Wednesday, August 13, 2008

Puisi yang Ditakuti Perdana Menteri




BISAKAH puisi kini menggentarkan seorang perdana menteri? Bisa. Itu terjadi di Israel. Perdana Menteri Ehud Barak tahun 2000 lalu, menolak proposal Menteri Pendidikan Yossi Sarid yang mengusulkan agar sajak-sajak penyair Mahmud Darwis dimasukkan kurikulum untuk dibaca dan dipelajari murid-murid sekolah di negeri Yahudi itu. "Masyarakat akar rumput belum siap membaca sajak-sajak itu," kata Ehud Barak.

Siapakah Mahmud Darwis? Di paspor lelaki berkaca mata tebal dan perokok berat itu menyebut diri seorang Arab (sebagaimana ia tegaskan dalam sajaknya, "catat, saya seorang Arab") tapi sesungguhnya ihwal kewarganegaraan di dalam jiwanya tampaknya sulit dirumuskan.

Pada usia tujuh tahun ia harus meninggalkan kampung kelahirannya di Palestina. Tentara Israel datang menjajah dan mengangkangi wilayah itu hingga ia meninggal 9 Agustus lalu. Ia mengungsi ke Lebanon bersama keluarganya. Ketika Israel membangun kamp penampungan, keluarga itu kembali tapi ayahnya yang sebelumnya tuan tanah tak mendapatkan lagi hak atas lahannya. Ia belajar membaca dari kakeknya, sedang ibunya buta huruf.

Mahmud tumbuh dalam situasi kejiwaan seperti itu: tinggal di tanah sendiri tetapi dengan identitas yang kacau. Lahir dari keluarga Sunni, di tanah yang dikuasai Yahudi. Ia fasih berbicara dalam bahasa Ibrani, Inggris dan Prancis, tetapi teguh menulis sajak dalam Bahasa Arab.

Ia mulai menulis sajak sejak sekolah menengah. Buku kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1960 ketika dia masih berusia 16 tahun. Empat tahun kemudian, ia memantapkan reputasi sebagai penyair lewat buku kedua Awraq Al-Zaytun (1960).

Setelah tamat sekolah ia pindah ke Haifa dan ambil bagian dalam aktivitas politik di negeri itu dengan bergabung dengan partai komunis Israel, Rakah. Ia menghidupi diri dengan bekerja sebagai jurnalis. Sejak itu mulai pula ia berkenalan dengan penjara dan kerap dikenakan tahanan rumah, salah satunya karena kerap bepergian keluar Israel tanpa izin penguasa.

Bila kemudian ia dikenal sebagai aktivis PLO dan penyair Palestina yang paling keras terdengar suaranya, ia dianggap paling fasih menerjemahkan keterusiran dan harapan rakyat Palestina - ia menulis lebih dari 30 buku sajak dan delapan prosa, dan diterjemahkan ke 20 bahasa - maka sesungguhnya ia menulis dengan obyek sajak yang sama dengan penyair Israel Yehuda Amitchai, penyair yang ia kagumi. Ia menyebut nama-nama tempat yang sama, seakan memuja tanah air yang sama. "Kami seakan bersaing, siapa yang menuliskannya dengan lebih baik," katanya.

Ah lukaku yang degil!
Tanahairku bukan jas-jubah
Aku bukan musafir
Aku kekasih dan tanah air ini belahan jiwa.

Tema-tema utama sajak Darwis adalah takdir tanah kelahirannya. Darwis memberdayakan kosa kata yang sederhana dalam sajak-sajaknya, imaji-imaji berulang: nganga luka, darah, cermin, batu, dan perkawinan.

Darwish kerap menyapa pembaca sajaknya dengan hujah yang sengit, semacam pembelaan, atau pertahanan, seperti suara ramalan dari sebuah paduan suara orang banyak.

Karya-karya awalnnya banyak mengambil dua tema: cinta kasih dan gejolak politik. Perlahan tema cinta pada lawan jenis beranjak lebih luas menjadi hubungan tak terpisahkan antara penyair dan tanah kelahirannya.

