luka kami?

Tidakkah kau letih, Oh serdadu yang berjaga?


*

Sedikit saja dari biru yang mutlak dan
tak berbatas ini telah jadi cukup
untuk menyalakan beban waktu ini
untuk mencuci lumpur di tempat ini.


*


Serahkanlah pada jiwa yang datang dari gunung itu
dan dengan kaki sutranya melangkah,
bersisiaan, berpegang tangan, seperti dua
sahabat lama, berbagi santap roti lama
minum anggur dari gelas antik yang sama.

Bisakah kita melangkah di jalan ini bersama
dan kemudian hari-hari kita menuju
arah yang berbeda:
Aku, melampaui alam raya, dalam persimpangan
akan memilih berlutut di sebuah batu karang.


*


Di atas reruntuhanku, bayangan jadi hijau,
dan serigala tertidur sejenak dalam kulit kambingku
dia bermimpi seperti mimpiku,
seperti mimpi para malaikat itu,
bahwa kehidupan itu ada di sini, bukan di atas sana.



*


Dalam kurungan kepungan, waktu menjadi ruang
menusuk ke keabadian

Dalam kurungan kepungan, ruang menjadi waktu
yang tak kehilangan kemarin dan keesokan.



*


Para suhada melingkariku, setiap hari aku
hidup dalam hari yang baru
Dan mereka bertanya: di mana kamu? Ambil semua kata
engkau harus kembalikan kami ke kamus-kamus
dan membebaskan mereka yang terlelap dari dengung gema.



*


Para suhada mencerahkanku: Di selampau ruang lapang ini
aku tak mencari
perawan yang hidup abadi bagi cinta hidupku
di bumi, di tengah pohon kurma dan pina,
tapi aku tak bisa mencapai itu, lalu, pun aku membidiknya
dengan apa yang terakhir kupunya: darah dan tubuh biru.



*


Para suhada memperingatkanku: jangan percaya lolongan mereka
percayalah bapaku ketika ia meratap, dia menatap potretku
bagaimana kita bertukar nasih, anakku, bagaimana bisa
kau mendahului aku. Akulah yang pertama,
seharusnya aku yang lebih dahulu!



*


Para suhada melingkariku: tempatku dan perabotan sederhana
adalah segala apa yang aku punya.
Aku bawa seekor gazel ke ranjangku,
dan bulan sabit di jemariku
agar tenteramlah deritaku.


*

Kepungan ini akan berakhir agar kita teryakinkan
bahwa kita harus memilih sebuah penghambaan
yang tak menusukkan luka, dalam kebebesan sepenuhnya!



*


Perlawanan berarti meyakinkan diri sendiri bahwa
jantung akan tetap keras berdetak, testikel masih
penuh sperma, dan ada wabah ganas berjangkit:
wabah harapan.


*


Dan dalam apa yang tersisa dari fajar, aku berjalan
keluar luar rumah.
Dan dalam apa yang tersisa dari malam, aku dengar
ada langkah kaki di dalam diriku.


*

Bersapaan dengan sesorang yang denganku ia berbagi
sapaan, pada cahaya yang mabuk, cahaya kupu-kupu,
dalam kegelapan terowongan ini!



*

Bersapaan dengan seseorang yang bergantian memakai
kacamata denganku, dalam kekepekatan malam menikam
dua ruang: bersapaan dengan apa yang asing padaku.



*


Kerabatku selalu mempersiapkan pesta perpisahan untukku,
Sebuah kuburan duka dalam bayang pohon oak
epitap waktu pada batu marmer
Dan aku selalu membalas mereka di pemakaman:
Siapa lagi yang mati, siapa lagi?


*


Tulisan, adalah si muda congkak menggigit kekosongan
Tulisan, melukai tanpa jejak darah.


*

Gelas mangkuk kami. Burung, pepohonan hijau
dalam bayang biru, matahari melompat dari
dinding ke dinging seperti gazel
Air di awan tak berbatas bentuknya, apa
yang tersisa bagi kita dari angkasa. Dan
hal lain dari kenangan yang terbendung
terbuka di pagi ini, menderu deras,
bertamu ke keabadian, dan itulah kita.



(Diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris oleh Marjolijn De Jager, lalu ke Bahasa Indonesia oleh Hasan Aspahani).