Sunday, June 3, 2007

Letter of The Month Rolling Stone Indonesia Juni 2007*



* Sampul RS International, Mei 2007

Dua tahun saya asyik sendiri menebak-nebak siapakah pemusik Indonesia yang diberi kehormatan disampulkan oleh Rolling Stone Indonesia di momentum istimewanya. Dan pilihan jatuh pada Iwan Fals. Saya bilang, "ini pilihan yang cerdas dan tepat".

Iwan dipotret dengan mimik yang seakan berkata, "Inilah musik Indonesia". Iwan memang paling tepat mewakili perjalanan musik Indonesia. Ia mungkin tidak lagi berada di puncak kreativitasnya. Tapi ia masih menghasilkan karya hebat. Ia bermusik dengan total, langkah yang kini ditempuh dengan langkah yakin oleh banyak anak muda Indonesia. Ia jatuh bangun, ditendang kaki raksasa politik penguasa, ia membangun kesetiaan penggemar, ia juga manusia biasa yang lama menahan sakit akibat kematian putra tertuanya. Dan ia baru saja menghasilkan album. 50:50. Album yang diberi bintang 4 oleh RSI.

Saya bayangkan wawancara Editor Senior RSI Adib Hidayat akan lebih lengkap bila disanding dengan tulisan Andreas Harsono (Halo Mas Andreas!) -- yang namanya disebut dalam wawancara itu terkait istilah Indopahit itu --- yang dulu terbit dalam almarhum Pantau. Keinginan itu sedikitnya terpenuhi, karena ada bau Pantau di RSI lewat tulisan tentang grup Koes Plus oleh Budi Setiyono (apakabar Mas Buset?).

RSI Edisi 25 lalu saya kira adalah edisi yang sangat membanggakan pemusik dan musik Indonesia. Saya tadinya cemas RSI tidak menulis soal kepergian Chrisye. Soalnya, apalagi yang mau diberitakan? Chrisye adalah legenda yang kematiannya diiringi pemutaran lagu-lagunya serentak di radio-radio. Ini tidak atas perintah siapa-siapa. Ini adalah bentuk penghormatan paling murni. Tapi, lagi-lagi RSI adalah majalah yang meskipun baru dua tahun ternyata sudah menyatu dengan hati musik Indonesia. Memberitakan kematian Chrisye bukan perkara aktualitas.

Lalu saya baca dengan antusias Special Issue: Editor's Choice '07. Saya tidak bisa lain kecuali berkomentar, "Gila!" Pilihan-pilhan atas nama-nama itu mungkin masih bisa diperdebatkan, tapi RSI punya alasan yang bagus untuk masing-masing pilihan.

Di sebuah milis jurnalisme ada diskusi yang dipicu oleh seorang anggota yang mem-posting tajuk rencana sebuah surat kabar di Malaysia. Tajuk itu isinya caci maki untuk musik Indonesia yang disebut sebagai sampah (!). Musik Malaysia memang sedang cemburu berat atas musik Indonesia. Bacalah laporan RSI soal konser 3 Diva di sana. Konser sebagus itu mungkin belum terbayangkan oleh para pemusik dan penggerak industri musik di sana.

Terakhir, RS Style -- yang mungkin rubrik paling "bermasalah" di RSI -- menampilkan Gigi. Wah! Saya bertamasya mata di 12 halaman itu. Gigi grup yang masih bertahan dan saya kira akan berumur panjang, adalah grup yang saya liput pertam kali di Balikpapan atas perintah redaktur saya waktu itu (Halo Mas Trias Chahyo!). Itulah konser pertama yang saya tonton dan sejak itu saya adalah anggota Gigikita yang tak teregistrasi. Gigi kala itu baru saja meluncurkan
album 3/4. Saya benar-benar menikmati liputan itu bahkan sempat mengajari Armand Maulana cara makan udang di restoran santapan-laut menuju bandara (masih ingat caranya, Kang Armand?).

Ketika usia melampaui 35, saya mulai membiasakan diri untuk dituakan. Tapi saya tak mau cara berpikir saya jadi lamban, tua, dan tidak kreatif. Salah satu caranya adalah dengan membaca RSI. Terima kasih dan salut untuk majalah hebat ini!

Hasan Aspahani


* Ini naskah asli surat yang saya kirim, ada sejumlah penyuntingan pada surat yang termuat.