Ia berkata, "Saya akan terus mempermanusiakan orang pun bila ia seorang musuh. Guru pertama yang mengajar saya bahasa Ibrani adalah seorang Yahudi. Cinta pertama dalam hidup saya adalah pada seorang gadis Yahudi. Hakim pertama yang memvonis saya masuk penjara adalah seorang hakim wanita Yahudi. Jadi, sejak awal saya tak melihat Yahudi sebagai iblis jahat, atau malaikat, tapi sebagai manusia. Saya menulis beberapa sajak untuk kekasih saya orang Yahudi. Sajak itu tentang cinta kasih, bukan tentang perang."

Nyaris sepanjang hayat Darwis hidup nomaden. Sebelum kembali ke kampung halamannya yang telah diduduki Israel pada tahun 1996, selama 26 tahun ia menjadi orang eksilan di Lebanon, Ciprus, Tunisa, Yordania, dan Prancis.

Dengan pengaruh di kalangan politik - ia pernah memimpin lembaga penting di PLO, ia tetap percaya bahwa sastra pun bisa jadi jalan perjuangan. Ia memimpin Al-Karmel, majalah sastra dan Kebudayaan Palestina. Ia percaya dan bilang sabar menunggu perdamaian yang ia yakini akan datang di Palestina, tapi tak urung ia juga sempat putus asa juga pada puisi.

"Dulu saya pikir puisi dapat mengubah segalanya, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan manusia. Saya kira ilusi demikian sangat penting untuk mendorong penyair agar terlibat dan percaya, tapi sekarang saya yakin puisi hanya bisa mengubah penyairnya," katanya.

Saudara, ada air mata di tenggorokanku
ada api di mataku:
Aku orang merdeka."

Ia melepas dan meninggalkan kegiatan politiknya setelah kecewa demi kecewa, termasuk ketika Yaser Arafat, Simon Peres, dan Israel Yitzhak Rabin bersama mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pata tahun 1994.

Pada tahun-tahun terakhir kepenyairannya Darwis percaya bahwa akhirnya nilai penting puisi tidak diukur dari apa yang hendak dikatakan penyair, tetapi bagaimana penyair mengucapkannya. Ia berkutat pada estetika puitika, dan tak lagi hanya peduli pada tema. Maka ia tidak lagi hanya meratapi tanah kelahirannya tetapi sajak-sajaknya bernada introspektif dan seperti penuh mimpi. Ia meminjam khazanah Yunani, Persia, Romawi dan mitos-mitos dari bibel. "Saya percaya penyair sekarang mesti menuliskan apa-apa yang tidak tampak," katanya.

Darwis tidak mendapat anak dari dua kali pernikahan yang keduanya berakhir dengan perceraian. Darwis meninggal pada 9 Agustus 2008, setelah operasi jantung di Memorial Hermann Hospital Houston, Texas. Setelah sebelumnya, dua kali dia menjalani operasi yang sama. Perdana Menteri Palestina Mahmud Abbas menyatakan negeri itu berduka tiga hari.

Hingga akhir hayatnya, perkara warga negara masih rumit baginya. Ia punya amanat sederhana - tapi repot untuk diwujudkan - agar jasadnya dimakamkan di tanah kelahirannya Ramallah yang masih dikangkangi Israel.

Sebagai penyair Mahmud Darwis telah menuntaskan tugasnya, menuliskan sajak-sajak yang membela orang yang tertindas, melawan orang yang menzalimi sambil membesarkan harapan akan perdamaian.

Hidup dan karyanya pasti tidak sia-sia. Bukan salahnya bila perdamaian itu terasa masih akan jauh dan lama datangnya. Setelah kematiannya, Israel kembali membuka wacana agar sajak-sajaknya dikurikulumkan untuk dibaca oleh pelajar-pelajar di negeri itu, dan mereka bisa menangkap pesan-pesan damainya.***