Tuesday, June 19, 2007

Bersastra dengan Asyik dan Santai

APA yang saya simpulkan dari tulisan Ahmadun Yosi Herfanda "Sastra Mutakhir dan Degragasi Peran Sastrawan" (Republika, 3 Juni 2007) adalah ketegangan. Redaktur sastra Republika itu mengutubkan banyak hal lalu memperlihatkan seakan ada tarik-menarik, atau tindih-menindih antara hal-hal yang ia pertentangkan itu.

Ahmadun mempertentangkan apa yang ia sebut fiksi seksual (yang sudah menampakkan tanda-tanda antiklimaks) dengan fiksi Islami (yang terus melahirkan karya best seller).
Ia menghadapkan ragam fiksi dengan puisi. (Eh, bukankah puisi itu fiksi juga, ya?). Mungkin maksud dia fiksi itu adalah prosa. Bukankah fiksi itu adalah lawan dari non-fiksi? Baiklah kita sebut prosa saja. Prosa kata Ahmadun selalu disambut pembicaraan yang cukup gegap gempita, sementara puisi adem-adem saja.

Ahmadun memposisikan para pengamat dan kritisi (maksudnya kritikus mungkin ya?) sebagai sekelompok orang yang tegang menunggu kejutan estetik dan tematik, menanti "pencapaian baru", untuk dipolemikkan dan diperbincangkan dengan seru. Atau sebaliknya, "pencapaian baru" itu sebenarnya ada tapi pengamat dan kritikusnya saja yang kurang jeli. Dengan kata lain, ini semacam ketegangan juga, yaitu menunggu seorang kritikus yang jeli amatannya, yang bisa menemukan dan membesarkan Chairil Anwar dan Taufiq Ismail baru.

Dan penyair, masih kita tafsirkan dari Ahmadun, adalah mereka yang berkarya untuk menarik perhatian para pengamat dan kritikus. Ia mencontohkan Binhad dengan puisi yang "bercitraan seputar selangkangan" yang hanya menghasilkan percikan sesaat.

Dan Joko Pinurbo? Aduh, Ahmadun mungkin tergolong pengamat yang tidak jeli itu. Ia secara mudah melihat Joko Pinurbo sebagai penyair yang bermain-main dengan citraan sederhana seputar sarung dan celana. Diakui Ahmadun Joko Pinurbo berhasil memperoleh perhatian dan menyegarkan kembali "tradisi sastra Indonesia".

Tapi, di mata Ahmadun, Joko Pinurbo (dan Ayu Utami dengan "fiksi seksual"-nya) juga menanggung dosa. Pencapaian keduanya, kata Ahmadun, makin menegaskan berakhirnya 'peran kepujanggaan' sastrawan, dan tidak lagi mengemban peran ideal, memberikan pencerahan dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada masyarakat pembaca. Wah!

***

Saya kira, Ahmadun terlalu menyederhanakan persoalan. Bisa dimaklumi, karena ia menulis pengantar untuk sebuah diskusi. Saya tidak tahu seperti apa dikusi yang timbul setelah diantar oleh pengantar seperti itu. Anggaplah tanggapan saya ini adalah sambutan atas tawaran diskusi itu juga.

Penyair sekarang tidak lagi hanya menunggu perintah raja-raja untuk menuliskan sejarah kemenangan pasukan kerajaan dalam perang-perang penaklukan. Penyair sekarang tentu tidak menghadapi soal mencari jati diri bangsa seperti yang dihadapi oleh Amir Hamzah dan sastawan seangkatannya. Penyair sekarang tidak menghadapi sensur Jepang lewat Keimin Bunka Sidosho sebelum menyiarkan sajak-sajaknya. Penyair sekarang tidak lagi ramai-ramai menghambakan diri dan karya pada Revolusi alias politik yang dipanglimakan. Penyair sekarang tidak lagi menghadapi situasi refresif rezim dan lantas merasa menang lantas merayakan kemenangan itu dalam sajak-sajak.

Saya kira sejak angkatan yang disebut H.B Jassin sebagai Angkatan 66 tantangan terbesar penyair adalah mencari pengucapan, mencari tema sendiri-sendiri. Ini tantangan yang amat susah. Ini sebenarnya adalah ciri persajakan modern. Saya kira keberhasilan penyair saat ini adalah apabila tidak lagi terkurung pada keinginan melahirkan angkatan-angkatan, tidak mencocok-cocokkan karya dengan sebuah standar baku yang ditetapkan oleh sebuah kelompok atau gerakan estetika.

Saya kira peran "kepujanggaan" itu harus ditinjau lagi. Masyarakat tidak mencari keteladaan bukan hanya pada karya sastra. Banyak sekali pilihan. Dan apa boleh buat, sastra bukanlah pilihan utama. Tuntutan untuk berkarya dan dengan karya itu kemudian melahirkan pencerahan, mengingatkan pada nilai-nilai luhur, mestinya jangan jadi beban. Beban itu seringkali malah menjauhkan sastra dari masyarakat yang katanya ingin dicerahkan oleh sastra.
Ini zaman bebas. Yang mencemaskan adalah kita, para sastrawan ini, belum memanfaatkan kebebasan ini sebaik-baiknya, dan menghasilkan karya yang meminjam istilah Ahmadun "mengejutkan". Kenapa? Kita mungkin tak cukup bekerja dengan keras. Kita mungkin, meminjam sindiran Budi Darma, bersastra sepintas lalu saja. Jangan-jangan kita perlu semacam sensur yang ketat juga, agar "Chairil Anwar" masa kini menghasilkan sajak semacam "Diponegoro" yang menembus sensur Jepang dan terbit di surat kabar resmi "Asia Raya".
Saya tidak setuju ada sensur. Jika campur tangan dari luar sastra diperlukan, maka yang harus dicampuri adalah kesadaran sastrawan untuk memanfaatkan kebebasan ini sebesar-besarnya untuk menghasilkan karya besar. Masyarakat adalah pembaca yang dewasa dan punya logika sendiri dan tahu bagaimana bersikap terhadap karya.

Jika memang ingin membuat ketegangan, buatlah ketegangan kreatif. Jika memang ingin menindih "fiksi seksual" jangan memaki-maki, tapi gencarkan saja karya-karya lain yang "tidak seksual" yang mutunya lebih baik.

Selalulah, mengembalikan sastra ke ranah bahasa. Memang akhirnya selalu ada juga terseret hal ihwal moral, politik, dan lain-lain ketika bicara soal sastra. Saya kira tidak perlu dihindari. Tapi jangan terseret terlalu jauh oleh hal ihwal itu. Bila boleh mengingatkan, selalulah mengembalikan sastra ke ranah bahasa.

Bersastra saya kira perlu digiatkan dengan santai dan asyik. Agar apa? Agar makin banyak dan lebih banyak lahir peminat dan pelaku baru yang lebih kreatif dan punya energi baru melanjutkan para sastrawan tua yang sudah harus lebih banyak parkir saja. Dengan pemain baru yang lebih banyak, kita tentu boleh berharap lebih besar peluang untuk menghasilkan karya-karya yang "mengejutkan"! []