Wednesday, June 13, 2007

[Ruang Renung # 214] Penyair?

Saya kira ada dua jenis kata bentukan. Kata benda yang dibentuk dari kata dasar berupa kata kerja. Dan kata kerja yang dibentuk dari kata dasar berupa kata benda. Dengan membedakan kedua jenis kata bentukan itu, saya kira kita bisa menentukan sikap terhadap kata-kata itu.

Kata jenis kedua misalnya "mengapak" dan "kapak". "Kapak" adalah kata dasar asli. Dari kata dasar "kapak" itu kita bisa membentuk kata kerja "mengapak", yang bisa berarti membelah kayu dengan kapak, menebang pohon dengan kapak, atau membunuh orang dengan kapak. Dari kata "kapak" kita bisa pula membentuk kata "pengapak", meskipun ini tidak lazim. Lebih lazim kita menemukan kata "pembelah kayu", atau "penebang pohon", meskipun tidak selalu penebang pohon dan pembelah kayu itu menggunakan kapak.

Bagaimana dengan "penyair"? Ini adalah kata benda bentukan, bukan kata dasar. Kata dasarnya "syair". Bahasa Indonesia punya kata dasar yang bisa juga berarti "orang yang menulis syair". Yaitu "pujangga". Tetapi kata ini maknanya lebih luas daripada "penyair". "Pujangga" sepadan dengan "sastrawan" yang tentu saja bisa berarti penulis puisi, penulis cerita pendek, atau penulis novel atau roman. Sekarang kata "pujangga" jarang dipakai, nyaris menjadi kata yang arkaik: ada, pernah dipakai, tapi kini tak lazim lagi digunakan. Kita nyaman menggunakannya untuk menyebut nama-nama penulis lama saja.

Bagaimana dengan puisi? Nah, ini lebih seru lagi. Kita bahkan tidak lazim membentuk kata pemuisi, meskipun secara tata bahasa itu memungkinkan. Kalau dilacak lagi, kata puisi itu berasal bahasa bahasa Yunani "poesis", berarti "pembuatan" atau "penciptaan". Puisi yang telah nyaman dan sentosa menjadi anggota keluarga kosa kata Bahasa Indonesia itu diambil dari bahasa Inggris Bahasa Inggris "poetry" yang hulunya ya Bahasa Yunani tadi. Tetapi, sementara Bahasa Inggris menyadap kata "poet" yang juga berasal dari kata Yunani tadi, Bahasa Indonesia tidak. Jadi satu-satunya yang bisa kita harapkan adalah kata bentukan "penyair" tadi.

Ya, kita kembali ke "syair". Ini berasal dari Bahasa Arab, yang konon artinya "samar". Jangan bandingkan Tata Bahasa Indonesia dengan Tata bahasa Arab yang luar biasa lincah itu. Dalam Bahasa Arab, sebuah kata misalnya "kataba" yang artinya "membaca" bisa dibentuk sejumlah kata lain (tanpa tambahan awalan dan akhiran). Dari kata "kataba" itu terbentuk kata "kitabun" yang artinya "yang dibaca" atau "kitab" atau "buku" dalam bahasa Indonesia. Dari "kataba" juga terbentuk kata "maktabun" yang berarti "tempat membaca" atau meja dalam bahasa Indonesia, atau "katibun" atau orang yang membaca.

Ah, kita main di Bahasa Indonesia sajalah. Kata "penyair" dibentuk dari kata "syair". Tidak ada kata bentukan "penyair" kalau tidak ada kata dasar "syair". Kata "penyair" berhutang pada kata "syair". Bisa juga kita sebutkan bahwa mestinya tidak ada "penyair" kalau tidak ada "syair". Seseorang tidak pantas menyebut dirinya penyair atau meminta disebut penyair atau menerima sebutan penyair kalau tidak sebaris syair dan sajak pun pernah ia tuliskan. Itulah hakikatnya.

Masalahnya adalah apakah "syair" itu? Apakah "puisi" itu? Apakah semua yang diniatkan ditulis sebagai syair itu adalah "syair" yang mengantar penulisnya kepada sebutan "penyair"? Seperti biasa, Ini bahasannya bisa lebih panjang dan lebih ramai lagi, dan biasanya hanya akan berujung pada debat yang menjemukan dan menguras energi bila tidak diiringi dengan tulus, wawasan luas, dan kecintaan dan perhatian yang dalam kepada "syair" dan "puisi" itu sendiri.

Sementara itu, kita tengoklah saja dahulu pada proses pembentukan kata tadi. Yang penting di sini adalah "menyair" itu, yang penting di sini adalah "syair" itu. Seperti seorang pekerja dengan kapaknya. Yang penting adalah kayu yang terbelah, atau pohon yang tumbang ditebang. Pedulikah dia pada sebutan "penebang pohon"? Atau "pembelah kayu?" Tidak. Kalau pun ada yang menyebutnya dengan sebutan itu, dia toh tidak harus terbebani. Dia toh tidak harus enggan mengayuh dayung dengan alasan "lho, saya ini penebang pohon, bukan pendayung perahu!"

Apalah artinya sebutan. Apatah artinya gelar. Lantas, bagaimana kalau ada orang yang menulis syair atau puisi tetapi menyebut diri "bukan penyair"? Boleh-boleh saja. Asalkan itu jangan jadi alasan untuk menghindar dari tanggung jawab. Misalnya, seorang yang sedang membelah kayu tidak boleh membelah kayu asal-asal dengan dalih, "saya ini kan tidak mau disebut pembelah kayu!" Ketika ia memegang ia memegang kapak maka dia seharus tahu bagaimana cara memegang kapak yang baik, bagaimana mengayun kapak dengan baik, bagaimana memilih di bagian mana dari kayu yang dibelah itu mata kapak harus dijatuhkan, dan dia harus tahu ukuran yang pas dari sepotong kayu bakar agar mudah terbakar di tungku perapian.

Saya tidak mendengar dari penyair lain kecuali Sutardji Calzoum Bachri dalam "Pengantar Kapak"-nya. Dia bilang kurang lebih begini, seorang penyair boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. Ia tidak harus menyair sampai mati. Tapi ketika dia menyair, maka dia harus menyair dengan sungguh-sungguh, dia harus mengerahkan seluruh perhatiannya pada syair yang ia tulis.[]

Saya penasaran:
1. Sejak kapan kata puisi dipakai dalam Bahasa Indonesia?
2. Siapakah yang pertama kali menerbitkan buku puisi pertama di Indonesia?
3. Buku puisi siapakah yang paling tebal yang pernah terbit di Indonesia?