Friday, June 1, 2007

[Surat untuk Sajak # 006] Dari mana Benihmu Tumbuh?

Sajak yang baik,
     Saya tiba-tiba bertanya darimana sebenarnya dulu benih-benihmu tumbuh dalam diriku? Saya mencoba menemukan hal-hal yang bisa jadi jawaban, tapi saya tak pernah yakin. Apakah benih itu tumbuh ketika saya mendengarkan ibu saya menyanyi dengan syair sederhana yang ia ciptakan sendiri ketika mengayun dan membujuk saya, dan juga adik saya yang dalam buaian agar saya segera tidur? Apakah ia tumbuh sejak saya diam-diam suka membuka buku catatan paman saya dan menemukan sajak-sajak yang ia tulis dan juga sajak "Aku" karya Chairil Anwar yang ia salin dengan huruf-huruf kapital? Atau ketika guru kelas satu saya dulu menulis kalimat sederhana di papan tulis setelah melihat langit, pohon dan elang, dan dia tidak menyalin dari buku resmi "ini budi, ini ibu budi..."? Saya sudah bisa membaca ketika mulai duduk di bangku kelas satu SD, tanpa TK, dan saya kira kini guru itu seperti mengajari menulis puisi: itu elang, di langit terbang, di pohon membuat sarang...

Sajak yang baik,
    Di madrasah tsanawiyah, paman yang dulu diam-diam saya curibaca buku catatannya menjadi guru bahasa. Dia mengajarkan sajak dan suka menyuruh murid-murid --- termasuk saya --- memaca puisi di depan kelas. Saya waktu itu mulai berkenalan dengan bergairah pada sajak-sajak di buku pelajaran resmi Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya mulai mengenal nama-nama penyair Indonesia. Ada seorang penyuluh perikanan yang mengisi waktu luangnya dengan mengajar dan dia suka juga membacakan sajak-sajaknya. Sekarang saya ingat, sajak-sajak guru penyuluh itu meniru sajak-sajaknya Kahlil Gibran atau Rabindranath Tagore.

     Di sekolah itulah saya mulai menuliskan sajak-sajak pertama saya. Saya ingat pernah menulis sajak tentang Elias Pical. Petinju Indonesia yang menjadi juara dunia. Sajak itu sepenuhnya meniru gaya ballada sajak "Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo" karya W.S. Rendra itu. Saya terus bertemu lagi dengan beberapa sajak Chairil Anwar dan mengagumi sambil menyadari betapa saya saat itu belum mampu mencapai taraf sajak itu, tapi saya ingin. Saya kira kesadaran itu penting sekali ada pada saya, pada waktu itu. Saya mulai lapar sajak. Tapi bagi anak murid yang sekolah di kampung yang jauh dari kota kecamatan --- di kota kecamatan itulah diselenggarakan satu-satunya SMP negeri --- buku puisi adalah kemewahan. Bahkan mungkin bagai sebuah kemustahilan.

Sajak yang baik,
     Saya kemudian mengikuti abang tertua saya yang berselang setahun usia sekolah. Kami berdua sekolah di SMA Negeri 2  Balikpapan. Saya mulai bekerja sebagai kartunis lepas di sebuah surat kabar harian. Honornya saya belikan buku. Buku penting yang saya beli ketika itu adalah "Mengarang Itu Gampang" karya Arswendo Atmowiloto, "Proses Kreatif I dan II" yang memuat pengakuan-pengakuan sejumlah pengarang yang dieditori oleh Pamusuk Eneste. Dan sebuah buku penting: "DukaMu Abadi" kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono. Saya tentu juga membeli buku-buku cerita yang sangat digemari remaja saat itu "Lupus" karya Hilman Hariwijaya dan "Balada Si Roy" karya Gola Gong. Saya anak SMA yang beruntung punya honor dari kerja lepas di surat kabar. Beruntung karena bisa langganan majalah "Hai" dan "Intisari". Dari "Hai" saya belajar menulis. Waktu itu halaman cerpen dan puisi masih ada di majalah itu dan tiap karya yang dimuat diulas dengan baik, ringan dan riang, juga tajam dan penuh pengajaran. Yang mengulas itu, tak lain adalah Arswendo Atmowiloto, si pemimpin redaksi "Hai". Waktu SMA itu, ketika diminta menuliskan 10 nama orang yang dikagumi, saya memasukkan nama Arswendo dalam daftar.
       Dan buku sajak itu adalah satu-satunya buku sajak yang saya beli waktu itu. Sajak-sajak Sapardi tentu saja tak tercerna oleh wawasan seorang anak kelas satu SMA. Tapi saya membacanya dengan girang. Menebak-nebak maknanya, gagal, tapi tidak pernah menyerah. Saya justru semakin bergairah. Saya juga mulai menuliskan lagi sajak-sajak saya. Saya menulis hal-hal ringan. Saya ingat salah satunya adalah tentang seorang murid SMEA tetangga sekolah saya yang sering berpapasan tapi saya tak pernah berani mengajak berkenalan. Saya merasa tidak punya alasan yang bagus untuk itu, dan menikmati saja dia sebagai orang asing yang bisa terus saya tebak-tebak. Saya mengirimkan sajak ke "Hai" dan tidak pernah dimuat. Beberapa sajak saya dimuat di koran tempat saya bekerja sebagai kartunis itu.

Sajak yang baik,
      Demikianlah, saya hanya mengingat-ingat bagaimana dulu saya mulai mengenalmu, dan tanpa sengaja menjaga perkenalan itu tidak putus, dan kita tidak pernah berjauhan.